29: To Be Honest

4 2 0
                                    

Mark berdiri di depan guci berisi abu pembakaran Julia, menatapnya kosong. Akhir-akhir ini, setiap pagi, dia selalu memperhatikan guci itu untuk waktu yang lama, hingga dia terlambat bekerja. Padahal dia tidak melakukan apa-apa. Hanya melamun saja, tidak memikirkan apa-apa, sampai dia sadar dia harus segera pergi.

Mark merasa ingin menyerah saja. Semua pilihan yang dia buat sejak Julia meninggal tidak membawanya ke mana-mana. Lilly tidak mengingat apa-apa, Eric tidak tahu-menahu soal keberadaan Julia malam itu, dan Tony keburu mengusirnya sebelum Mark bisa mendapatkan jawaban. Sekarang Mark tidak tahu lagi harus mencari ke mana. Pencariannya sia-sia saja.

Mark tahu Julia sudah tidak ada, dan dia sendiri tidak sepenuhnya percaya dengan kehidupan setelah kematian, tetapi ada kalanya Mark bertanya-tanya apakah Julia bisa memperhatikannya. Seperti apa respons Julia melihat Mark dari sana? Apakah Julia gemas ingin menyuruh Mark berhenti? Mark tidak tahu akan seperti apa respons Julia, dan itu membuatnya kesal.

Mark menghela napas. Kenapa juga Mark tidak bisa melepaskan Julia dengan cara normal? Kenapa dia harus melibatkan diri ke dalam kehidupan seorang gadis asing dengan berpura-pura menjadi pemuda yang tidak pernah dia temui sebelumnya?

Dering ponsel menyadarkan Mark dari lamunannya. Sebuah pesan dari Lilly. Gadis itu sempat meneleponnya kemarin, begitu pula dengan kakaknya, yang tidak sempat Mark angkat karena dia sedang membantu Mom di dapur. Nada pesan yang dikirimkan Lilly juga tidak menolong. Mark tahu, dia tidak bisa mendengar Lilly mengatakannya langsung, tetapi Mark bisa mengenali perbedaan dari cara Lilly mengetikkan pesannya.

Kau harus datang hari ini. Kita harus bicara.

Mark membalas singkat, mengatakan dia akan datang setelah pekerjaannya selesai. Balasannya hanya dibaca. Mark tidak tahu apa yang terjadi, tetapi perasaannya buruk.

Kemarin Mark memang tidak datang ke rumah Lilly. Mark merasa Lilly butuh waktu untuk menyendiri, terutama setelah Mark mulai mencoba membuat jarak. Gadis itu memang terlihat begitu sedih, tetapi Mark merasa inilah yang harus dia lakukan: membuat jarak sedikit demi sedikit hingga mereka pada akhirnya tidak lagi dekat. Setelahnya, Mark akan mengungkapkan segalanya.

Apakah Mark jahat? Di mata Lilly, dia masih Thomas. Pada dasarnya, yang Mark lakukan adalah merusak hubungan Lilly dan Thomas yang sebenarnya dengan menjadikan Thomas kejam. Mark merasa sangat bersalah, berhubung Thomas Lane terdengar seperti orang yang sangat luar biasa. Ditambah, pemuda itu sekarang sudah tidak ada. Apa yang Mark lakukan ini merupakan penghinaan terhadap Thomas yang asli.

Astaga, Mark telah melakukan kesalahan. Sebaiknya dia segera jujur saja pada Lilly. Walau begitu, apa yang sebaiknya Mark ucapkan kepada Lilly? Gadis itu tidak akan mau menerima alasan apa pun yang diajukan Mark. Lagipula, Mark tidak yakin dia bisa menjelaskan alasannya, berhubung dia sendiri tidak bisa menjelaskannya pada dirinya sendiri. Dia memang aneh. Orang-orang punya alasan untuk melakukan sesuatu, tetapi dia tidak.

"Mark, jangan melamun saja," kata Archie. "Ada seorang pelanggan. Kau tangani dia."

Mark mengangguk, lalu menghampiri pelanggan tersebut. Wanita itu menyodorkan sebuah daftar berisi bunga-bunga apa saja yang harus ada di dalam buket tersebut—daftar itu begitu panjang, membuat Mark sendiri pusing melihatnya. Wanita itu akan mengadakan pesta makan malam bersama beberapa teman dekatnya, dan buket rumit itu selalu menjadi hiasan di tengah meja.

Meski begitu, Mark sama sekali tidak bisa fokus. Otaknya masih saja kembali pada rencananya meminta maaf pada Lilly. Haruskah dia membawakan bunga? Menurut Archie, jika Mark membawakan bunga lili favoritnya, kemarahan Lilly bisa saja berkurang. Meski begitu, Mark tidak yakin Lilly akan memaafkannya meskipun dia membawa seluruh bunga di toko ini untuknya.

"Aku minta bunga warna kuning, bukan putih," kata wanita itu, membuat Mark tersadar dari lamunannya.

"Ah, maafkan saya," kata Mark, mengeluarkan bunga kuning itu dan menggantinya dengan yang putih.

Mark berusaha fokus, tetapi rasanya ada saja yang salah dengan buket ini. Satu jenis bunga yang diminta wanita itu habis, sehingga harus diganti dengan yang lain. Pengaturannya salah—wanita itu bilang bunga ini "tidak seperti yang dibawa temannya bulan lalu" dan bersikeras ingin membuatnya mirip, padahal Mark tidak tahu seperti apa bunga yang dibawa teman wanita itu bulan lalu.

Wanita itu sepertinya kesal sekali hingga ingin memanggil manajer toko. Mrs. Hughes datang mendekat. Mark sudah yakin saja Mrs. Hughes akan memarahinya akibat kinerjanya yang buruk. Mark menarik napas panjang, berusaha menambah kesabarannya agar dia tidak ikut marah-marah. Mrs. Hughes akan semakin marah jika Mark berani menaikkan suaranya.

"Buket bunga ini jelek sekali!" seru wanita itu mengomeli Mrs. Hughes. "Memalukan sekali jika aku menghias meja dengan buket ini. Apa kau tidak punya pegawai yang lebih pintar?"

"Maafkan saya," balas Mrs. Hughes, berusaha menenangkan wanita itu. "Biar saya perbaiki."

Mark menyingkir pergi melihat tatapan Mrs. Hughes. Dia memilih untuk masuk dan minum, berharap air dingin itu bisa membuatnya tenang. Mrs. Hughes menyusul Mark ke dalam beberapa menit kemudian—pelanggan itu pasti sudah pulang dengan puas setelah buket bunganya diperbaiki oleh Mrs. Hughes.

"Kau sedang tidak fokus, ya?" tanya Mrs. Hughes; nada bicaranya sedikit dingin. "Kau tentu masih ingat kan apa yang selama ini aku ajarkan? Begitu ada di tempat kerja, bersikaplah profesional. Jangan membawa masalah dari rumah."

Mark hanya mengiyakan Mrs. Hughes dan menerima beberapa petuah lanjutan. Untung saja Mrs. Hughes tidak memecatnya atau apa—Mrs. Hughes hanya menyuruh Mark untuk melanjutkan pekerjaannya. Mark mengusap wajahnya lelah. Masalah ini semakin mengacaukan hari Mark, padahal dia sudah pusing memikirkan masalah Lilly. Kenapa hari ini buruk sekali?

Setelah Mark menyelesaikan pekerjaannya hari itu, dia mengambil empat tangkai bunga lili dan merangkainya ke dalam sebuah buket. Walaupun Mark yakin empat tangkai bunga lili tidak cukup untuk menyeimbangkan kenyataan yang akan dia ucapkan nanti, setidaknya Mark mengusahakan sesuatu.

"Apakah ini untuk gadis itu?" Archie menepuk punggung Mark. "Apa kau sedang berusaha meminta maaf padanya? Aku yakin dia akan memaafkanmu begitu melihat bunga ini. Hati para gadis mudah luluh jika kau membawakan bunga favorit mereka."

"Aku yakin tidak," kata Mark. "Gadis itu tidak akan memaafkanku biarpun aku menumbuhkan satu ladang khusus bunga lili untuknya."

"Wah. Apakah kesalahanmu memang sebesar itu? Tidak bisa diperbaiki sama sekali?"

"Percayalah, buruk sekali."

Archie menepuk pundak Mark. "Aku mendoakan yang terbaik untukmu."

Doa Archie, sayangnya, tidak membuat Mark tenang. Selama di perjalanan, tangannya menggenggam bunga lili dengan begitu erat. Mark mencoba merumuskan apa yang akan dia katakan nanti. Dia berusaha mencari kata-kata yang tidak terlalu menyinggung atau menyakitkan, tetapi dia tidak menemukan kata yang tepat. Apa yang harus dia katakan terlalu menyakitkan.

Rumah Lilly tampaknya sepi. Untung saja ini hari Senin—setidaknya, orangtua Lilly tidak ada di rumah saat Mark mengaku telah membohongi anak mereka. Mark menaiki tangga dengan perasaan berdebar. Mark ingin sekali berbalik dan kabur, lari sejauh mungkin dan menghindari momen ini untuk selamanya, tetapi dia tidak mungkin melakukannya. Sekarang saatnya Mark mengungkapkan segalanya.

Mark menekan bel. Semakin cepat semua ini berakhir, semakin baik.

Butuh waktu cukup lama hingga Mark mendengar Lilly berjalan mendekati pintu. Lilly masih harus mengenakan kruk, jadi Mark bisa membedakan langkah kakinya dengan langkah orang lain. Ekspresi Lilly yang keruh menyambut Mark ketika pintu dibuka. Seperti yang Mark duga, gadis itu pasti mengetahui sesuatu yang buruk, yang membuatnya harus berbicara dengan Mark secepatnya.

"Uh, ini untukmu," kata Mark, tersenyum sambil mengulurkan buket bunga yang dia bawa.

Lilly hanya menatap bunga itu tanpa berniat mengambilnya. "Untuk apa kau membawakanku bunga? Aku bahkan tidak tahu kau siapa."

Jantung Mark berdebarkencang. Apakah Lilly sudah tahu identitasnya?

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now