32: Bleeding Hearts

5 2 1
                                    

Lilly belum pernah pergi ke kantor polisi sebelumnya, berhubung dia tidak pernah terlibat dalam kegiatan kriminal apa pun. Dia hanya pernah berurusan dengan lembaga pemerintahan adalah saat dia mengurus kartu identitasnya beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit. Kartu identitasnya yang lama sudah hilang—kemungkinan besar terbakar saat ledakan waktu itu.

Lilly suka melihat serial televisi yang menceritakan kehidupan sebagai polisi. Dua yang dia ingat adalah Brooklyn Nine-Nine dan Chicago PD. Saat Lilly membayangkan bentuk bangunan dan keadaan di kantor polisi, dia akan langsung membayangkan kedua serial itu walaupun lokasinya berbeda.

Sejauh yang Lilly lihat, kantor polisi tempat Detektif Russell sama sibuknya dengan kantor polisi di kedua serial itu. Banyak sekali polisi berseragam yang berseliweran, dan setiap dari mereka tampaknya memiliki misi untuk dituntaskan. Memperhatikan orang lain bekerja cukup membantu Lilly mengalihkan pikirannya. Lilly sering melakukannya ketika dia tidak punya teman dulu.

Ah, memangnya dia masih punya teman sekarang?

Lilly menggelengkan kepala, berusaha mencari hal lain untuk diperhatikan. Dia sedang tidak ingin menangis.

Detektif Russell datang sebagai pengalih perhatian itu. Dia menyuruh Clara dan Lilly untuk tetap duduk, sementara dia sendiri ikut duduk di bangku sebelah mereka. Untung saja Detektif Russell sedang ada di kantor hari ini sehingga Lilly bisa menemuinya. Detektif Russell terdengar ramah saat menyapa mereka.

"Nah," ujar Detektif Russell setelah berbasa-basi, "apa yang membawa kalian ke sini?"

"Kami ingin menanyakan tentang seorang pemuda," Clara menjawab. "Namanya Thomas Lane. Dia adalah teman Lilly di tahun seniornya, tetapi kami mendapatkan informasi bahwa dia sudah meninggal. Apakah itu benar?"

Lilly sebenarnya ingin sekali Detektif Russell menjawab bahwa dia tidak tahu siapa Thomas. Sebagian besar dirinya ingin percaya bahwa Mark lagi-lagi membohonginya, dan apa yang dia ucapkan kemarin bukan kenyataannya. Setidaknya, dengan begitu, kemarahannya akan tetap diarahkan kepada Mark. Lilly tidak perlu lagi merasakan emosi lain selain kemarahan.

Sayangnya, Detektif Russell mengangguk. "Benar. Kami mengidentifikasi Thomas Lane sebagai salah satu korban kasus ini. Dia merupakan temanmu?"

Lilly berusaha untuk menelan perasaan sedihnya dan mengangguk. "Saya takut untuk menanyakan ini, tetapi apakah Thomas ada di sana untuk menggunakan narkoba? Apakah Anda mengetahui jawabannya?"

"Tidak ada jejak narkoba di dalam sistemnya, jadi kemungkinan besar, dia tidak menggunakan narkoba. Apakah kau khawatir dia merupakan seorang pengguna, dan kau ada di sana karena diajak memakai narkoba?"

"Eh, yah, begitu." Lilly tersenyum tipis. "Apakah Anda tahu sesuatu tentang seorang pemuda bernama Tony? Dia teman kami, dan dia pernah bermasalah dengan narkoba."

Detektif Russell mengangguk. "Tony Sanders. Kami menangkapnya beberapa hari lalu."

Lilly menghela napas. Dia jadi teringat ucapan Mark kemarin—Tony bilang, kematian Thomas adalah kesalahannya. Berarti Tony tahu apa yang terjadi, dan bagaimana Thomas—serta Lilly—bisa ada di lokasi ledakan itu. Kesempatan Lilly untuk mengetahui bagaimana tragedi ini bermula adalah dari Tony. Lilly harus menemuinya. Namun, sebelum itu, Lilly harus menemui Thomas dulu.

"Detektif, apakah Anda tahu di mana Thomas dimakamkan?" tanya Lilly. Pertanyaan itu terdengar aneh—Lilly sama sekali tidak membayangkan akan pernah menanyakannya.

"Sayangnya tidak. Namun, saya mungkin bisa memberitahukan sesuatu pada Anda." Detektif Russell beranjak. Dia kembali beberapa menit kemudian, mengajak Lilly dan Clara pergi. "Ayo. Akan kuantar kalian menemui keluarga Thomas."

Lilly memperhatikan lingkungan tempat tinggal Thomas selagi Detektif Russell menekan bel rumah. Lingkungan ini tampak bersih dan terawat. Setiap rumahnya memiliki halaman depan yang dipenuhi semak-semak dan bunga berwarna-warni. Halaman rumah Thomas juga penuh bunga—jika harus menebak, mungkin Thomas yang merawat mereka semua. Dia suka sekali merawat tanaman. Lilly jadi ingin tahu apa bunga favorit Thomas.

Pintu rumah Thomas dibuka tidak lama kemudian. Wanita yang membuka pintu itu mirip dengan Thomas. Matanya yang sayu menatap mereka dengan sedikit heran.

"Mereka teman Thomas, Mrs. Lane, seperti yang tadi saya sampaikan di telepon," kata Detektif Russell.

Clara segera menyalami Mrs. Lane. "Saya Clara Hayes. Sebenarnya, hanya adik saya yang mengenal Thomas. Saya hanya mengantarnya."

Lilly berjalan mendekat. Dia turut menyalami Mrs. Lane. "Liliana Hayes, atau Lilly."

"Aku tahu," ujar Mrs. Lane menarik Lilly ke dalam pelukannya. "Kita pernah bertemu saat hari kelulusan. Thomas tidak habis-habisnya bercerita tentang kau hari itu."

Hati Lilly menghangat. Apa yang diceritakan Thomas pada ibunya? Lilly sedikit yakin dia hanya bercerita tentang Thomas pada Clara. Mom dan Dad mungkin tahu sedikit-sedikit, tetapi mereka biasanya cepat melupakan cerita Lilly—dia hanya maklum karena orangtuanya sibuk dan agak pelupa. Sepertinya Lilly mewarisi memori kedua orangtuanya yang tidak terlalu baik.

"Maafkan aku, Mrs. Lane," sahut Lilly, membalas pelukan wanita itu. "Thomas tidak seharusnya pergi secepat ini."

Mrs. Lane mengelus punggung Lilly tanpa mengatakan apa-apa untuk sesaat. Pelukannya terasa hangat. Kehangatan itu seakan melelehkan lagi air mata Lilly, membuatnya ingin terisak dalam pelukan Mrs. Lane. Pun saat mereka melepas pelukan, Lilly dapat melihat kelembutan dan kesedihan dalam mata Mrs. Lane, meski mulutnya mengulas sebuah senyum. Peristiwa ini tidak mungkin mudah baginya.

Detektif Russell pamit untuk kembali ke kantor, dan Clara memutuskan untuk menunggu di mobil saja. Lilly dan Mrs. Lane duduk di beranda rumah. Hari terasa sedikit kering dan panas. Untuk sesaat, tidak ada dari mereka yang berbicara.

"Apa yang terjadi?" tanya Mrs. Lane, menepuk kaki Lilly yang masih digips

"Ledakan itu. Ledakan yang... eh, yang mengambil Thomas." Lilly terdiam sejenak. "Selain tulang kaki saya yang patah, ledakan itu juga membuat saya melupakan semua yang terjadi sejak Agustus tahun lalu. Saya juga telah melupakan Thomas. Maafkan saya."

"Tidak apa-apa. Sekarang kau sudah mulai mengingatnya lagi, kan?" Mrs. Lane terdiam lama. "Thomas sering membicarakan tentangmu. Matanya berkilat setiap kali namamu muncul dalam percakapan. Dia juga mulai sering tersenyum tiba-tiba, dan saat itu terjadi, aku tahu dia pasti sedang memikirkanmu. Aku bisa melihat kalau dia mulai jenuh dengan sekolahnya, jadi aku senang sekali dia bisa tersenyum seperti itu."

Lilly memperhatikan Mrs. Lane bercerita. Mata wanita itu menatap jauh entah ke mana, dan Lilly bisa melihat cinta dalam sorotnya. Ceritanya membuat senyum Lilly mengembang meski air matanya mulai menggenang.

"Kau tahu, sebenarnya Thomas tidak suka disuruh gurunya mengurus kebun. Dia suka membaca tentang tanaman, tetapi tidak suka mengurusnya. Sejak, entahlah, mungkin November, Thomas mulai sering bertanya tentang cara mengurus kebun. Saat kutanya alasannya, dia hanya berkata bahwa dia ingin mencobanya. Akhir-akhir ini barulah dia bilang ingin membuat sebuah kebun berisi bunga-bunga lili putih terindah di seluruh dunia. Dia ingin membuatnya untukmu."

Air mata Lilly sudah tidak bisa dibendung lagi. Thomas ingin membuatkan kebun untuknya. Lilly ingin sekali melihat kebun itu. Dia bisa sedikit membayangkannya. Sebuah kebun bunga lili putih, dengan area teduh di tengahnya, supaya mereka bisa membaca buku bersama di tengah-tengah taman. Kebun itu begitu indah. Sayangnya, kebun itu selamanya hanya akan ada dalam bayangan.

"Aku merindukan dia," bisik Lilly.

Mata Mrs. Lane juga sudah basah. "Aku juga, Sayang. Aku juga."

Dalam pelukan Mrs.Lane, Lilly tersedu.

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now