7: Familiar Faces

11 4 0
                                    

Dr. Jennings menjadwalkan Lilly untuk melakukan pemindaian dengan MRI. Pemeriksaan tersebut diperlukan untuk melihat bagaimana kondisi otak Lilly dan berapa banyak kerusakannya. Sejak bangun pagi ini, Lilly sudah mencemaskan hasil tesnya. Dia benar-benar berharap otaknya tidak terluka parah.

Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada Lilly di hari kejadian sehingga bisa tergeletak tidak sadarkan diri di luar rumah yang terbakar itu—Lilly tidak nyaman menyebutnya pabrik meth karena terdengar begitu mengerikan. Detektif Russell berteori kalau Lilly terlempar akibat gelombang kuat yang disebabkan oleh ledakan itu. Lilly tidak yakin gelombang apa yang dimaksudkan. Gelombang itu pasti cukup kuat sehingga bisa mendorong Lilly ke luar.

Untuk mengalihkan perhatiannya dari pemeriksaan otak, Lilly mencoba mencari penjelasan akan apa yang mungkin terjadi hari itu. Kejadian yang mungkin terjadi itu harus menjelaskan alasan keberadaan Lilly di lantai dua rumah tersebut, yang berarti menjawab pertanyaan, "Apa yang kulakukan di dalam sebuah pabrik meth?" Lilly benci bagaimana pertanyaan itu terdengar.

Dua gagasan muncul di kepalanya. Pertama, Lilly diculik oleh pengedar narkoba gila yang mungkin tertarik kepadanya. Pengedar itu membawa Lilly ke rumah tersebut, yang kemudian meledak. Entah bagaimana, Lilly ada di dekat jendela, sehingga mudah baginya untuk terlempar. Ide pertama terdengar mengada-ada, jadi Lilly mengeliminasinya.

Kedua, Lilly entah bagaimana berteman dengan Aiden Entah-Siapa yang kemarin disebut oleh Detektif Russell selama tahun senior. Aneh, tetapi kemungkinan itu selalu ada. Aiden kemudian menjerumuskannya dan memaksanya menggunakan narkoba. Karena itulah dia ada di rumah tersebut bersama Aiden. Cukup masuk akal, tetapi Lilly menggugurkannya. Mom akan tahu jika Lilly mengonsumsi narkoba. Reaksinya kemarin yang keras menjadi bukti bahwa teori ini tidak terjadi.

Lilly tidak bisa memikirkan alasan lain yang lebih masuk akal, jadi dia menyerah. Dia sebaiknya beristirahat saja. Otaknya butuh diistirahatkan supaya dia cepat pulih.

Dia baru saja akan memejamkan mata saat didengarnya pintu kamarnya dibuka. Lilly mengira dr. Jennings sudah datang, tetapi dia salah. Seorang pemuda justru muncul dari baliknya. Entah siapa pemuda itu—dia tidak mengenakan seragam atau atribut rumah sakit apa pun, sehingga bisa dipastikan dia bukan dokter atau perawat. Dia memasuki ruangan sambil memainkan ponselnya.

Lilly sempat memperhatikan pemuda itu untuk beberapa saat. Sekilas, pemuda itu tampak familier. Ada sesuatu dari pemuda itu yang membangkitkan sesuatu di dalam kotak memori Lilly—entah badannya yang tinggi atau gayanya berjalan. Lilly merasa, jika dia berusaha sedikit lebih keras lagi, memori itu bisa menembus kotak yang terkunci. Sayangnya, hal itu tidak terjadi.

Pemuda itu mendongak, menatap Lilly dan Mom bergantian. Wajah itu.... Lilly merasa pernah melihatnya. Dia tidak jago mengingat wajah, tetapi wajah pemuda itu seperti meninggalkan kesan yang mendalam hingga bisa terekam di dalam memorinya. Atau mungkin, wajah itu adalah wajah yang cukup generik, yang dimiliki oleh banyak orang dengan perbedaan-perbedaan kecil. Lilly tidak tahu penjelasan apa yang lebih mungkin terjadi.

"Siapa kau?" tanya Mom.

"Maaf, saya salah ruangan," ujar pemuda itu. Dia langsung berbalik dan keluar.

Lilly ingin mencoba mengingat-ingat, tetapi dia gagal. Wajah pemuda itu lenyap dari pikirannya, seakan ikut pergi bersama dengan langkah kakinya yang menjauh. Kepala Lilly kembali terasa seperti dipukuli saat dia mencoba mengingat-ingat wajah pemuda itu. Dia tahu dia tidak mudah mengingat wajah orang, tetapi dia tidak pernah melupakannya secepat ini. Apakah kemampuan otaknya memang sudah serendah itu?

Pintu kamarnya kembali dibuka. Kali ini, dr. Jennings yang muncul dari baliknya.

"Hai, Lilly," sapa wanita itu. "Aku akan membawamu ke ruang periksa."

Dibantu Mom dan Dad, Lilly duduk di sebuah kursi roda. Sepanjang perjalanan menuju ruang pemeriksaan, pikiran Lilly masih dipenuhi oleh pemuda tadi. Dia sudah tidak ingat lagi seperti apa persisnya wajah pemuda itu, walaupun dia yakin dia akan mengenalinya jika bertemu lagi. Namun, kenapa wajahnya begitu melekat di otaknya? Baginya, yang kesulitan mengingat wajah—terutama jika baru bertemu sekali—fakta itu sangatlah tidak wajar.

"Jangan berpikir terlalu keras," celetuk dr. Jennings yang berjalan di depan Lilly. "Kau berpikir begitu keras hingga kepalamu seperti akan meledak."

"Menurut dokter, kepalaku akan meledak jika dipakai berpikir terlalu keras?"

"Tidak secara harfiah, tentu saja. Namun, ada baiknya kau banyak beristirahat. Proses penyembuhanmu akan lebih cepat kalau kau banyak mengistirahatkan otak dan badanmu. Jangan berusaha terlalu keras untuk mengingat. Ingatanmu akan kembali pada waktunya."

"Aku hanya sedang berpikir tentang seseorang. Apa kau berpapasan dengan seorang pemuda tadi? Dia masuk ke kamarku secara tidak sengaja."

"Aku tidak memperhatikan."

Ah, tentu saja dr. Jennings terlalu sibuk untuk memperhatikan siapa saja yang berpapasan dengannya. Lilly melanjutkan, "Dia tampak familier. Aku hanya tidak tahu pernah melihatnya di mana."

"Apa yang kau ingat tentang dia?"

Lilly mengedikkan bahu. "Tidak ada. Hanya perasaan bahwa aku pernah melihatnya. Mungkin dia satu sekolah denganku dan kami pernah berpapasan."

Mereka tidak berbicara lagi hingga tiba di tempat pemeriksaan. Terdapat sebuah alat berbentuk seperti donat, dengan sebuah tempat tidur di tengah-tengahnya. Lilly membaringkan diri di tempat tidur itu. Setelahnya, dr. Jennings memberitahunya untuk tidak bergerak. Pergerakan bisa mengacaukan hasil pemindaian, yang bisa berakibat pada diagnosis yang tidak tepat.

Lilly berusaha keras untuk tidak bergerak. Dia diam saja di sana, menunggu hingga alat itu berhenti bekerja. Semoga saja, tes-tes ini bisa menunjukkan apa yang salah dengannya.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, pemeriksaannya akhirnya selesai. Pemindaian berjalan dengan baik dan hasilnya sudah jelas untuk dibaca. Lilly tidak bisa membaca ekspresi dr. Jennings—apakah otaknya baik-baik saja, atau banyak kerusakannya? Ah, sudah pasti otaknya tidak akan baik-baik saja. Jika otaknya baik-baik saja, dia tidak akan melupakan tahun seniornya. Pertanyaan yang tepat adalah: apakah otaknya bisa sembuh seperti sediakala.

Lilly memutuskan untuk menanyakannya.

"Tidak akan bisa sepenuhnya pulih, kurasa," jawab dr. Jennings. "Tidak ada sesuatu yang bisa pulih seperti sediakala seperti sebelum mengalami kerusakan."

Ucapan dr. Jennings ada benarnya. Lilly memikirkannya sepanjang perjalanan kembali ke kamarnya. Dulu, saat dia masih kecil, dia pernah mematahkan botol minum kesukaan Clara—tutupnya yang seharusnya tersambung lepas setelah ditarik-tarik. Dad menyambungnya kembali dengan lem, tetapi jadi tidak bisa dibuka. Pada akhirnya botol itu dibuang. Lilly jadi menyadari bahwa sekeras apa pun dia mencoba memperbaiki sesuatu yang rusak, dia tidak akan bisa membuatnya berfungsi seperti sebelumnya.

Otak tidak bisa dibuang seenaknya. Jika otaknya rusak, Lilly harus hidup selamanya dengan kerusakan itu.

Lilly berdoa supayaotaknya bisa disembuhkan.

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now