Bab 12

2.5K 400 19
                                    

Esok harinya Marshall absen. Dia cuma mengirim pesan singkat kepada Jacqueline di pagi hari, bilang bahwa dia sedang ada urusan sehingga tidak bisa datang ke kantor.

Marshall
Oh ya, jangan bilang ayah saya kalau saya absen, please cover up for me ;)

"Siapa itu? Kecentilan amat pakai emoji segala."

Jantung Jacqueline mencelus manakala dia mendengar suara Alfons di telinganya tanpa aba-aba. Saking kagetnya, hampir saja ponsel Jacqueline terlempar dari tangannya. Deg. Deg. Deg.

"Orang kantor," jawab Jacqueline. "Anaknya bos besar."

Jacqueline menunggu reaksi Alfons selanjutnya. Tubuhnya menegang. Tangan Jacqueline sudah dalam posisi siap untuk menangkis Alfons.

"Oh."

Di luar dugaan, Alfons membalas dengan santai. Jacqueline kira, Alfons akan mempermasalahkan emoji yang dikirimkan Marshall untuknya. Memang itu cuma emoji, di mata orang normal, it doesn't mean anything. Tapi, Alfons bukan manusia normal. Tidak akan pernah ada yang tahu apa yang normal dan tidak di mata Alfons.

Ketika kembali ke rumah setelah pulang dari kantor semalam, Jacqueline terkejut bukan main mendapati Alfons sedang merebahkan diri di atas sofa, kelelahan. Dia menyapa Jacqueline dengan santai, tetapi Jacqueline menjawabnya dengan was-was. Sejak setahun terakhir, Alfons ditugaskan sebagai konsultan untuk proyek di Surabaya. Dia hanya pulang seminggu sekali saat akhir pekan. Itu sebabnya Jacqueline kaget melihat sosok Alfons di hari biasa. Ternyata Alfons kembali lebih awal dari biasa lantaran ada urusan di kantor pusat. Jacqueline membiarkannya terkapar di sofa malam itu, supaya dia bisa menenangkan diri di kamar.

"Kamu pulang jam berapa hari ini?" Alfons bertanya esok paginya sambil menyeruput kopi. Sekilas, tidak ada yang aneh dengan orang ini. Dia tampan, senyumnya simpatis, karirnya cemerlang sebagai senior di sebuah perusahaan konsultan manajemen. Sebetulnya, jika tidak ada yang memicu amarahnya, Alfons juga akan bersikap baik-baik saja terhadap Jacqueline. Masalahnya, Jacqueline tidak pernah tahu kapan emosi Alfons muncul atau lebih parah lagi apa yang membuatnya terpancing.

"Belum tahu. Lagi banyak kerjaan di kantor. Aku bakalan lembur." Jacqueline menyahut. "Kamu butuh sesuatu?"

"Nggak, cuma mau ngajak makan malam bareng aja. Shall I reserve a place somewhere close to your office? Supaya kamu bisa break sebentar buat dinner kalaupun harus lembur."

Alfons can even be super sweet. Tidak setiap kali pulang Alfons menghajar Jacqueline. Sering kali juga dia membawa Jacqueline pergi makan malam, menemaninya berbelanja atau sekedar jalan-jalan di mal ketika sedang berakhir pekan di Jakarta. He could act completely normal as well.

"Iya, boleh." Jacqueline mengangguk. Sebetulnya dia ingin sesedikit mungkin menghabiskan waktu bersama Alfons, the more you spend time with him, the more prone you are to his sudden burst of anger, tetapi Jacqueline juga tidak ingin mengambil resiko Alfons menjadi marah karenanya, itu sebabnya dia mengiyakan ajakan Alfons.

"Let's make it jam setengah 8, ya? Aku hari ini ada meeting, takut ngaret selesainya."

Jacqueline mengangguk lagi. See? It's a pretty normal, fine morning. Jacqueline bahkan bisa tersenyum dan berpamitan secara damai dengan Alfons sebelum berangkat ke kantor. Jacqueline punya firasat baik tentang hari itu. Ketika dia tiba di kantor dan bertemu dengan Adi di rapat pun, Jacqueline tidak keberatan untuk berbohong supaya Adi tidak tahu bahwa Marshall hari itu absen.

"Marshall mana?" tanya Adi, melihat kursi kosong di sebelah Jacqueline. "Jam segini masih belum nyampe kantor?"

"Udah Pak, udah." Jacqueline buru-buru menjawab. "Tadi saya udah ketemu dia. Tapi, tadi dia kabarin saya lagi pergi off site visit, jadi nggak ikut meeting kita."

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now