8: Forgotten Fragments

11 4 3
                                    

Lilly mendapatkan tamu tidak terduga hari ini. Clara menerjang masuk tadi pagi dan langsung memeluk Lilly, mengajukan sederet pertanyaan tanpa memberi Lilly kesempatan untuk menjawab panjang. Rasanya menyenangkan bisa melihat Clara lagi setelah semua yang terjadi.

Clara mengaku baru bisa pulang hari ini karena ada banyak hal yang harus dia kerjakan. Dia rupanya menjadi panitia sebuah festival musik yang diadakan bulan depan, sehingga dia harus mempersiapkan banyak hal. Clara tidak bisa langsung pulang karena ada tanggung jawab yang tidak bisa dia tinggalkan. Karena itulah, Clara baru bisa pulang lima hari setelah mendapat kabar bahwa Lilly menjadi korban ledakan.

"Aku seharusnya pulang lebih cepat," sesal Clara.

"Mungkin," balas Lilly. Dia terdiam sejenak setelah jawaban itu keluar dari mulutnya. "Tidak, sebenarnya kau tidak perlu pulang lebih cepat. Kau kan, sedang sibuk. Aku tidak ingin mengganggumu."

"Kau sedang sakit, Lilly. Kau sangat berhak menggangguku dan mendapatkan seluruh perhatianku." Clara terdiam dan memperhatikan gips di kaki Lilly. "Apa kau kesakitan?"

"Aku sangat menderita di hari pertama. Setelahnya tidak terlalu, walaupun aku masih pusing dan merasa sedikit mual. Pagi ini aku sudah baikan, kok. Semoga saja aku bisa segera pulang."

"Kurasa akan tergantung pada hasil tesmu, ya."

Lilly mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu. Kurasa hasil tesnya tidak akan bagus, berhubung kepalaku terluka."

Ekspresi Clara menjadi keruh. Terakhir kali Lilly melihat Clara sesedih itu adalah... kapan tepatnya Lilly pernah melihat Clara sedih? Sejauh yang bisa dia ingat, Clara tidak pernah benar-benar menunjukkan emosi negatifnya. Dia sering mengeluhkan tugas atau marah-marah karena temannya berbuat kesalahan, tetapi jarang sekali tampak muram atau kecewa.

"Bagaimana kalau kau bercerita tentang acara yang kau adakan itu saja?" ujar Lilly, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Apa tadi? Festival musik?"

Clara menceritakan kesibukannya selama menjadi mahasiswi freshman di Stanford University. Lilly yakin Clara pasti pernah menceritakannya dulu, tetapi dia melupakannya sama sekali. Sedikit banyak, dia merasa kecewa. Dia tidak lagi punya memori mengenai percakapan dan rahasia-rahasia yang ditukarkannya dengan Clara. Meski begitu, antusiasme Clara dalam menceritakan seluruh ceritanya membuat Lilly tenang. Setidaknya, dia tahu, dia dan Clara tetaplah akrab meski terpisah ratusan mil.

"Omong-omong," ujar Clara setelah cerita-ceritanya usai, "aku ingat kau sering menyebutkan tentang seorang cowok. Aku tidak begitu ingat namanya. Apa kau melupakannya juga?"

"Apa maksudmu?" tanya Lilly.

"Kau bilang kau sedang dekat dengan seseorang. Aku ingat sekali merasa senang karena kau berteman dengan seseorang di tahun seniormu. Aku mendapat kesan kau menyukai dia. Ah, sayang sekali aku tidak bisa ingat namanya. Kurasa namanya dimulai dengan huruf T."

Pernyataan Clara merupakan informasi baru. Lilly sangat yakin dia akan menjalani masa SMA yang menyedihkan dan sepi. Dia tidak mempercayai kemampuannya bersosialisasi sama sekali. Namun, ucapan Clara membuatnya memikirkan tentang kemungkinan yang lebih baik—bahwa dia, gadis pendiam yang tidak punya teman, akhirnya memiliki teman. Jika itu benar, maka Lilly telah melupakan teman pertama yang dia punya di SMA.

Lilly selalu berpikir, kondisinya tidak begitu menyedihkan karena dia bisa menghapus memori menyedihkan dari pikirannya selamanya. Kini, saat mengetahui bahwa tahun seniornya tidak seburuk yang dia bayangkan selama ini, penyesalan mulai muncul di dalam hatinya.

Wajah Clara tampak menyesal. "Maaf jika aku membuatmu bertanya-tanya akan dia."

"Tidak apa-apa. Terima kasih karena kau telah memberitahuku tentang dia," sahut Lilly cepat. Sebuah gagasan tiba-tiba muncul di otaknya. "Apakah mungkin namanya Aiden? Kata detektif yang menangani kasus ini—aku tidak ingat siapa nama detektif itu—Aiden yang menjadi korban ledakan kemarin bersekolah di Golden Oak juga."

Clara menggeleng. "Seperti yang kubilang, namanya diawali dengan huruf T. Kalau aku tidak salah ingat, namanya Thomas. Sebentar, aku akan mencarinya."

Pemikiran bahwa Lilly berteman dengan Aiden kini bisa sepenuhnya dieliminasi. Lilly justru mendapatkan informasi baru mengenai seseorang bernama Thomas. Nama itu terdengar sangat asing di telinga Lilly, bahkan jika dia mencoba mengingat nama teman-temannya yang dulu pernah sekelas dengannya. Memangnya ada siswa bernama Thomas di sekolahnya?

Sebuah gagasan lain muncul di kepalanya. Mungkinkah pemuda yang kemarin dia lihat Thomas? Mungkinkah karena itu wajahnya tampak begitu familier? Namun, tidak lama setelah memikirkannya, dia segera menepisnya. Jika pemuda kemarin memang Thomas, kenapa dia justru bilang kalau dia salah masuk ruangan? Bukannya seharusnya pemuda itu mengenali Lilly?

"Iya, namanya Thomas," kata Clara setelah mengecek ponselnya.

"Apa kau punya fotonya?"

"Tidak. Kau bilang dia tidak suka difoto."

Lilly mendesah. "Ah, andai saja semudah itu."

Clara sudah hendak menyahut saat Mom dan Dad memasuki ruangan. Mereka memang keluar karena dr. Jennings ingin membahas tentang hasil tes Lilly kemarin. Melihat Mom dan Dad membuat pikiran Lilly teralihkan sementara dari pemuda misterius itu. Dia mencoba membaca ekspresi orang tuanya, tetapi tidak berhasil menebak.

"Apa kata dokter?" tanya Clara.

"Lilly masih tetap harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari untuk memastikan kondisinya sudah cukup stabil sebelum bisa pulang," Dad menjawab. "Setelahnya, kau bisa melanjutkan perawatan di rumah."

Lilly memberanikan diri bertanya. "Apakah kondisi otakku buruk?"

Dad berpandangan dengan Mom sebelum menjawab, "Sepertinya tidak, karena dr. Jennings bilang kau bisa pulang. Namun kau memang mengalami gegar otak. Itulah yang membuatmu melupakan banyak hal."

"Kau akan sembuh," ujar Mom. Diusapnya pundak Lilly pelan. "Mom yakin kau akan sembuh, sayang. Jangan khawatir, ya?"

Lilly mengangguk. Dia harus meyakininya. Jika dia cukup yakin, keyakinannya akan terwujud.

Sorenya, Lilly merasa cukup sehat, dan dia ingin bisa keluar dari ruangannya untuk sejenak. Dia bahkan tidak keberatan hanya berkeliling di lantai ini, asalkan dia bisa keluar kamar. Clara membantunya duduk di kursi roda, lalu membawanya mengelilingi lantai.

Lilly tidak sepenuhnya ingat nama rumah sakit ini, tetapi tempat ini begitu luas. Tampaknya cukup lengang dan tidak terlalu sibuk. Sesekali satu atau dua perawat melewati mereka—termasuk seorang perawat wanita bertubuh gempal yang menangani Lilly ketika dia baru saja bangun. Wanita itu menyapa Lilly dan Clara saat mereka berpapasan. Rumah sakit baru terlihat ramai saat mereka tiba di lobi.

"Lilly, aku ingin membeli minum di kafetaria," kata Clara, menunjuk ke arah kanan. "Kau mau ikut, atau menunggu di sini saja?"

Lilly memilih menunggu di lobi.

Clara menurut dan memosisikan kursi roda di dekat sebuah kursi panjang. Dari sana, Lilly bisa melihat seluruh lobi. Salah satu hobinya adalah memperhatikan orang—mudah untuk melakukannya ketika kau seorang penyendiri. Dia suka melihat orang-orang melakukan aktivitas mereka. Akan ada mereka yang sibuk bergosip. Ada yang asyik sendiri dengan dunianya. Untuk sesaat, Lilly bisa melepaskan fokus dari masalahnya dan memindahkannya ke orang lain.

Seseorang melewati Lilly dan duduk beberapa kursi di sebelahnya. Pemuda itu seperti baru saja menerima berita buruk—atau, paling tidak, tidak mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia bersandar di kursi sambil mengusap wajahnya. Lilly merasa mengenal pemuda itu, tetapi tidak dapat mengingat di mana mereka pernah bertemu. Barulah ketika pemuda itu menurunkan tangannya, Lilly menyadarinya. Pemuda itu adalah pemuda salah masuk ke kamarnya.

"Hai," sapa Lilly. "Kau baik-baik saja?"

Pemuda itu menoleh padanya. Saat bertatapan seperti itu, sebuah nama muncul di kepala Lilly. Thomas.

Apakah Lillysungguhan sedang bertatap muka dengan Thomas?

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now