12: Dying Light

11 4 0
                                    

Mark menatap kosong alat pembakaran besar di hadapannya. Saat ini, tubuh Julia sedang dibakar di dalam sana.

Mom memang memilih untuk mengkremasi Julia alih-alih menguburnya. Mom beralasan kalau dia tidak sanggup melihat luka-luka bakar di tubuh Julia selama kebaktian pemakaman berlangsung. Mark ingin menyanggah—peti mati Julia bisa ditutup saja selama prosesi—tetapi dia diam saja. Alasan Mom yang sebenarnya pastilah karena biaya kremasi lebih rendah daripada biaya pemakaman.

Seorang pendeta datang untuk mendoakan Julia dan orang-orang yang ditinggalkannya. Pendeta Hernandez memberi khotbah singkat tentang bagaimana Julia sudah ada di Surga dan sudah diampuni Tuhan. Bahwa Tuhan punya rencana-rencana yang tidak bisa dimengerti manusia, dan yang bisa dilakukan adalah percaya seutuhnya kepada-Nya. Mark tidak tahu apakah dia bisa percaya jika rencana Tuhan baginya tidak ada yang baik.

Tidak banyak yang datang ke ibadah peringatan ini. Hanya beberapa rekan kerja Julia, yang tidak bisa berlama-lama karena mereka harus kembali bekerja, serta pacar Julia, Eric Myers. Tidak ada yang lain. Bahkan mantan suami Mom tidak menunjukkan dirinya, walaupun dia berkata akan datang. Mark tidak ingin berharap terlalu banyak dari janji-janji kosong Bobby Powell.

Mark melirik ke arah Eric, yang sedari tadi juga menatap kosong ke arah alat pembakaran. Hanya mereka berdua di sana. Mom sepertinya sedang berbicara dengan Pendeta Hernandez. Julia dan Eric baru menjalin hubungan sebentar—samar-samar Mark ingat Julia memberitahunya soal hubungannya dua bulan lalu—jadi Mark belum terlalu mengenal Eric. Malah, ini pertama kalinya Mark bertemu dengan Eric.

Kalau dilihat-lihat, Eric tampak seperti lelaki yang baik untuk Julia. Penampilannya rapi: rambutnya dipangkas pendek, kemejanya bersih, dan sepatunya tampak berkilat seperti baru disemir. Kalau tidak salah, Julia sempat bilang kalau Eric adalah barista di kedai kopi yang sering didatangi Julia dalam perjalanan menuju butik. Sepertinya Eric sangat menyayangi Julia.

"Hidup memang kadang lucu, ya?" Eric memulai pembicaraan. "Seminggu yang lalu, Julia bilang ingin pindah ke apartemenku. Hari ini dia dikremasi."

Kadang-kadang, hidup memang lucu dan tidak tertebak. Sedari tadi Mark berpikir bahwa kremasi adalah pilihan yang sedikit ironis. Kemarin, para dokter masih berusaha menyembuhkan luka-luka Julia yang disebabkan oleh api. Sekarang, badannya justru dimasukkan ke dalam api. Dibiarkan terlalap habis hingga menjadi abu. Hidup Julia direnggut dan dihancurkan oleh api.

"Memang," balas Mark. "Apa kau tahu kalau Julia takut api?"

Mark masih terlalu kecil untuk mengingat kejadian itu. Menurut Mom, tangan Julia pernah tidak sengaja terbakar api dari sebuah lilin aromaterapi yang menyala. Peristiwa itu jadi awal mula pertengkaran Mom dengan Bobby—Mom bilang Bobby tidak becus mengurus anak, sementara Bobby menyalahkan Mom karena membeli dan menyalakan lilin tersebut. Anak kecil yang selama ini takut api, sekarang dihancurkan oleh api. Ketakutan Julia terhadap api menambah ironi pada kematiannya.

"Tidak," Eric menggeleng. "Apa karena itu dia tidak bisa memasak?"

Mark mengangguk. "Dia hanya berani memanaskan makanan dengan microwave."

"Pantas saja."

Mark memikirkan apa yang terjadi di malam ledakan itu terjadi. Julia sedang berada di luar rumah—Mark tidak tahu apa alasannya karena mereka belum berjumpa sejak pagi. Mungkinkah Julia bersama dengan Eric malam itu? Jika itu benar, apakah Eric tahu alasan Julia pergi ke rumah itu? Mark tidak pernah membayangkan kemungkinan itu sebelumnya.

"Eric, apa Julia ada di tempatmu waktu itu?" tanya Mark. "Maksudku, malam kejadian itu. Dia tidak ada di rumah. Mungkin dia pergi ke apartemenmu."

"Eh?" Eric tampak berpikir sejenak. "Tidak, dia tidak ada di apartemenku. Julia punya kuncinya, jadi dia harusnya bisa masuk begitu saja. Aku pulang terlambat, tetapi seharusnya aku tahu jika Julia mampir. Dia sesekali merapikan apartemen saat mampir. Memangnya kenapa?"

"Aku hanya ingin tahu apa yang sedang dia lakukan hari itu. Mungkin, dengan begitu, aku jadi bisa mencari tahu kenapa dia ada di pabrik meth itu malam itu."

Eric terdiam cukup lama mendengarnya. "Jika dipikir-pikir, hal itu memang aneh. Dia sudah lama tidak mengonsumsi narkoba lagi, kan? Kalau tidak salah, sudah setahun."

"Iya," jawab Mark. "Setiap bulan dia merayakan keputusannya berhenti mengonsumsi."

"Bulan lalu dia mengajakku menonton film dan makan di restoran Italia favoritnya. Kukira dia baru saja dipromosikan. Dia bilang, sudah persis setahun dia menjauhi narkoba." Eric tersenyum tipis mengingatnya. "Kalau dia sebahagia itu, dia seharusnya tidak ada di sana."

Mark menghela napas. Eric pun tidak tahu kenapa Julia ada di tempat itu. Satu-satunya harapan untuknya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi adalah melalui Lilly. Hanya gadis itu korban selamat dari ledakan fatal itu. Sayang sekali dia tidak bisa mengingat apa yang terjadi. Semoga saja, keputusan Mark untuk membantu gadis itu mengingat temannya juga akan menguntungkannya.

Mom memasuki ruangan dan duduk di sebelah Mark. "Ah, Eric, kau masih di sini rupanya. Kau tidak bekerja?"

"Tentu saja, Maggie," balas Eric sambil tersenyum. "Aku tidak mungkin bekerja hari ini."

Suara ribut dari luar krematorium mengusik mereka. Mark seperti mengenali suara pria yang mengomel-omel ingin memasuki krematorium itu. Mark bergegas keluar untuk mengecek. Dugaannya tepat. Bobby Powell tampak sedang mengomeli petugas krematorium yang menahannya. Dari kelakuannya, sepertinya pria itu baru saja mengonsumsi alkohol hingga mabuk berat.

"Apa yang kaulakukan di sini?" Mark berteriak.

Bobby menoleh ke arah Mark dengan penuh kemenangan. "Ah, Marcus! Sudah kubilang keluargaku ada di dalam. Dasar pegawai tidak berguna."

Mark mendengus. Bobby Powell tidak berubah sama sekali dari yang terakhir dia ingat—ucapannya sangat kasar, terlebih kalau dia sudah mabuk. Dia sering sekali mabuk. Kebiasaannya itu dimulai tujuh tahun lalu, setelah dia dipecat dari pekerjaannya. Dua tahun berikutnya adalah tahun-tahun terburuk yang pernah dilewati Mark. Dia membenci Bobby atas perbuatannya pada Mom—dan juga dirinya sendiri, karena tidak berani melakukan apa pun untuk menolong atau membela Mom.

Bobby mendorong pegawai malang itu dan berjalan ke arah Mark. "Kau sudah lebih besar dari yang terakhir kuingat. Sejak kapan kau jadi besar seperti ini?"

"Bukan urusanmu. Apa yang kau lakukan di sini?"

"Ayolah, Mark, aku tetaplah ayahmu. Anakku sudah mati. Aku ingin melihatnya."

"Kau terlambat. Julia sudah dikremasi."

Untuk beberapa saat, Mark dan Bobby beradu pandang. Mark bisa melihat sorot mata Bobby menggelap, yang tandanya dia mulai marah. Mark belajar mengenali sorot mata ini supaya dia bisa mencoba pergi sebelum Bobby benar-benar mengamuk. Menyedihkan sekali. Dia tidak seharusnya belajar mencari tanda-tanda yang ditunjukkan ayahnya sebelum marah.

"Pergi, Bobby," ujar Mom yang sudah berdiri di sebelah Mark. "Kau membuat keributan."

"Kau tidak berhak mengusirku, Maggie," balas Bobby geram. "Aku berhak menemui anakku. Kau tidak bisa menghalangiku."

"Tidak, kau sebenarnya tidak berhak," kata Mark. Dulu, dia tidak akan berani angkat suara. Dia sudah muak diam saja selama ini. "Kau memilih untuk pergi lima tahun yang lalu untuk bisa bersama dengan selingkuhanmu. Kau memilih dia, bukan kami. Kau tidak pantas datang ke sini hari ini."

"Kau belajar melawan dari siapa, huh?" Bobby mencengkeram kerah baju Mark. "Dasar anak kurang ajar!"

Dulu, jika Bobby melakukan ini, Mark akan diam saja dan menerima pukulannya. Hari ini, Mark memutuskan untuk melawan. Sebelum Bobby sempat mendaratkan tinjunya, Mark sudah menahan tangannya dan membalas dengan tonjokan. Dia bukan anak kecil; dia baru 20 tahun, tetapi badannya sudah lebih tinggi daripada ayahnya, dan dia sudah lebih kuat dari Bobby.

Mark berhasil mendaratkan tiga tonjokan sebelum Eric dan seorang pegawai krematorium menariknya. Buku jarinya tergores dan berdarah. Mom mengusir Bobby. Pria itu menatap Mark dengan tatapan kebencian untuk beberapa saat, lalu berjalan menjauhi krematorium.

Hari ini benar-benarmelelahkan.

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now