LIMA PULUH DELAPAN

10.1K 758 5
                                    

HAI GUYS
LONG TIME NO SEE

GIMANA, MASIH INGAT ALURNYA?
KALAU NGGAK INGAT, YA UDAH SIH. NAMANYA JUGA TAKDIR....

Happy reading
.
.
.

Setelah berkendara dengan penuh drama, akhirnya mereka sampai ke tujuan dengan selamat. Ya, kecuali Nathan yang tengah menderita tekanan mental. Namun, itu tak berlangsung lama, karena ada hal yang lebih penting. Yakni, keselamatan Fara. Adik tersayangnya. Demi dia, puncak everest rela ia daki.

Kini, keempat laki-laki berparas tampan itu tengah mengamati gedung tua berlantai tiga dengan serius. Menurut GPS yang terpasang di jam tangan Fara, di tempat itulah lokasi ditunjukkan. 

Sayang sekali suasana serius itu tak berlangsung lama. Kenan kembali berulah dengan berburu nyamuk yang berterbangan bebas diantara mereka.

Awalnya, baik Fauzan, Nathan, maupun Samuel abai dengan kegiatan Kenan. Tetapi, saat Kenan menabok pipi Nathan tanpa sengaja, suasana langsung berubah. Seperti saat ini.

Nathan memejamkan matanya dengan nafas memburu. Sumpah demi apapun, ia benar-benar merasa kesal sekarang.

Saat nafasnya kembali normal, Nathan membuka matanya perlahan. Setelah itu, ia menatap datar Kenan yang sialnya berdiri di sampingnya.

Kenan yang ditatap hanya mengerjap polos. "Tadi ada nyamuk." Ujar laki-laki itu tanpa beban.

Bukannya mengalihkan perhatian, Nathan masih tetap menatap Kenan, tetapi, kali ini bukan tatapan kesal yang ia layangkan melainkan tatapan curiga.

Jika dipikir-pikir, bukankah sikap Kenan sangat mencurigakan? Hey, dia hanya mabuk, tapi apa sedalam ini efeknya? Jalannya saja tidak seperti orang mabuk pada umumnya. Ia jadi curiga kalau laki-laki itu hanya pura-pura mabuk agar bisa berdekatan dengan Fara dan juga membalas dendam padanya. Masuk akal sih, tapi sangat menjengkelkan!

Samuel yang juga berdiri disamping Nathan langsung menepuk pelan bahunya. Menyadarkannya dari dunia khayalan.

"Sabar." Ucap Samuel seolah menguatkan.

Nathan mendengus. Dalam hati ia mencibir sikap sok peduli sepupunya itu. Padahal, dalam hati dia jelas tengah menertawakan dirinya.

Mengesampingkan segala dendamnya, Nathan mulai menyampaikan idenya. Setelah itu, mereka sepakat menggunakan ide Nathan untuk menyelinap.

Dengan keterampilan menyelinap bak maling kelas kakap, mereka berhasil memasuki rumah kosong itu dengan selamat tanpa ketahuan. Sekarang, hanya tinggal menemukan ruangan yang ditempati Fara.

Untuk memudahkan  pencarian, mereka memutuskan untuk berpencar. Lantai satu diamati oleh Fauzan, lantai dua diamati oleh Samuel, sedangkan Nathan mendapat bagian lantai tiga.

"Jo." Samuel memanggil Nathan sebelum melanjutkan langkahnya.

Nathan yang langkahnya belum cukup jauh langsung berhenti dan menatap samuel penuh tanya.

"Hati-hati." Samuel langsung beranjak pergi setelah itu.

Nathan berdiri di tempatnya dengan mata yang terus menatap punggung Samuel hingga laki-laki itu menghilang dari pandangannya.

Tanpa mengucapkan sepatah kata, Nathan langsung pergi meninggalkan tempat itu. Satu hal yang pasti, Nathan akan terus mengingat perkataan Samuel. Dan, ia tak sebodoh itu berbuat hal yang bisa saja membahayakan nyawa Fara.

Tiba-tiba langkah Nathan berhenti tepat sebelum menginjakkan kakinya di lantai tiga. Matanya tajam saat mendengar suara gaduh dari salah satu ruangan. 

'Kenapa tiba-tiba perasaanku memburuk?'

Samuel menatap lorong-lorong kosong yang dilewatinya dengan waspada. Hampir semua ruangan telah ia amati. Namun, tidak ada sedikitpun yang mencurigakan di matanya.jika terus begini, ia hanya bisa berharap Fara berada di lantai tiga.

Samuel tentu lebih mempercayai kemampuan Nathan daripada Fauzan. Jika Fara ditemukan oleh Nathan, ia tak akan merasa khawatir, tapi jika Fauzan yang menemukannya, ia khawatir Fara akan terbebani.

Melihat seperti apa Fauzan, Samuel jelas yakin dengan pikirannya. Jika Fauzan bertemu dengan puluhan preman, dia akan lebih memilih kabur daripada menghadapinya.

See! Saat bersama Fara nanti, Fauzan jelas akan menjadi beban!

"J-jangan mend-dekat!!!"

Di lantai satu, situasi yang amat berbeda terjadi. Jika suasana yang terasa di lantai dua ataupun tiga menyangkut keselamatan Fara, Fauzan yang berada di lantai satu justru tengah berperang melawan rasa takutnya.

Wajah Fauzan pucat pasi saat melihat gaun putih polos bergelantungan bebas di pinggir jendela. Terlebih saat gaun tersebut bergoyang seiring hawa dingin yang merayap tubuhnya.

Merinding!

Sumpah demi apapun, rasanya Fauzan tengah berada dalam percobaan uji nyali.

Goak…goak…goak…

Tubuh Fauzan semakin menciut saat mendengar suara serak burung gagak yang terbang melayang melewati jendela.

'Samuel, tolongin gue hueeee' batin Fauzan menjerit.

*****

"Mana bisa gitu om?!"

Fara berkacak pinggang saat menyuarakan protesnya. Matanya melotot tajam karena lawan bicaranya yang masih belum mau mengalah.

"Ya bisalah!?" Ngegas lawan bicara Fara. Sebut saja Bimo. Salah satu preman yang telah menculiknya.

"Tapi Om kan udah lihat, saya dari tadi udah menang loh. Sesuai perjanjiannya kan Om harus traktir seblak!" Tuntut Fara tanpa rasa takut.

"Dosa dek, nggak berkah," celetuk preman lain sok menceramahi.

"Terus Om-Om yang nyari saya nggak dosa gitu?!" Cibir Fara menatap para preman sinis.

JLEB!

Salah satu preman tergagap karena merasa tertohok dengan ucapan Fara. "Ng-nggak gitu konsep—-"

"Terus apa?!" Fara semakin ngegas.

Preman tersebut kembali bungkam dengan wajah tertunduk. Harga dirinya terasa tercubit karena pertama kali dalam hidupnya, ia dikalahkan oleh korban. Sudah kalah dalam permainan, kalah pula dalam debat. Sial! Double kill! Ia benar-benar menyesal mengajak bocah bau kencur itu bermain catur!!

Fara tersenyum puas saat melihat para penculiknya menunduk kompak. "Gimana? Nyesel kan nyulik saya?" tanya Fara dengan senyuman yang masih sama.

Para penculik dengan serentak mengangguk, meski gerakannya kaku.

"Makanya jangan pernah memancing emosi cewek. Bagaimanapun cewek itu selalu benar!! Paham?" Fara menatap penculiknya satu persatu sembari memberikan nasihat.

"Siap, paham!" Jawab para penculik serentak. Persis seperti junior pramuka yang ditanyai oleh senior.

"Bagus!" Fara bertepuk tangan dengan ekspresi bangga.

Dengan senyum mengembang, Fara bertanya kembali.

"Jadi, yang beli seblak siap—"

"FARAA! LO DI DALAM FAR?"

Krik…krik…krik…

Senyum Fara luntur saat itu juga, tergantikan dengan raut pucat. Batinnya meratap sedih, terlebih saat melihat bayangan semangkok seblak yang semakin menjauh dari jangkauannya.

Hiks…hiks…good bye my seblak…

Dan…

Fara melirik para penculiknya yang tengah saling pandang dengan ekspresi bingung. Fara yakin, mereka mulai tersadar dengan kebodohannya.

Habislah riwayatmu, Fara…(part 2)
.
.
.
Tbc.

Transmigrasi FiguranWhere stories live. Discover now