23: Troubles and Dreams

8 2 0
                                    

Januari 2019

Lilly bergantian menatap Thomas dan pemuda yang datang bersamanya. Siapa dia? Thomas tidak pernah terlihat punya teman—dia pun mengaku tidak pernah punya teman dekat. Menurut Thomas, dia terlalu sibuk belajar. Teman-teman yang dia punya pun hanyalah mereka yang pernah dia ajari, yang sesekali menyapanya saat bertemu di lorong tetapi tidak pernah mengundangnya untuk pergi ke pesta-pesta.

"Dia Tony," kata Thomas, memperkenalkan temannya itu. "Anthony Sanders. Aku harus mengajarinya beberapa materi yang harus dia kejar supaya bisa lulus."

"Oh, begitu rupanya." Lilly tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Hai. Aku Liliana Hayes. Kau bisa memanggilku Lilly."

Tony menyalami tangan Lilly singkat. "Tony, seperti yang dikatakan Thomas. Thom, kau tidak bilang akan ada pacarmu yang ikut belajar dengan kita."

Wajah Thomas memerah. Dia melirik ke arah Lilly selagi membalas Tony, "Lilly bukan pacarku. Lagipula, dia lebih jago ekonomi dibanding aku. Kurasa dia bisa mengajarimu itu, sementara aku mengajarimu biologi. Apa kau, eh, apa kau keberatan, Lilly?"

Lilly kembali memperhatikan Thomas dan Tony bergantian. "Eh, ini sangat mendadak. Aku tidak begitu yakin dengan kemampuanku mengajar, tetapi sepertinya tidak apa-apa."

"Aku tidak peduli seberapa buruknya kau mengajar, tetapi kau pasti masih lebih baik daripada Mrs. Doyle. Kau sudah pernah diajari dia? Dia adalah guru terburuk sepanjang masa." Tony menyeret kursi di hadapan Lilly dan duduk. "Kalaupun kau seburuk dia, selama kau bisa membantuku lulus, aku tidak keberatan."

"Sungguh? Kemampuan mengajar Mrs. Doyle tidak seburuk itu, menurutku."

"Mungkin saja, tetapi dia adalah wanita tua yang terlalu religius dan selalu menceramahiku untuk tidak memakai narkoba. Kadang-kadang aku ingin menyumpal mulutnya dengan ganja."

"Tony, bagaimana kalau kita mulai saja?" Thomas menyela. "Kau besok ada pre-test biologi, kan? Apa materinya?"

Lilly masih belum pulih dari ucapan Tony yang begitu terus terang. Dia tidak tampak menyesali ucapannya sedikit pun, atau fakta bahwa dia baru saja mengungkapkannya kepada seseorang yang baru saja dia temui. Tony tampaknya tidak memedulikan apa-apa. Well, mungkin satu, yaitu kelulusannya. Orang seperti dia seharusnya tidak peduli apakah dia lulus atau tidak, tetapi dia tetap saja mengusahakannya.

Beberapa hari kemudian, barulah Lilly tahu apa alasan Tony belajar ekstra keras. Waktu itu, mereka sedang belajar ekonomi. Thomas ada di sana sembari mengoreksi nilai tugas murid-murid Mr. Johnson. (Kadang-kadang Lilly tidak habis pikir bagaimana bisa Thomas begitu dipercaya oleh Mr. Johnson hingga dia bisa punya peran sebagai asistennya.)

"Bibiku memaksaku lulus," kata Tony. Dia sudah tidak fokus pada soal di hadapannya. Sepertinya dia akan memanfaatkan dengan baik setiap kesempatan untuk tidak belajar. "Katanya aku hanya akan mempermalukan dia kalau tidak lulus, dan dia juga sudah bersusah payah menyekolahkanku di sini. Siapa suruh menyekolahkanku di sekolah swasta. Harusnya dia memasukkanku ke sekolah publik saja."

"Mungkin dia hanya ingin yang terbaik untukmu," balas Lilly ragu. "Oh, soal nomor empat—"

"Itu masalahnya, Lilly. Orang-orang dewasa selalu mengira mereka tahu yang terbaik untuk kita, tetapi mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa."

"Berhentilah bersikap sok bijak dan kerjakan saja soal ekonomimu," Thomas memperingatkan tanpa mendongak dari lembar ujian.

Tony menggerutu dan lanjut mengerjakan soal nomor empat. Lilly menahan tawa melihat dinamika hubungan Thomas dan Tony. Karakter mereka sangat berkebalikan. Thomas sangat serius dan fokus pada kemampuan akademiknya, sedangkan Tony bersikap seenaknya dan tidak memedulikan hidupnya. Namun, entah bagaimana, mereka cocok.

"Lilly, tolong aku," kata Tony. "Bagaimana caramu mengerjakan soal ini?"

Lilly menggelengkan kepala. "Astaga, soal ini mudah, lho. Lebih mudah dari nomor tiga. Masa kau sudah lupa?"

"Tentu saja pakar ekonomi seperti kau bisa menjawab semuanya dengan mudah. Pecandu narkoba dari kalangan ekonomi rendah seperti aku bisa apa."

Alih-alih kesal, Lilly justru tertawa. "Kau lucu juga, Tony. Akan kujelaskan lagi, ya. Begitu kau paham konsepnya, soal lain juga akan jadi mudah."

Dengan cepat Tony menjadi konstan di antara mereka. Tony selalu mencerahkan suasana, membuat pertemanan mereka terasa lebih hidup. Lilly menyukai keberadaan mereka dalam hidupnya, karena akhirnya, setelah sekian lama, hidup Lilly merasa lengkap.

Lilly memperhatikan Thomas yang sedang mengetik surat penerimaannya. Thomas sedang dalam mode tidak bisa diganggu, jadi sebaiknya Lilly tidak mengusiknya. Setelahnya dia menoleh pada Tony yang sedang mengerjakan soal bahasa Inggris. Pemuda itu juga sepertinya fokus sekali, dan Lilly tidak ingin merusak keajaiban itu.

Lilly terpaksa berfokus lagi pada draf surat penerimaannya yang masih sangat berantakan. Dia butuh masukan. Padahal dia diterima di Stanford University, yang menjadi tujuannya, tetapi dia merasa ragu-ragu. Dia tidak ragu apakah akan bersekolah di Stanford—untuk keputusan itu, sejak pertama membaca surat penerimaan, dia sudah memutuskan untuk menerimanya. Dia ragu, karena dengan menerima Stanford, Lilly harus berpisah dengan Thomas dan Tony.

Thomas, karena kepintarannya, diterima di Harvard, Brown University, dan entah universitas mana lagi. Lilly tahu, Thomas layak mendapatkan itu semua. Dia sudah bekerja keras untuk itu. Lilly tidak bisa mengharapkan Thomas untuk selalu ada di sebelahnya, kan? Lilly tidak boleh egois. Dia tidak mau menjadi egois.

Di sisi lain, Tony sudah memutuskan untuk mencari pekerjaan saja setelah lulus. Dia tidak mau kuliah karena biayanya terlalu mahal. Dia sudah berniat bekerja di bengkel, karena sedikit banyak dia tahu tentang mesin.

Lilly belum mau berpisah dengan Thomas dan Tony, terutama karena dia membutuhkan mereka. Thomas adalah pohon besar dengan akar kuat yang menopang dan melindungi Lilly. Tony adalah burung-burung liar yang sesekali mampir untuk bernyanyi—jenis burung yang akan selalu terbang mengikuti arus angin dan tidak menetap untuk waktu yang lama. Lilly merasa seperti duduk di cabang pohon, menikmati udara sejuk sambil mendengarkan nyanyian burung-burung.

"Suratmu sudah selesai?" tanya Thomas. Dia memiringkan badannya untuk mengintip.

Lilly menutupi layar laptopnya. "Kau boleh mengintip jika aku juga boleh melihat punyamu."

"Dasar. Aku juga sudah akan menunjukkannya kepadamu, kok." Thomas menggeser laptopnya sehingga Lilly bisa melihatnya. "Aku memilih Stanford."

Lilly memelototi layar laptop Thomas, yang sungguhan berisi surat pernyataan bahwa dia akan pergi ke Stanford. "Sungguh? Kau tidak sedang bercanda, atau sedang membohongiku, kan?"

"Aku tidak pandai bercanda, dan aku tidak suka membohongimu," balas Thomas sambil tersenyum. "Kurasa aku lebih suka pergi ke sana. Harvard dan Brown terlalu jauh. Jika aku ada di Stanford, aku bisa mengunjungi orangtua dan adikku dengan lebih mudah." Thomas kemudian berhenti sejenak. "Dan... di sana, ada kau. Aku ingin pergi bersama orang yang kukenal."

Wajah Lilly terasa menghangat. Dia sudah ingin berteriak saat Thomas bilang akan pergi ke Stanford. Pernyataan Thomas barusan membuatnya semakin ingin berteriak.

"Bisakah kalian berpacaran di tempat lain saja supaya tidak menggangguku?" celetuk Tony. "Aku akan gagal kelas bahasa Inggris. Jangan membuatku tambah sedih dengan pernyataan cinta kalian."

"Kau tidak akan gagal," kata Thomas tegas.

"Kau tidak bisa menjamin itu." Tony melempar bolpoinnya frustrasi. "Omong-omong, selamat. Kabar baik dariku adalah, Bibi Helena baru saja dipromosikan dan menyuruhku mencari kursus. Dia tidak peduli apa keinginanku selama aku tidak menggunakan narkoba."

"Itu bagus sekali," kata Lilly. "Nanti, saat kakakku sedang ada di kota, aku akan menyuruhnya memperbaiki mobil di bengkel tempatmu bekerja. Mobil tuanya sudah jelek sekali."

Setelahnya, mereka membicarakan rencana-rencana masa depan. Lilly tidak bisa berhenti tersenyum sore itu. Dia akan melanjutkan pendidikan bersama Thomas, dan Tony sepertinya mulai fokus untuk memperbaiki hidupnya. Rasa-rasanya, hari itu, hidup Lilly menjadi sempurna.

Lilly berharap, hidupakan terus membawakan hal-hal baik untuknya.

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now