3: Shopping Spree

30 5 4
                                    

Lilly mengumpati aplikasi ramalan cuaca di ponselnya sambil mengatur alat pendingin mobil. Suhu hari ini pasti lebih dari 90 derajat Fahrenheit, bukan 84 derajat seperti yang tertulis di sana. Sialnya, suhu mobil tidak bisa lebih rendah lagi walaupun Lilly sudah berusaha keras menyetelnya.

"Sudahlah," kata Clara, meliriknya dari balik kacamata hitamnya dengan seringai lebar. "Mobil tua ini tidak bisa lebih dingin dari ini."

Clara tampak cantik hari ini. Kaus putih polos dan celana jeans pendeknya menonjolkan kulitnya yang halus. Rambut pirangnya yang dipotong bob diikat setengah asal-asalan. Suaranya saat bernyanyi mengikuti lagu Kacey Musgraves terdengar manis. Dengan riasan yang tepat, Clara terlihat seperti aktris atau penyanyi era 50-an yang membuat setiap kepala menoleh saat dia memasuki ruangan.

Orang bilang mereka mirip, tetapi Lilly tahu dia tidak secantik Clara. Rambutnya juga pirang, tetapi warnanya lebih kusam. Ekspresi wajah Clara begitu ramah, sementara ekspresi Lilly membuatnya terlihat sombong. Mungkin itu yang mempersulit Lilly mencari teman. Semua orang telanjur mengecapnya sebagai gadis sombong yang tidak mau berteman dengan siapa pun selain kakaknya sendiri.

"Aku tidak tahu bagaimana caramu bertahan menggunakan mobil ini." Lilly menyerah, lalu menyandarkan badannya. "Aku akan mati terpanggang di sini."

"Kau berlebihan. Carberry tidak akan membunuhmu." Clara tertawa. "Namun, aku setuju. Hari ini rasanya lebih panas dari kemarin."

Clara menamai mobilnya Carberry karena warnanya mirip jus cranberry. Dia mendapatkannya dari hasil menabung dan upah pekerjaan paruh waktu di sebuah butik. Dia menolak tawaran Dad untuk membelikannya mobil keluaran terbaru—katanya, dia ingin tahu seperti apa rasanya memperjuangkan sesuatu yang sangat dia inginkan. Mobil ini dibelinya saat libur musim panas tahun lalu. Clara sangat menyayanginya.

Meskipun Carberry tidak berhasil menurunkan suhu, dia berhasil membawa Clara dan Lilly ke salah satu pusat perbelanjaan besar di kota. Tempat itu ramai. Untung saja mereka mendapatkan tempat parkir yang cukup dekat dengan pintu masuk.

Sesuai janji, Clara membawa Lilly ke toko buku terlebih dahulu. Lilly menghabiskan begitu lama di bagian fiksi, sementara Clara sudah menyusulnya dengan sebuah buku biografi dalam lima belas menit. Sulit sekali memilih buku di saat semuanya terlihat begitu menarik. Pada akhirnya, Lilly memilih dua buku young adult, satu fantasi dan satu romance, lalu menyerahkannya kepada Clara untuk dibayar.

Setelahnya, Lilly mengikuti Clara memasuki toko-toko baju. Lilly tidak mengerti fashion, jadi dia hanya bisa memperhatikan Clara mengambil beberapa pakaian yang menurutnya bagus. Clara menyodorkan sebuah jumper berwarna merah pastel yang lucu sekali, lalu menyuruh Lilly mematut diri di depan cermin. Terusan itu hanya sepanjang lutut.

"Ah, kau cantik sekali pakai ini," kata Clara.

Lilly memperhatikan bayangannya di cermin. Terusan itu memang bagus, tetapi dia tidak yakin dia cocok memakainya. "Kau terlalu baik."

"Aku bersungguh-sungguh. Kau bisa memakainya dengan kaus putih di musim panas, atau sweter putih jika suhu mulai dingin. Sekolah sudah akan dimulai. Kau perlu banyak baju baru."

Lilly tidak segera membalas. Dia tidak sempat mengkhawatirkan pakaian apa yang akan dia pakai di tahun senior. Dia lebih memikirkan tentang apa yang harus dia lakukan supaya bisa melewati tahun seniornya sendirian. Tahun senior seharusnya menjadi tahun yang paling ditunggu-tunggu setiap siswa. Memang akan ada ujian-ujian yang membuatnya pusing, tetapi juga akan ada prom, senior prank, dan berbagai aktivitas lainnya, yang hanya akan asyik kalau dia bisa menikmatinya bersama teman.

"Aku tidak punya sweter putih," jawab Lilly singkat.

"Kau bisa pakai punyaku." Clara tampak berpikir. "Kurasa kau akan perlu sneakers juga. Ayo."

Setelah membeli tiga buku, satu terusan jumper merah pastel, satu cardigan krem, dan dua pasang sneakers putih, Clara dan Lilly mampir ke sebuah restoran untuk makan siang. Kaki Lilly terasa kaku—dia sudah jarang berolahraga dan bergerak semenjak menghabiskan liburannya menonton Netflix di kamar. Meski begitu, hari ini adalah hari terbaik yang dia alami setelah sekian lama.

"Aku baru menyadari kalau kita membeli begitu banyak barang," ujar Lilly sembari merenggangkan badannya. "Seharusnya aku juga membelikanmu sesuatu."

Clara menggeleng. "Aku membeli semua ini sebagai hadiah untukmu. Tahun senior adalah tahun yang berat."

"Kau tidak usah mengingatkanku soal tahun senior," gerutu Lilly. "Dan, kau yang akan pergi. Seharusnya aku juga membelikan sesuatu untukmu."

"Hari ini sudah cukup," Clara tersenyum. "Jangan sedih, dong. Kita, kan, bersenang-senang hari ini."

"Aku tahu, tapi..." Lilly terdiam. Dia benar-benar tidak ingin mengungkit soal kekhawatirannya pada Clara, tetapi dia telanjur merasa buruk. "Tidak, aku tidak ingin merusak hari ini."

Clara sepertinya tahu apa yang membebani pikiran Lilly, karena dia berpindah ke sebelah Lilly dan merangkulnya. "Hei, kau akan baik-baik saja, oke? Semuanya tidak akan seburuk itu. Kau akan melewati tahun seniormu dengan baik. Lagipula, sudah saatnya kau mencari teman selain aku."

"Kurasa bukan hanya itu," balas Lilly, menyandarkan kepalanya di bahu Clara. "Kau selalu ada di dekatku. Setiap kali aku butuh bantuan, aku bisa langsung menemuimu dan meminta bantuanmu. Besok, kau tidak akan ada lagi. Bagaimana jika kau melupakanku?"

"Itu tidak akan mungkin terjadi, Lilly." Clara mengelus lengan adiknya. "Kenangan bersama orang yang kita sayang disimpan di dalam hati. Hati tidak pernah lupa, meskipun otak tidak bisa mengingat semuanya."

Apakah Lilly sedang bersikap terlalu manja? Dia merasa begitu egois sekarang. Dia seharusnya mendukung Clara. Tidak mudah diterima di universitas bergengsi seperti Stanford University. Clara tidak pergi jauh—meski perjalanan ke sana membutuhkan waktu empat jam lebih dengan pesawat, Stanford masih satu negara bagian dengan Los Angeles. Lagipula, Clara pergi untuk melanjutkan pendidikannya. Lilly seharusnya mendukung impian Clara, bukan membuatnya khawatir akan keadaannya sendiri.

"Ini rahasia, ya," bisik Clara. "Sebenarnya, aku juga takut pergi."

Lilly menegakkan posisinya dan menatap Clara. Di matanya, Clara adalah sosok yang berani. Clara tidak akan kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru. Dia akan langsung akrab dengan orang pertama yang dia temui, lalu bersama-sama mereka akan berteman hingga lulus kuliah, atau bahkan hingga bekerja. Lilly tidak mengira Clara akan takut kuliah di Stanford.

"Benarkah?" tanyanya kemudian.

Clara mengangguk. "Aku tidak pernah begitu jauh dari kau, Mom, dan Dad. Ditambah, aku akan sendirian di sana. Haley kuliah di Duke, Anna akan ke Chicago, dan Louisa di MIT. Kalau ada masalah, aku tidak akan dengan mudah memanggil kalian."

"Kukira kau sudah tidak sabar untuk pergi."

"Tidak, aku hanya berpura-pura semangat karena aku tidak mau menghadapi perasaanku yang sebenarnya." Clara tersenyum, meski senyumnya tampak sedih. "Kau juga begitu, kan?"

"Kau sangat memahamiku," Lilly balas tersenyum. "Omong-omong, sebaiknya kita simpan saja kesedihan kita sampai besok, ketika kau harus betulan pergi. Aku ingin menghindari perasaan sedihku sampai aku tidak lagi bisa menghindarinya."

Clara tertawa. Dia kembali ke tempat duduknya yang semula. "Baiklah. Bagaimana kalau kau ceritakan saja film yang kau tunggu-tunggu itu? Apa sih, judulnya?"

Lilly kemudian menceritakan tentang film yang dia tunggu-tunggu. Ditemani piza dan milkshake, Lilly dan Clara membicarakan banyak hal—tentang apa pun, asalkan bukan kepergian Clara dan kekhawatiran Lilly. Sebisa mungkin Lilly ingin menikmati waktu yang dia miliki bersama Clara.

Setelah puas, merekakemudian pulang. Mereka harus menonton film baru.

Reminiscing ThomasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang