Bab 27

1.9K 310 3
                                    

Jacqueline bukan sengaja menolak panggilan telepon Marshall yang berkali-kali masuk. Dia sungguhan sedang tidak bisa menjawab lantaran dirinya sedang berbicara dengan kuasa hukumnya. Keputusannya untuk bercerai dari Alfons sudah bulat, bukan cuma ucapan impulsif semata yang dilontarkannya saat emosi. She is legit scared.

Setelah Marshall pulang semalam, Jacqueline tidak kembali berleha-leha di ranjang membaca komik Dear Boys. Dia membereskan dapur, mencuci semua piring dan perabotan, lalu membereskan barang-barangnya. Dia bahkan menyempatkan diri turun ke lantai dasar, mengambil sejumlah uang di ATM yang kemudian ditinggalkannya di meja kamar tidur. Pukul satu pagi, Jacqueline kembali menyetir pulang ke rumahnya sendiri, membawa semua barang-barang pribadinya, meninggalkan apartemen Marshall dalam keadaan kosong.

Betisnya sesekali berdenyut sakit ketika dia memaksakan diri untuk menyetir, tetapi itu masih lebih baik rasanya ketimbang menanggung malu menumpang di apartemen Marshall barang semalam pun. Tidak ada alasan bagi Jacqueline untuk tinggal di sana lagi. Alfons sedang di Surabaya, kakinya sudah jauh membaik dan dia punya banyak hal yang harus diurus.

Esok paginya, Jacqueline memberitahu Kana bahwa dia akan cuti sehari dan mulai mengurus banyak hal untuk menatap kehidupannya ke depan-menyewa pengacara untuk perceraiannya, mencari apartemen untuk menjadi tempat tinggalnya dalam waktu dekat, membereskan barang-barangnya untuk pindahan. Belum lagi dia harus membetulkan pintu gerbang rumahnya yang rusak setelah ditabrak dan juga mobilnya yang penyok. Jacqueline sibuk, terlalu sibuk sampai tidak punya waktu untuk membalas pesan Marshall apalagi menghubunginya duluan. Itulah yang Jacqueline tanamkan ke dalam pikirannya, meskipun dua jam sekali hatinya berusaha mengganggu dengan menyebut nama Marshall.

Jacqueline baru pulang ke rumahnya ketika malam menjelang. Lelah, tapi puas. Kakinya berdenyut hebat, tetapi lega. Jacqueline menghempaskan diri ke atas sofa dan melihat jam di ponselnya: 18.39, lengkap dengan lima pesan di notifikasi dari Marshall dan tujuh panggilan tidak terjawab. Di luar hujan deras dan dia sudah sangat lapar. Memesan makanan jam segini saat hujan lebat pasti akan sulit. Jacqueline mengembuskan napas. Dia beranjak dan pergi ke dapur untuk memasak mi instan. Saat itulah bel rumahnya berbunyi.

Ting tong!

Jacqueline tersentak. Siapa yang mencarinya jam segini? Tubuhnya menegang. Jangan-jangan Alfons? Shit. Tapi, buat apa juga Alfons memencet bel? Dia kan punya kunci. Bagaimana kalau kuncinya hilang? Jacqueline tidak sanggup membayangkan dirinya harus berkelahi dengan Alfons lagi. Dia menyeret langkah dengan hati-hati, berdoa bahwa bukan Alfons yang sedang mencarinya. Di tepi jendela, Jacqueline menghentikan langkah dan mengintip dari balik gorden.

Sosok Marshall berdiri di tengah hujan, membuat Jacqueline terperanjat. Tangan Marshall kembali terulur untuk memencet bel lagi, berkali-kali. Di antara rintik hujan, Jacqueline bisa mendengar suara Marshall yang berteriak sekuat tenaga memanggilnya.

"Jacqueline!" seru Marshall. "Jacqueline, buka! Ini aku! Aku tahu kamu ada di dalam!"

Jacqueline menggigit bibir. Mau apa Marshall ke sini? Mengajaknya main catur? Atau main gitar? Atau memasak makanan fancy lagi untuknya? Lalu pergi meninggalkannya begitu saja dan membuatnya malu lagi seperti semalam?

"Jacqueline! Aku lihat mobil kamu! Kamu pasti di dalam! Buka!"

Jacqueline mulai panik saat suara Marshall terdengar semakin keras. Jangan sampai ada satpam kompleks yang mendatanginya dan membuat Jacqueline malu setengah mati. Cepat-cepat dia mematikan kompor yang sedang memasak air. Jacqueline mengambil payung yang tersimpan di sudut dekat pintu masuk dan keluar.

"Jacq-!" Marshall berhenti berteriak saat melihat sosok Jacqueline muncul. Senyumnya merekah. Wajahnya semringah, seperti menemukan kembali permata berharga yang telah hilang dari genggamannya.

"Kamu ngapain ke sini?" Jacqueline menegurnya dengan kening berkerut.

"Cuma mau nganterin makanan," balas Marshall, nyengir lebar sambil menggigil. Dia menyerahkan bungkus plastik yang terikat rapat. "Kamu pasti nggak punya makanan di rumah, kan?"

"Aku nggak lapar." Jacqueline menyahut dingin.

"Jacqueline, kenapa kamu pergi dari apartemenku?" tanya Marshall. "Kamu nggak betah?"

"Aku udah sembuh," jawab Jacqueline sekenanya. "Dan lagi, Alfons masih di Surabaya."

"Kenapa kamu naruh duit di apartemenku?"

"Itu uang sewa selama aku di sana."

"Uang sewa buat dua hari aja lima juta jumlahnya? Kamu kira apartemenku The Langham?!"

"The Langham lebih mahal lagi."

"Aku nggak mau terima uangmu." Marshall menyodorkan sekali lagi bungkusan plastik yang sedari tadi belum diterima Jacqueline. "Isinya makanan dan uang kamu."

Mendadak Jacqueline menjadi gusar. Entah kenapa ada gelombang rasa kesal yang menyelinap dan memenuhi dadanya, membuatnya merasa sesak dan putus asa.

"Marshall, mau kamu apa?" Jacqueline mengucap tajam. "I'm not a charity case! Stop ngasih aku makanan, tempat tinggal atau nolak uang dariku seolah aku butuh dikasihani sama kamu!"

"Kenapa kamu mikir aku menganggap kamu charity case? Aku sungguhan mau bantuin kamu."

"Iya, as a charity case!"

"Nggak! Kenapa kamu mikir kayak gitu?"

Napas Jacqueline memburu. Everything is wrong with her now. Matanya terasa panas. Dia tahu sebentar lagi air matanya akan tumpah. Jacqueline tidak ingin lagi meneruskan percakapannya dengan Marshall. Dia tidak peduli kalau Marshall kehujanan dan sudah jauh-jauh mendatanginya. Jacqueline membalikkan badan, setengah berlari masuk ke dalam rumahnya lagi.

"Jacqueline!"

BRAK! Sesampainya di dalam, dia segera menutup pintu dan mematikan bel pintu rumahnya. Dengan terengah-engah dia bersandar pada pintu, berusaha mengatur napas setelahnya. Dia pergi dari apartemen Marshall bukan karena merasa sudah sehat dan bisa kembali ke rumahnya lagi, tetapi karena dia sakit hati. Dia tidak menjawab panggilan telepon Marshall seharian ini bukan karena dia sibuk, tetapi karena dia merasa malu. Dan dia mengabaikan Marshall yang kehujanan di luar bukan karena dia tidak lapar, tetapi karena dia merasa muak terus-terusan dikasihani.

Jacqueline menyadari bahwa, dia menginginkan pertemanan dari Marshall, bukan rasa kasihan. Ketika Marshall tahu masalah yang sedang dihadapinya dengan Alfons, lalu membela Jacqueline di hadapan Alfons dan menolongnya setelah itu, Jacqueline merasa tersanjung dan senang. Ada seorang teman yang peduli padanya. Teman. Tetapi ternyata Marshall tidak menganggapnya seperti itu. Buat Marshall, mungkin Jacqueline hanya charity case, orang yang perlu dikasihani karena sedang kesusahan, tidak lebih. Itu sebabnya Marshall pergi ketika melihat Jacqueline menangis. He did not want to be emotionally invested in her, like how a friend normally is. Marshall ingin membantu Jacqueline karena kasihan, itu sebabnya dia tidak mau tahu apa yang tengah dirasakan Jacqueline, tidak mau ikut larut dalam kesedihannya apalagi turut merasakan apa yang dia rasakan.

And realising that broke her pride into pieces. Jacqueline bukan damsel in distress yang butuh diselamatkan seorang pangeran. Dia bisa menyelamatkan dirinya sendiri. And if Marshall needs her to feed his ego, Marshall salah memilih orang. Sampai kapanpun Jacqueline tidak akan membiarkan dirinya hanya menjadi pemuas ego bagi Marshall dengan hero syndrome-nya. Jacqueline menyeka matanya sekali. Dua kali. Tiga kali. Lagi, dan lagi, dan lagi.

***

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now