15: White Lilies

7 3 0
                                    

Pertengahan September 2018.

Sesiangan ini Lilly berkutat dengan buku teks biologinya. Besok ujian biologi. Lilly masih belum memahami apa yang diterangkan di buku teks, apalagi menghafalnya. Jika sudah begini, bagaimana nasibnya saat ujian besok?

Lilly melirik ponselnya. Sedari tadi, dia masih belum bisa memutuskan apakah dia bisa menghubungi Thomas atau tidak. Thomas pastilah sibuk. Lagipula, mereka belum sedekat itu. Sejak bertemu di perpustakaan waktu itu, Lilly baru bertemu lagi dengan Thomas sekali di kafetaria. Thomas juga sendirian, dan Lilly memanfaatkannya untuk makan bersama meski dengan sangat canggung.

Baru sejauh itu hubungan mereka. Lilly sungkan meminta Thomas datang untuk mengajarinya biologi. Dia tidak mau mengganggu kegiatan pemuda itu, yang pasti lebih penting daripada mengajari seorang gadis canggung yang nyaris tidak dia kenal. Thomas sempat bilang dia sedang mengikuti lomba esai. Mungkin saja sekarang dia sedang mengerjakan esai itu, atau mengerjakan tugasnya, atau—

"Lilly?"

Lilly mendongak, menemukan Thomas menarik kursi di hadapannya dan duduk. Apa yang dilakukan Thomas di perpustakaan? Lilly menarik ponselnya malu-malu, seolah-olah takut Thomas tahu apa yang dia pusingkan sedari tadi. Tanpa sengaja, dia menekan tombol kirim, dan pesan yang diketiknya terkirim dalam waktu singkat. Ponsel yang dipegang Thomas seketika bergetar.

Thomas membacanya. "Uh, ya, Lilly, aku bisa mengajarimu. Lagipula, aku sedang duduk di hadapanmu."

"Eh?" tanya Lilly. Dia teringat akan pesannya dan mengecek ponselnya. "Oh, maafkan aku. Pasti tanganku tidak sengaja menekannya. Aku ragu-ragu apakah aku bisa meminta bantuanmu karena... yah, kau pasti sibuk. Aku tidak ingin mengganggu."

"Tenang saja, kau tidak mengganggu." Thomas tersenyum. "Apa materi yang menjadi bahan ujianmu?"

Lilly memutar bukunya menghadap Thomas. "Struktur sel. Aku tidak bisa menghafalnya sama sekali, dan aku sudah memelototinya selama satu jam."

"Mungkin kau bisa mencoba memahaminya?"

"Apa kau serius?" Lilly mendengus. "Aku hanya ingat kalau mitokondria berfungsi sebagai pembangkit tenaga dari sel karena memes yang banyak beredar itu."

Thomas tertawa. Lilly dapat merasakan jantungnya menderu mendengar suara tawa Thomas. Lilly senang bisa membuat seseorang tertawa. Dia bukan orang yang humoris, meski banyak perbuatannya yang bisa ditertawakan. Melihat Thomas tertawa karena sesuatu yang dia katakan membuat Lilly senang. Sekarang dia sudah satu tawa lebih dekat dengan menjadi teman Thomas.

"Harus kuakui, meme memang membuat segala sesuatu mudah diingat," kata Thomas. "Baiklah. Bagaimana kalau kita mulai dari awal?"

"Tunggu, bisakah kau memberiku waktu beristirahat? Aku pusing," keluh Lilly. Belajar terus selama satu jam sanggup membuat kepalanya berputar. Dia menatap Thomas, yang sedang mengecek jam tangannya. Lilly langsung mengoreksi dirinya sendiri, "Ah, maaf, apa kau ada urusan? Kalau kau sibuk, kita bisa belajar sekarang saja. Aku masih bisa memaksakan diri."

Thomas tampak berpikir. "Bagaimana kalau kita belajar di luar saja? Belajar di perpustakaan untuk waktu yang lama memang membuat otak lelah."

"Boleh-boleh saja. Kau ingin mengajakku ke mana?"

"Ikuti saja aku."

Lilly segera membereskan barang-barangnya dan menyusul Thomas. Kaki Thomas panjang, membuat langkahnya lebar-lebar. Lilly harus berjalan sedikit lebih cepat supaya bisa berjalan beriringan. Lilly memperhatikan Thomas dari samping. Thomas lumayan tinggi—Lilly sepertinya hanya setinggi telinganya. Rambutnya sedikit ikal dan tebal, bergerak-gerak mengikuti langkah kakinya.

Thomas mengajak Lilly ke bagian belakang sekolah. Lilly belum pernah pergi ke area ini sebelumnya. Dari yang dilihatnya sepanjang lorong, tidak ada ruang kelas di sekitar sini. Hanya ada beberapa ruang klub, seperti klub musik dan lukis, serta sebuah pintu yang mengarah entah ke mana. Tanpa Lilly duga, Thomas berhenti di depan pintu tersebut, memegang gagangnya.

"Kita akan ke mana?" tanya Lilly lagi.

"Kau akan menyukai tempat ini," kata Thomas, mendorong pintu itu dan membukanya lebar. "Selamat datang di kebun belakang sekolah."

Kebun belakang sekolah merupakan sebuah area seluas gimnasium yang penuh dengan tanaman. Sejauh yang bisa dilihat Lilly, sebagian besar tanaman di sana berupa tanaman hias—dia mengenali bunga aster berwarna putih dan kuning yang indah sekali. Pohon-pohon tinggi ada di ujung lain ruangan. Lilly baru tahu sekolah mereka memiliki kebun seluas ini.

"Whoa," ujar Lilly terkagum. "Tempat ini luar biasa."

"Kau belum pernah ke sini? Padahal Mr. Johnson selalu mengajak kelasnya ke sini, setidaknya satu kali." Thomas menarik tangan Lilly pelan. "Ayo."

Lilly masih sibuk memperhatikan kebun sehingga tidak menyadari genggaman tangan Thomas. "Belum," Lilly mengaku. "Aku pernah mendengarnya, tetapi belum pernah ke sini. Sepertinya aku sedang sakit saat Mr. Johnson mengadakan kelas di sini."

"Untung aku mengajakmu ke sini."

Thomas memandu Lilly melewati kebun. Wajah Lilly menghangat saat menyadari genggaman tangan Thomas di pergelangan tangannya. Dia tidak keberatan, walaupun sekarang jantungnya tidak bisa dikendalikan. Mereka terus berjalan hingga tiba di depan bunga lili. Lilly langsung mengenalinya. Bunga itu memiliki kesamaan nama dengan namanya—hanya selisih satu huruf L saja—yang membuatnya menjadi bunga favorit Lilly.

Thomas berjongkok di dekat bunga-bunga lili itu. "Sel-sel berkumpul menjadi jaringan. Jaringan menjadi organ-organ. Beberapa organ menyusun sebuah sistem yang berjalan sedemikian rupa. Sistem-sistem organ membentuk sebuah organisme. Aku, kau, tanaman ini, bunga-bungaan itu, setiap kupu-kupu yang mengepak, semut-semut yang berbaris, dan semua makhluk biotik di dunia ini."

Lilly ikut berjongkok. Thomas menjelaskan lebih lanjut, tetapi Lilly tidak mendengarkannya. Dia malah memperhatikan Thomas, yang sedang mengusap kelopak bunga lili itu. Dari samping, Thomas terlihat memesona sekali. Hidungnya mancung dan sedikit mencuat. Bibirnya membentuk senyuman lembut. Garis rahangnya tajam, dan lehernya cukup panjang. Cahaya matahari menyinari rambut bergelombangnya yang berwarna cokelat gelap.

Sebelum Lilly menyadarinya, dia sudah jatuh hati pada Thomas.

"Kurasa," kata Thomas sambil menoleh padanya, "kau adalah lili putih."

Lilly tersentak dari lamunannya. "Eh? Kenapa begitu?"

"Entahlah, aku hanya merasa begitu." Wajah Thomas memerah, dan dia mengalihkan pandangannya kembali ke bunga lili yang sedang dia pegang. "Lili punya berbagai arti tergantung warnanya. Lili putih bisa diartikan sebagai kemurnian dan kebajikan. Aku merasa kau adalah lili putih."

Wajah Lilly pasti semerah wajah Thomas sekarang. Dia ikut mengalihkan pandangan sambil berusaha menenangkan jantungnya. Lilly tidak tahu apakah Thomas sengaja atau tidak, tetapi dia jago sekali memikat hati orang. Ditambah lagi, dia sangatlah manis. Lilly mulai menyadari dan mengenali perasaannya terhadap Thomas.

"Eh, terima kasih, kurasa," kata Lilly setelah dia bisa mengucapkan sesuatu. Dia berdiri. "Belum pernah ada yang mengucapkan itu kepadaku sebelumnya."

Thomas ikut berdiri. Dia tersenyum. "Kalau begitu, bolehkah aku memanggilmu White Lilly? Kau tahu, karena namamu Lilly dan kau adalah lili putih. Kurasa itu panggilan yang cantik. White Lilly."

Lilly harus memeriksakan jantungnya setelah ini, karena organ itu berdetak terlalu kencang untuk bisa disebut wajar. Lilly mengangguk pelan. "Tentu saja. White Lilly. Aku menyukainya."

Setelah merasacanggung untuk sesaat, Thomas mengajak Lilly belajar di tempat lainsaja—setelah dipikir lebih lanjut, kebun belakang sekolah bukan tempat yangnyaman untuk belajar. Lilly hanya mengiyakan. Dia mengikuti Thomas daribelakang. Perasaannya tidak keruan. Semoga saja dia bisa fokus belajar.

Reminiscing ThomasМесто, где живут истории. Откройте их для себя