DUA PULUH TUJUH

30K 2.7K 11
                                    

Happy reading
.
.
.

BRAKKK

"APA YANG KAU LAKUKAN PADANYA HAH!?"

Seorang laki-laki berucap dengan nada yang penuh amarah. Wajahnya memerah karena dipenuhi oleh perasaan kesal, takut, dan cemas sekaligus.

Sosok yang berada tepat di hadapan laki-laki itu tersentak dengan ekspresi terkejut yang amat ketera. Wajahnya sedikit pucat saat melihat kemarahan sosok yang ia sebut bos itu.

"S-saya hanya menusuk diri sendiri di hadapannya b-boss," ucapnya senormal mungkin, meskipun nada gugup masih terdengar jelas oleh bosnya yang tak lain adalah Naura.

"Hanya kau bilang?" Ujar laki-laki itu menatap bengis sosok yang sedari tadi menunduk di hadapannya. Gara-gara sikap tak becus bawahannya, orang yang sangat berharga baginya harus mendekam di rumah sakit dalam keadaan koma.

"Jika dalam waktu 24 jam ke depan dia belum juga siuman, ambil hukumanmu di tempat biasa," putus laki-laki itu lalu mengalihkan perhatiannya ke tumpukan berkas yang menumpuk di mejanya.

Sosok di hadapannya langsung memelas, matanya di penuhi ketidaksukaan terhadap keputusan bosnya itu.

"T-tapi bos-----

Sosok itu akhirnya keluar dengan lesu saat tidak mendapat respon baik bosnya. Tapi berbeda dengan wajahnya yang di penuhi kekesalan.

Sial! Jika bukan karena rencana itu mana sudi gue jadi babu Lo!

*****

"Fa, kok apelnya nggak pernah habis ya? Padahal gue udah makan banyak," tanya Ra asal. Ditangannya terdapat sebuah apel yang tersisa setengah. Jika dihitung, itu adalah apel ke-100 yang ia makan.

"Kepo Lo," sinis Fa. Sejak sosok Ra berada disini ketenangan telah sirna, hampir setiap saat ia mendengar pertanyaan konyol yang dilontarkan Ra dan itu benar-benar mengguncang mentalnya.

"Daebak!!,"

Ra bertepuk tangan heboh saat melihat nada bicara Fa yang berbeda dari sebelumnya.

"Selamat Fa, mulai hari ini, jam ini, detik ini Lo jadi anak gaul," ujar Ra dengan wajah bangganya. Jelas dong! Perubahan itu karena dirinya.

Fa mendengus, sepertinya ia menyesal telah mengundang Ra ke tempatnya. Seharusnya ia biarkan jiwa Ra terbang tanpa arah di dunia itu. Ya, seharusnya begitu. Tapi takdir berkata lain, dengan baiknya ia malah mengundangnya. Sial! Sekarang ia baru sadar, penyesalan memang selalu berada di akhir.

Fa menghela nafasnya, "Udahlah gue capek tau, gue juga bosen liat wajah Lo yang itu itu mulu------

"Terus?" Potong Ra dengan wajah sedikit acuh.

"Sana cepet pulang!!" Titah Fa tanpa perasaan.

Hening. Baik Dan maupun Ra masih sibuk dalam pikiran masing-masing, sebelum--

"Fa....." Wajah Ra berubah serius.

"WCNYA DIMANA FA, SUMPAH!! GUE BARU SADAR UDAH LAMA NGGAK KESANA?" Pekik Ra dengan wajah panik.

Wajah Fa mendatar, "enyah!!"

*****

Eughhh

"Shhhhh," Fara meringis saat kepalanya merasakan nyeri sekaligus pening. Terlebih tubuhnya yang terasa kaku saat di gerakkan dan itu sangat membuatnya tidak nyaman.

Dengan mata yang masih terpejam Fara memijit pelan pelipis matanya untuk menghilangkan rasa pening itu.

Ceklek.

"Fara......"

"Akhirnya kamu bangun dek, gimana keadaanmu? Ada yang sakit? Atau keluhan lain? Cepat bilang ke Abang!? Jang--------

"Berisik bang!" Ketus Fara. Hatinya menghangat saat mendengar nada khawatir abangnya, tapi tetap saja suaranya itu sangat menggangu membuatnya tega memotong ucapan Nathan.

Nathan mengerjap dengan pandangan kosong di tempatnya. Hatinya terasa tercabik-cabik saat mendengar nada ketus dari adik kesayangannya itu. Bukan seperti ini yang ia harapkan, harusnya Fara bersikap manja padanya saat bangun dari koma seperti cerita novel yang pernah dibacanya. Tapi.......ya sudahlah. Kini ia yakin ekspetasi memang tak selalu seindah realita.

Mendengar keterdiaman abangnya, ada sedikit rasa bersalah yang muncul karena ucapannya tadi. Tapi karena gengsi, dengan cepat Fara membuang perasaan itu.

"Gue kenapa bang?" Tanya Fara penuh penasaran. Kini kepalanya mendongak menatap Nathan dengan tatapan penuh tanya.

Hal terakhir yang terekam diingatannya adalah saat jiwa sia......ekhem jiwa asli Fara mendorongnya dengan wajah datar dan cling!. Saat ia membuka mata ia sudah berada disini.

"Dek, e-anu kamu nggak inget kejadian itu?" Tanya Nathan hati-hati.

Sialan! Fara menggeram dalam diam saat mendengar pertanyaan Nathan. Tidak tau kah dia jika kepalanya masih terasa pening!! Bukanya langsung menjawab pertanyaanya tadi malah menambah beban otak.

Masih dengan kekesalan yang sama, sepintas kejadian di rooftop seputar di kepalanya yang mana menambah rasa pening.

Saat semuanya selesai di cerna otak. Fara perlahan paham dengan keadaan. Kini ia menatap Nathan dengan tatapan penuh arti. Ada rasa malu yang perlahan muncul dan membuat pipinya memerah. Huh, sikapnya waktu itu sungguh-sungguh memalukan. Bisa-bisanya ia bersikap impulsif, untung saja ia tidak sampai jatuh dari rooftop.

Fara mengalihkan tatapannya. Rasa pening kepanya dengan perlahan menghilang sesaat setelah ingatan itu muncul.

"Bang, Oma, Opa mana?" Tanya Fara basa-basi.

"Mereka di kantin, sarapan" Jawab Nathan singkat.

Fara mengangguk dua kali sebagai jawaban. Setelahnya hening. Baik Fara maupun Nathan kini terdiam dengan pikiran masing-masing, sebelum----

Ceklek.

"Astaga Nathan, bukanya manggil dokter malah bengong disana!? Fara harus di periksa dulu!,"
.
.
.
TBC.

Transmigrasi FiguranWhere stories live. Discover now