38: Keeping Promises

9 2 0
                                    

Musik country sedang berputar di kedai makanan langganan Lilly dan Clara. Energi Lilly terkuras setelah dia mengeluarkan seluruh emosinya, jadi dia mengajak Clara mampir untuk makan. Meski begitu, dia hanya melamun, mengabaikan burger dan kentang goreng yang dia pesan. Lilly bahkan tidak sedang memikirkan apa-apa. Seluruh tubuhnya seperti berhenti berfungsi dengan benar.

Lilly kembali memfokuskan perhatiannya pada lingkungan sekitarnya saat Clara memanggilnya. Tiba-tiba saja, Lilly jadi merasa kasihan pada Clara, yang sudah dengan sabar mengurusnya selama ini. Clara juga tidak kembali ke Stanford meski dia seharusnya mengurus sebuah acara. Entah bagaimana nasib acara itu sekarang. Tidak mungkin Clara masih menjadi bagian dari acara itu jika dia menetap di Los Angeles selama ini.

"Kalau kau sedang tidak ingin makan, kita bisa membawanya pulang saja," kata Clara.

"Tidak, aku makan di sini saja." Lilly kemudian mengambil burgernya dan menggigitnya. Burger ini sebenarnya enak, tetapi sekarang rasanya jadi sedikit memuakkan. Mungkin dia memang sedang tidak berselera saja. "Jangan khawatirkan aku."

"Aku kakakmu, tidak mungkin aku berhenti mengkhawatirkanmu."

Lilly tersenyum tipis. Dia mencoba mengalihkan topik saja dan bertanya, "Kau tidak kembali ke Stanford? Bukankah kau sedang mengurus sebuah acara?"

"Oh, itu. Aku sudah mundur dari kepanitiaan itu," ujar Clara selagi mengambil kentang goreng. Sebelum Lilly sempat membalas, Clara sudah melanjutkan, "Kau sedang melewati kejadian terberat dalam hidupmu, masa aku meninggalkanmu begitu saja? Aku akan kembali bersama kau besok Agustus."

"Kau pergi waktu aku sedang mengonfrontasi si Thomas palsu."

"Mana kutahu Mom akan menyuruhku belanja? Mom kan, tidak pernah memasak. Aku kesal sekali. Seharusnya aku ada di sana dan bisa menghajarnya habis-habisan. Setidaknya aku bisa tahu apakah olahraga yang selama ini kulakukan berhasil atau tidak. Yah, kurasa pemuda itu sedang beruntung saja."

Lilly tertawa mendengarnya. "Ah, aku jadi kesal lagi padanya. Kau tahu, saat aku memarahinya, dia malah balik menyalahkanku. Dia bilang ini semua salahku, karena aku yang salah mengenalinya sebagai Thomas."

"Sungguh?" Clara mengernyit. "Aneh sekali dia. Tidak ada orang normal yang akan mengiyakan begitu saja saat salah dikenali seperti itu."

"Makanya. Dia memang aneh."

"Sudahlah. Sekarang kan, kau sudah mengetahui kenyataan yang sebenar-benarnya. Pemuda itu bisa mengaku sesukanya, tetapi dia tidak akan menggantikan Thomas, terutama karena kau sudah memiliki sebagian ingatanmu dengan Thomas yang sebenarnya."

Lilly merenungkan kalimat Clara. Dia menyetujuinya—Mark memang tidak akan pernah bisa menggantikan peran Thomas sampai kapan pun. Namun, bukankah keputusan Mark untuk mengaku sebagai Thomas berperan dalam mengembalikan ingatan Lilly akan Thomas?

Jika dipikirkan, Lilly baru mengingat tentang Thomas setelah dia melihat Mark. Kemunculan Mark di kamar rumah sakit Lilly waktu itu memantik ingatan Lilly akan Thomas. Waktu-waktu yang dihabiskan Mark bersamanya mengembalikan banyak sekali kenangan indah yang dibuat Lilly setahun belakangan. Semua kenangan itu memang sedang menyakiti Lilly saat ini, tetapi tanpanya, Lilly tidak akan tahu bahwa hidupnya pernah sangat membahagiakan.

Lilly tiba-tiba teringat akan sesuatu. "Clara, aku jadi ingat akan ucapanmu sebelum kau pergi ke Stanford."

"Apa yang kukatakan?"

"Sesuatu tentang kenangan. Kurasa kau mengatakan kalau hati tidak akan pernah melupakan kenangan yang kita punya meski otak kita melupakan semuanya. Apa itu benar?"

"Itu benar. Tepatnya, hati tidak akan melupakan emosi yang kita rasakan saat mengalami sebuah kejadian, yang pada akhirnya menjadi memori kita."

"Kau akan menganggapku gila, tetapi kurasa hatiku tahu bahwa ada orang yang penting dalam hidupku yang aku lupakan, dan Mark membantuku mengingat bahwa orang itu adalah Thomas."

Clara memikirkan kalimat Lilly cukup lama. "Eh, yah, itu memang terdengar gila. Namun, dengan sudut pandang itu, Mark tidak lagi terdengar seperti pemuda bajingan yang menyakitimu. Dia justru terdengar seperti..., entahlah, pokoknya sesuatu yang baik."

Lilly mengangguk. "Kurasa aku terlalu mengada-ada."

"Kau hanya lelah. Habiskan makananmu supaya kau bisa berpikir dengan lebih jernih."

"Bagaimana jika aku tetap berpikir seperti itu setelah aku kenyang dan tidak lelah lagi?"

Clara mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu. Namun, sudut pandang itu tidak terdengar sangat buruk. Memori akan Thomas adalah memori yang penting bagimu. Kurasa tidak aneh jika kau berterima kasih pada Mark karena telah mengembalikannya meski dengan cara yang luar biasa aneh."

Sambil menggigit burgernya, Lilly memikirkannya.

Mark dikejutkan oleh bunyi alarm yang keras sekali. Sambil menggerutu Mark mencari ponsel, mematikan alarm, lalu berusaha melanjutkan tidurnya. Hari ini, Mark memutuskan untuk cuti. Dia tidak bisa fokus bekerja selama beberapa hari terakhir, jadi sebelum Mrs. Hughes memecatnya, Mark lebih baik mengambil waktu sejenak untuk beristirahat.

Mark memijat kepalanya untuk meredakan sensasi berdenyut yang dia rasakan. Dia masih pengar akibat menghabiskan sebotol alkohol murahan semalam. Dia tidak ingin menjadi pecandu alkohol, tetapi kalau dia sudah sanggup menghabiskan alkohol sebanyak itu dalam semalam, bisa-bisa hal itu terwujud. Mark tidak ingin itu terjadi. Demi Mom, dan demi dirinya sendiri, Mark tidak boleh jadi pecandu.

Sial, kenapa Mark jadi sekacau ini? Dia sendiri yang ingin mencari tahu kebenarannya, dan sekarang dia yang menyesali keputusannya.

Ah, Mark tidak mau memikirkannya. Dia memutuskan untuk berdiri dan mandi saja supaya tubuhnya segar lagi. Kakinya menendang botol alkohol yang tergeletak begitu saja di lantai kamarnya. Mark melewatinya begitu saja. Jika dia keluar dengan botol itu, Mom akan tahu apa yang dia lakukan semalam dan sudah pasti akan kecewa padanya. Dengan sedikit terhuyung, Mark membuka pintu kamarnya.

"Aku sudah memasakkan telur untuk sarapan," seru Mom, yang sedang mengenakan sepatunya. "Kau bangun siang sekali hari ini. Memang kau tidak bekerja?"

"Tidak," balas Mark dengan suara parau.

"Kau sakit? Apa aku perlu membelikanmu obat?"

Mark menggeleng. "Selamat bekerja, Mom."

Mom mengatakan sesuatu entah apa dan pergi. Mark mengisi sebuah gelas dengan air dan meminumnya hingga habis. Pengar yang dia rasakan setelah mabuk terasa lebih buruk daripada apa pun masalah yang ingin dia lupakan semalam. Ingatkan lagi kenapa dia perlu mabuk? Oh, benar, kemarin adalah peringatan tiga minggu kematian Julia—Mark masih saja menghitungnya, meski mengetahuinya hanya akan membuat tingkat stresnya bertambah.

Seharusnya bukan Julia yang mati malam itu. Bukan dia yang bersalah, melainkan Eric. Kenapa harus nyawa Julia yang diambil?

Perut Mark tiba-tiba bergejolak. Dia cepat-cepat berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya. Dia benar-benar harus berhenti mabuk. Tidak ada gunanya juga dia meminum alkohol sampai berbotol-botol. Julia tidak akan kembali. Keadaan tidak akan berubah.

Setelah mandi dan sarapan, perasaan Mark membaik. Dia memutuskan untuk pergi berjalan-jalan dibandingkan tetap di rumah dan menonton televisi—toh tidak ada tayangan yang bagus. Dia mengambil ponselnya, menyadari sebuah pesan yang baru saja masuk.

Bisakah kita bertemu? Aku ingin membicarakan sesuatu.

Pesan itu dari Lilly.Mark terdiam ragu. Apa yang ingin dibicarakan gadis itu?

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now