40: Moving On

18 2 0
                                    

Lilly meletakkan dua tangkai bunga lili di atas makam Thomas. Di sebelahnya, Mark memperhatikan dengan tampang tidak tertarik.

"Kau tidak akan menyuruhku meletakkan dua tangkai bunga sisanya, kan?" tanya Mark.

"Kalau kau mau, kau bisa membelinya sendiri," balas Lilly sambil menggeleng. "Aku akan membawa dua tangkai ini ke Stanford."

Besok, Lilly dan Clara akan berangkat ke Stanford untuk memulai kuliah. Tanpa terasa, musim panas akan berakhir, dan Lilly akan memulai kuliahnya. Lilly memakai waktu dua bulan terakhir untuk beristirahat dan memulihkan kondisinya agar siap berangkat. Kakinya sudah tidak digips lagi. Otaknya tidak mengingat terlalu banyak hal, tetapi Lilly sudah memakainya untuk belajar. Dia melupakan semua yang dipelajari di tahun terakhirnya, jadi dia ingin mengejar ketertinggalannya.

"Untuk apa? Bunga segar seperti itu tidak akan bertahan lama."

"Kau ketus sekali," gerutu Lilly. Dia mengusap salah satu bunga itu—kelopaknya terasa lembut sekali. "Kau tahu, aku ingat Mom pernah membelikanku dan Clara dua buah kalung dengan liontin berbentuk aneh. Kedua liontin itu, jika disatukan, membentuk sebuah hati yang utuh. Aku ingin Thomas punya setengah dari buket ini untuk alasan yang sama."

"Kau tahu, kan, kalau dua bunga itu akan dibuang oleh petugas permakaman begitu kau pergi?"

"Jangan merusak momen ini."

Mark tidak membalas. Lilly tidak tahu bagaimana dia bisa tahan berteman dengan Mark yang seketus ini, tetapi dia cukup menyukainya. Kepribadian Mark sama sekali tidak mirip dengan kepribadian Thomas yang diingat Lilly, walaupun wajah mereka mirip sekali. Terkadang, Lilly masih merasa seperti melihat Thomas saat berbicara dengan Mark. Lilly selalu merasa bersalah setiap kali hal itu terjadi.

"Omong-omong, kenapa kau mengajakku ke sini?" tanya Mark.

"Aku ingin secara resmi mengenalkan kalian," kata Lilly. "Lagipula, kau harus bertemu dengan orang yang kauambil identitasnya, walaupun kau hanya bisa mengunjungi makamnya. Nah, Mark, ini Thomas Lane. Thomas, ini Mark. Dia yang mencuri identitasmu."

Mark menghela napas. "Hai, Thomas. Maaf aku mencuri identitasmu. Aku tidak akan merebut pacarmu, kok, tenang saja. Tolong jangan datang untuk menghantuiku di malam hari."

Lilly memilih untuk mengabaikan kalimat terakhir Mark. "Kurasa Thomas akan menyukaimu. Namun aku tidak yakin kita akan berteman jika kejadian ini tidak terjadi."

"Aku setuju. Kita tidak akan pernah bertemu jika bukan karena ledakan itu." Mark terdiam cukup lama. "Kau cukup menyenangkan untuk dijadikan teman. Aku tidak tahu dengan Thomas. Dari yang kuketahui selama ini, sepertinya dia terlalu kaku."

"Oh, jadi karena kau berpura-pura jadi Thomas sekali, kau langsung tahu seperti apa karakternya?" Lilly tertawa.

"Memangnya kau ingat seperti apa dia? Kau, kan, mengalami amnesia."

"Aku ingat sedikit, kok. Thomas memang sedikit kaku, tetapi dia lembut. Dia adalah tipe orang yang gampang disukai. Tidak seperti kau yang kaku dan keras."

"Baiklah, baiklah," Mark mengalah. "Mungkin aku akan menyukai kalian berdua."

Lilly menggelengkan kepala, lalu berlutut. Gundukan tanah yang ada di sana dua bulan yang lalu sudah mulai memadat. Tidak lama lagi mungkin akan mulai muncul rumput—mereka sudah akan memasuki musim gugur, jadi mungkin masih akan lama hingga rumput hijau akan mulai bertumbuh. Lilly mengelus nama Thomas yang terukir di batu nisannya.

"Aku akan pergi ke Stanford besok," bisik Lilly supaya Mark tidak mendengarnya. Dia ingin agar hanya Thomas yang mendengarkan ucapannya. "Semoga aku bisa menemukan teman yang sama baiknya dengan kau. Aku akan berusaha datang saat libur, tetapi berhubung tiket pesawat mahal, aku tidak bisa menjanjikan kapan. Yang jelas, aku akan merindukanmu. Sampai jumpa saat kita bertemu lagi, Thomas."

Setelahnya, Lilly dan Mark berjalan pergi. Mereka memutuskan untuk mampir ke sebuah restoran cepat saji di dekat sana untuk makan siang. Lilly memaksa Mark untuk makan siang bersama karena besok dia tidak bisa menemui Lilly di bandara. Katanya, dia takut bertemu dengan Clara. Lilly hanya bisa tertawa.

"Kau benar-benar tidak mau mengantarku pergi?" tanya Lilly. "Kurasa Clara sudah tidak ingin menghajarmu lagi sekarang. Namun, dia memang masih ingin bertemu denganmu untuk membicarakan sesuatu."

"Aku tidak ingin mengambil risiko itu," Mark mengedikkan bahu. "Lagipula, aku harus bekerja. Kau sebaiknya menghabiskan waktumu dengan keluargamu."

Lilly tahu hubungannya dengan Mark aneh sekali. Jika diingat-ingat, selama beberapa minggu pertama mereka berinteraksi, Lilly bahkan tidak mengenal Mark sebagai dirinya sendiri. Biarpun begitu, Lilly sudah menganggap Mark sebagai temannya. Rasanya sedikit sedih Mark tidak bisa mengantarnya.

Mereka membicarakan hal-hal lain saat makan. Setelahnya, mereka berjalan keluar dalam diam. Mark mengantar Lilly ke sebuah halte bus terdekat. Mereka akan berpisah di situ, karena Mark harus pergi ke tempat kerjanya.

"Kau tahu, aku akan merindukanmu," kata Lilly sambil tersenyum. "Hubungan kita dimulai dengan aneh, tetapi aku cukup menyukaimu sebagai teman."

"Hanya cukup," balas Mark.

"Tentu saja. Kau juga, kan? Kau tidak cukup menyukaiku untuk merebutku dari Thomas."

"Astaga, kau sangat percaya diri. Asal kau tahu, kau bukan tipeku." Mark menggeleng. Lilly bisa melihatnya tersenyum. Mark mendongak menatap langit, lalu berkata, "Kurasa, aku juga akan merindukanmu."

Lilly mendekat untuk memeluk Mark. Masih tercium sedikit jejak parfum beraroma bunga di baju Mark. Seketika, Lilly teringat akan bunga lili pertama yang diberikan Mark kepadanya. Sepertinya, sebagian alasan Lilly untuk tetap menyimpan dua tangkai bunga yang tersisa dari buket ini adalah supaya dia bisa mengingat lagi Mark, teman yang dia temui dalam cerita hidupnya yang aneh.

"Bus yang harus kaunaiki sudah tiba," bisik Mark. "Sampai jumpa, Lilly."

Lilly melepas pelukannya dan naik ke bus. Mark masih tetap berdiri di halte itu hingga bus yang dinaiki Lilly menghilang dari pandangannya.

Lilly melamun, memperhatikan orang-orang yang sedang berjalan menuju pesawat. Rasanya sangat tidak nyata. Seumur hidup, Lilly belum pernah meninggalkan Los Angeles, kecuali untuk berlibur. Sekarang, dia akan pergi untuk waktu yang cukup lama.

Lilly tahu dia hanya merasa sentimental. Dia tidak pergi sejauh itu—dia bahkan tidak meninggalkan California, walaupun negara bagian ini memang luas sekali dan butuh tiga jam untuk pergi ke Stanford dari Los Angeles. Hanya saja, Lilly tahu dia tidak sekadar meninggalkan sebuah kota. Lilly meninggalkan kota yang penuh dengan begitu banyak kenangan indah.

Tidak ada lagi kenangan Lilly yang menusuknya tajam. Sebagian besar terasa seperti sedang memakai sweter tebal di musim dingin yang memeluknya dengan hangat. Bahkan ingatannya yang tidak begitu jelas tentang Thomas kini disimpannya erat dalam pelukannya, mewujud sebagai dua tangkai bunga lili dalam sebuah vas plastik berwarna kuning pastel.

"Kita sebentar lagi akan meninggalkan Los Angeles," kata Clara. "Apa kau siap?"

Lilly mengangguk. Hidup terus berlanjut, dan ada hal-hal yang harus ditinggalkan untuk bergerak ke tempat yang baru. Hal-hal itu berupa masa lalu. Lilly hanya bisa membawa secuil kenangan saja. Namun, kenangan yang dia punya sudah lebih dari cukup untuk menemaninya dalam perjalanan hidupnya setelah ini.

"Aku harus siap," ujarnya tegas. "Aku harus melanjutkan hidupku."

Dengan dua tangkaibunga lili dalam sebuah vas kuning pastel dalam pelukannya, Lilly siapmenghadapi masa depannya.

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now