Bab 39

4.1K 395 17
                                    

New York adalah kota yang sangat besar, sangat tidak mungkin bisa randomly menemukan seseorang kecuali memang sudah janjian, atau suratan takdir, atau orang itu sangat perhatian dan sensitif seperti Marshall. Siang menjelang sore, ketika melangkah keluar dari lobi utama gedung One World Trade Center, Jacqueline disambut oleh langit kelabu bulan Desember dan dinginnya angin yang berhembus ringan.

"Jacques!"

Langkahnya sontak berhenti mendengar nama itu disebut. Untuk sepersekian detik, Jacqueline membatin bahwa hal yang dikiranya tidak mungkin terjadi, tetapi toh kepalanya menoleh juga ke arah sumber suara. Jacqueline terperanjat melihat sosok yang hadir di hadapannya.

"Marshall?!"

Mendengar namanya disebut, wajah Marshall langsung berubah semringah. Dia tersenyum, lalu senyumnya berubah menjadi tawa.

"It's really you!" seru Marshall.

Jacqueline mengerjapkan mata. Benar, itu sungguhan Marshall! Saat Marshall mendekat, Jacqueline bisa mencium wangi parfum Creed-nya yang khas.

"Jacqueline!" Marshall hanya bisa menyebut nama Jacqueline tanpa mengucapkan apa-apa ketika mereka berdiri berhadapan. Dia mengamati Jacqueline dari ujung kepala sampai kaki. Terlihat sedikit lebih kurus, tetapi Jacqueline masih cantik seperti biasa. Terlebih lagi dalam balutan syal dan mantel serta boots kulit-

"-you look good."

Keduanya mengucapkan hal yang sama, membuat mereka berdua sama-sama tertawa. Jacqueline menatap wajah Marshall lekat-lekat, rona merah di wajahnya yang muncul karena kedinginan, yang juga nampak di ujung telinganya. Marshall terlihat lelah, tidak segar seperti biasanya, terlebih lagi kantung matanya tercetak jelas.

"Apa kabar kamu?" tanya Marshall. Canggung, ingin memeluk Jacqueline tetapi takut merasa tidak pantas.

"Gimana caranya kamu bisa nemuin aku di sini?" Jacqueline mengabaikan pertanyaan Marshall. Kabarnya tidak penting.

"Oh. I just... figured it out," sahut Marshall. "Aku baru landing tadi siang, langsung ke sini."

"Oh ya? Dalam rangka apa kamu ke sini?"

"Nyari kamu."

Jacqueline terkesiap. Mencarinya? Marshall pergi mencarinya sampai ke New York? Bagaimana caranya? Bagaimana dia bahkan tahu bahwa Jacqueline ada di sini?

"Aku ingat ceritamu. Malam itu, kamu bilang kalau ada satu hal yang mau kamu lakukan tapi nggak berani, adalah datang ke sini." Marshall memandang berkeliling, melontarkan pandangan ke arah 9/11 Memorial. "So, I just tried my luck and it seems like I'm the luckiest man on earth."

Sorot mata Jacqueline melunak.

"Well, aku cuma butuh waktu agak lama untuk menemukan kamu lagi, considering kamu pergi begitu aja tanpa bilang apa-apa," lanjut Marshall.

"Maafin aku. Aku sengaja nggak bilang apa-apa, supaya kamu nggak bisa nyari aku."

"But in the end, I found you. Meskipun aku butuh waktu tiga bulan untuk bisa sampai di sini, but still, I found you."

Jacqueline merapatkan mantelnya dan melipat tangan di depan dada. Angin berhembus semakin kencang, menerbangkan rambut-rambut halusnya. "Kenapa kamu masih nyariin aku? Jelas-jelas orangtuamu nggak suka kalau kamu masih berurusan sama aku. Aku bisa ngerti concern mereka. Mereka benar, orang kayak kamu nggak seharusnya sama aku."

"Orang kayak aku?" Marshall menaikkan alis. "Maksudmu apa orang kayak aku?"

"Orang penting di perusahaan. Anak laki-laki satu-satunya yang akan jadi penerus perusahaan sebesar Wardhana Group. Orang seperti kamu nggak seharusnya hangout dengan sembarang orang."

WASTED LOVE (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang