30: Gone Forever

7 2 0
                                    

Lilly memperhatikan pemuda di hadapannya—pemuda yang dia kira adalah Thomas. Pemuda itu memucat setelah Lilly menanyakan identitasnya.

Sejak menyadari bahwa Thomas yang ada di dalam foto itu berbeda dengan Thomas yang selama ini Lilly temui, Lilly tahu, hanya ada satu kesimpulan yang bisa diambil: orang yang selama ini dia temui bukan Thomas. Pemuda itu hanya kebetulan mirip saja, sehingga Lilly salah mengenalinya sebagai Thomas. Amarah Lilly seketika memuncak saat menyadarinya. Selama ini dia telah dibohongi.

Clara sudah mencoba menelepon dan memaki pemuda itu—si Thomas palsu—tetapi tidak ada balasan. Lilly juga ikut coba menelepon dengan hasil yang sama. Pemuda sialan itu tidak berani menjawab. Mungkin dia tahu bahwa panggilan dari Clara dan Lilly menandakan sesuatu yang buruk. Lilly terpaksa menunda emosinya hingga sekarang—kemarahannya yang sempat sedikit padam tadi kembali membara melihat pemuda itu di hadapannya.

"Apa maksudmu?" tanya pemuda itu kemudian—suaranya terdengar sedikit gemetar.

Lilly ingin tertawa mendengar pertanyaan itu. "Tidak perlu berkelit dan tidak usah berpura-pura tidak tahu. Aku tahu kau bukan Thomas."

Pemuda itu tidak membalas. Lilly berbalik, hendak mengambil buku tahunan yang dia letakkan di atas meja di ruang keluarga. Lilly tidak yakin keputusannya untuk membiarkan pemuda itu memasuki rumahnya adalah keputusan yang tepat, tetapi dia tidak punya pilihan lain. Pemuda itu sudah masuk, mengikutinya dengan ragu-ragu. Lilly memperhatikan seisi ruang keluarga, mencari benda-benda yang sekiranya bisa dipakai untuk menyelamatkan diri.

Lilly membuka buku tahunannya. Dia menunjukkan foto yang menurutnya paling jelas menunjukkan wajah Thomas dan bagaimana karakternya yang sebenarnya. Foto itu menunjukkan seorang pemuda dan seorang pria, yang masing-masing membawa sebuah pot tanaman. Di bawahnya, sebuah catatan: Mr. Albert Johnson dan Thomas Lane, mengangkat bibit bunga daffodil untuk ditanam di kebun sekolah. Pemuda itu memperhatikan foto itu dengan saksama.

"Apa kau menyadari apa yang kulihat?" tanya Lilly. "Seperti itulah wajah Thomas yang sebenarnya. Sama seperti yang ada di foto Instagram itu, juga dengan berbagai fotonya yang ada di buku ini." Lilly mulai membalikkan halaman-halaman buku tahunannya, menunjukkan foto-foto Thomas yang lain. "Thomas terlihat seperti itu. Kau tidak terlihat seperti itu. Kau bukan Thomas, kan?"

Melihat pemuda itu tidak tidak bisa membalas, Lilly melanjutkan, "Selain dari wajah, aku juga tahu kalau Thomas suka membaca. Beberapa kali aku melihat fotonya di perpustakaan, sedang membaca buku dengan saksama. Kau sendiri yang mengaku kau tidak suka membaca."

Amarah Lilly mulai menguasainya. Sebagian dirinya marah pada pemuda itu karena mengelabuinya; memberinya kebahagiaan semu, dengan menjadi Thomas. Sebagian lain marah pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin Lilly bisa semudah itu dibohongi? Bagaimana mungkin Lilly semudah itu memercayai kebohongan yang diucapkan pemuda itu dan menelannya bulat-bulat?

"Siapa kau?" tanya Lilly kemudian. "Kenapa kau melakukan ini?"

Tubuh pemuda itu tampak lesu. "Maafkan aku. Aku memang bukan Thomas. Namaku yang sebenarnya adalah Mark Powell."

Walaupun Lilly tahu ucapan Mark hanya mengonfirmasi apa yang dia sudah ketahui, mendengar pengakuannya tetap saja membuat Lilly terkejut. Lilly tidak habis pikir. Untuk apa Mark melakukan hal gila ini? Lilly tidak pernah mendengar seseorang yang cukup gila untuk mengaku sebagai orang lain. Mark pasti sudah hilang akal atau sakit jiwa. Hanya orang-orang seperti itulah yang mau melakukan hal-hal seperti ini.

"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Mark. "Selain karena foto-foto itu."

Lilly memperhatikan Mark tajam. "Kalau kuperhatikan, kau tidak pernah memberitahuku apa-apa. Kau selalu menunggu hingga aku mengingat sesuatu, baru kemudian kau akan membenarkannya, seperti saat aku ingat nama panggilan yang Thomas pakai untukku. Kau baru mulai memanggilku 'White Lilly' setelah aku yang mengingatnya. Kau sering sekali melakukannya. Satu-satunya yang tidak kuketahui adalah bagaimana kau bisa mengetahui tentang Tony."

Lilly sudah berusaha mencari jawaban atas pertanyaan itu, tetapi tidak dia temukan. Dia tidak yakin pernah mengenal Mark sebelum ini. Lagipula, jika Lilly pernah mengenal Mark, dia pasti tidak akan salah mengenalinya sebagai Thomas. Hanya saja, jika mereka tidak saling mengenal sebelumnya, dari mana Mark tahu tentang Tony? Lilly ingat betul Mark-lah yang pertama kali menyebutkan soal Tony.

"Bisakah aku menjelaskannya?" tanya Mark. Dia mengulurkan bunga yang dia bawa lagi, "Duduklah dulu, dan terimalah bunga ini. Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu."

Bunga-bunga itu membuat emosi Lilly meningkat. Direbutnya bunga itu dan dilemparkannya tepat mengenai dada Mark. "Persetan dengan bunga-bunga sialan ini! Kau tidak perlu berpura-pura memedulikanku. Kau sebenarnya memanfaatkanku saja, kan?"

Mark menghela napas. "Sebenarnya, iya. Aku sedang mencari informasi—"

"Kau mengaku, rupanya. Orang gila! Aku sedang sakit dan lemah, dan kau malah memanfaatkanku. Kau sakit."

"BIARKAN AKU BERBICARA!" seru Mark tiba-tiba, membuat Lilly tersentak. "Aku sudah akan menjelaskannya kepadamu, tetapi kau memotongku terus! Kau mau penjelasan atau tidak, sih? Dasar gadis gila."

"Oh, aku gila? Kalau aku gila, kau apa? Kriminal?"

"Semua ini gara-gara kau, tahu?" bentak Mark. "Kau yang salah mengenaliku sebagai Thomas!"

Lilly tertawa mendengar ucapan Mark. "Oh, jadi kau melemparkan kesalahan kepadaku? Aku bisa saja salah mengenalimu sebagai, entahlah, Jacob Elordi atau siapa, tetapi itu tidak berarti kau harus mengaku sebagai dia! Orang normal akan bilang aku salah orang."

Mark diam saja mendengar balasan Lilly. Bagaimana mungkin pemuda ini malah memarahi Lilly? Dilihat dari sudut pandang manapun, Lilly-lah yang berhak marah. Lilly yang dibohongi dan dimanfaatkan. Kenapa justru Mark yang berani membentaknya?

"Baiklah," kata Lilly akhirnya, "jika kau memang mau menjelaskan, jawab saja pertanyaanku. Di mana Thomas yang sebenarnya? Kau pasti tahu sesuatu."

Mark tergeragap. Dia tampak akan mengatakan sesuatu, tetapi batal. "Aku... aku tidak tahu. Aku tidak tahu di mana Thomas."

"Kau kenal Tony, kau seharusnya tahu sesuatu."

"Aku tidak kenal Tony." Mark menghela napas. "Aku bertemu dengannya karena aku ingin tahu apa yang terjadi pada saat ledakan itu terjadi, oke? Aku ingin tahu apa yang terjadi pada Julia, kakakku. Dia juga menjadi korban ledakan itu. Karena itu aku mendekatimu. Aku kira kau tahu sesuatu. Thomas bisa mengembalikan memorimu, jadi kukira tidak ada salahnya aku mencobanya."

"Kau tahu. Kau pasti tahu sesuatu." Lilly mengambil bantal sofa dan memukul Mark dengannya. "Beri tahu aku di mana Thomas! Kau tahu sesuatu. Aku harus tahu di mana Thomas yang sesungguhnya. Kau pasti melakukan sesuatu padanya, kan? Kau orang gila."

"Hentikan!" Mark menarik bantal itu dan melemparnya sembarangan—untungnya bantal itu menabrak dinding dan tidak merusak apa-apa. "Aku tidak melakukan apa-apa. Aku tidak mungkin melakukan sesuatu karena aku tidak pernah bertemu dengan dia."

"Kenapa tidak? Kau sudah mengambil identitasnya, kau bisa saja melukainya." Lilly akan tertawa jika perasaannya tidak sakit. "Kau sudah berbohong terus sedari tadi, kenapa kau tidak bisa berkata jujur sekali saja?"

"Aku berkata jujur."

"Kau tidak mengatakan semuanya. Kau menyembunyikan sesuatu!" Lilly merasa putus asa. "Demi Tuhan, beri tahu aku di mana Thomas!"

"Dia sudah tidak ada, oke?" balas Mark, membuat Lilly mematung seketika. "Thomas sudah mati, Lilly! Aku bahkan tidak pernah bertemu dengannya saat dia masih hidup, bagaimana mungkin aku melukainya?"

Setelahnya hening. Lilly masih berusaha memproses balasan Mark. Otaknya memutar kalimat tersebut berulang-ulang. Thomas sudah mati. Thomas sudah mati. Thomas sudah mati.

Seluruh amarah danenergi Lilly seperti tersedot keluar, menyisakan kekosongan di dalam hatinya.

Reminiscing ThomasWo Geschichten leben. Entdecke jetzt