17: Catching Up

8 2 2
                                    

Jawaban Dad membuat Lilly tidak bisa duduk dengan tenang, walaupun dia seharusnya tidak banyak menggerakkan badannya. Akibatnya, kakinya sekarang terasa berdenyut-denyut, membuatnya terpaksa memosisikan duduknya lagi dengan baik. Dia hanya tidak bisa menahan semangat yang dia rasakan.

Lilly ingat berpikir kalau kemungkinannya diterima di Stanford hanya terhalang oleh nilai biologinya—itu pun karena dia harus mendapatkan nilai B supaya bisa lulus sekolah. Selain itu, sebenarnya nilai biologinya tidak terlalu penting dan bukan termasuk materi SAT. Lilly sempat sangat mengkhawatirkan nilai biologinya. Dia takut sekali tidak bisa lulus hanya karena pelajaran yang bahkan tidak akan dia pelajari lebih lanjut.

Lilly merasa jantungnya berdebar kencang, dan dia harus menahan dirinya agar tidak bergerak terlalu semangat. "Rasanya sangat tidak nyata. Aku sungguhan diterima di Stanford. Rasanya kemarin aku masih mengkhawatirkan nilai biologiku."

"Yah, kau memang seperti melakukan perjalanan waktu, kan?" Clara mengedikkan bahu. "Awalnya kau sedang bersiap-siap untuk tahun seniormu. Tahu-tahu saja kau sudah lulus sekolah."

"Perjalanan waktu yang kualami sama sekali tidak keren," Lilly menggerutu. "Lebih keren kalau aku bisa menggunakan alat untuk melakukan perjalanan waktu. Lagipula, aku jadi melupakan tahun seniorku dan juga Thomas. Perjalanan waktu ini sangat tidak enak."

"Tidak apa-apa," Dad berusaha menghibur. "Kata dr. Jennings, kau bisa mendapatkan ingatanmu lagi, kan?"

Lilly, sesungguhnya, tidak tahu apakah dia bisa mengharapkannya. "Apakah semua ingatanku bisa kembali?" tanyanya. "Rasanya tidak."

Dad tidak bisa menjawabnya, begitu juga Mom dan Clara. Mereka semua memilih diam dan menonton televisi. Setelahnya, Dad beranjak, hendak melakukan pekerjaannya dari rumah, sementara Mom memilih untuk membuat makan siang. Tersisa Lilly dan Clara saja di ruang keluarga.

Perasaan Lilly sekarang campur aduk. Dia ingin menjadi senang dan merasa bersemangat karena berhasil masuk di jurusan dan universitas yang dia inginkan, tetapi rasa kehilangan kembali mengusiknya. Lilly ingin tahu apa yang terjadi di tahun seniornya. Bagaimana dia bisa selamat dari kelas biologi Mr. Johnson? Seberapa pusing dia dalam menghadapi ujian SAT? Dengan siapa dia pergi ke prom?

Lilly jadi bertanya-tanya seperti apa peran Thomas dalam hari-hari penting di tahun seniornya. Bisakah dia menduga bahwa Thomas-lah yang membantunya belajar biologi? Tidak aneh jika Thomas pintar biologi—dia suka merawat bunga, jadi wajar kalau dia mempelajari banyak tentang tanaman. Bisakah Lilly membuat asumsi itu? Dia ingin sekali menanyakannya pada Thomas, tetapi pemuda itu tidak akan mau menjawab.

Mungkinkah Clara tahu sesuatu? Clara memberitahunya tentang Thomas, jadi mungkin dia tahu beberapa hal tentang Thomas dari cerita-cerita Lilly.

"Clara," panggil Lilly, "apa yang kauingat tentang Thomas?"

"Tidak banyak," kata Clara tanpa mengalihkan pandangan dari televisi. "Kau bilang dia pintar biologi, dan kalian sering belajar bersama. Kau mengaguminya karena tidak perlu mengulang kelas Mr. Johnson. Aku ingat itu karena Mr. Johnson memang kejam dalam memberi nilai. Dia pasti pintar sekali biologi."

"Wah! Berarti memang dia yang mengajariku biologi hingga lulus." Lilly bersandar di sofa. Dia menatap televisi walaupun tidak menonton dengan fokus. "Aku heran kenapa dia tidak mau memberitahukan apa-apa kepadaku. Aneh sekali. Dia malah menyuruhku mengingat semuanya sendirian. Padahal, akan jauh lebih mudah jika dia menceritakan semuanya."

"Entahlah. Kau harus menanyakan itu padanya."

Kesempatan bertanya itu datang saat Thomas akhirnya tiba. Hari sudah sore, dan Lilly sudah berbaring di kamarnya dengan laptop terbuka. Saat Mom mengetuk pintu kamarnya untuk mengabarkan kedatangan Thomas, Lilly sedang menjelajahi Netflix. Dia melihat-lihat daftar film yang sudah dia tonton selama ini. Cukup banyak juga. Lilly ingin sekali menontonnya ulang, berhubung dia tidak ingat pernah menontonnya.

Untung saja Mom membiarkan Lilly dan Thomas berbicara di kamar Lilly—lagipula, dengan kaki yang belum sembuh benar, Lilly akan kesulitan untuk pindah ke ruang keluarga atau untuk melakukan hal-hal yang tidak seharusnya. Thomas duduk di sebelah Lilly di atas tempat tidur. Samar-samar, Lilly bisa mencium bau bunga menguar dari tubuh Thomas.

"Apa yang kaulakukan?" tanya Thomas, mengintip layar laptop Lilly. "Menonton film?"

"Tidak juga," sahut Lilly. "Aku tidak bisa menatap layar terlalu lama. Kepalaku pusing. Aku hanya ingin tahu film apa saja yang sudah kutonton setahun terakhir."

Melihat Thomas dalam jarak sedekat ini membuat jantungnya berdebar sedikit terlalu kencang. Lilly jadi bertanya-tanya apakah jantungnya juga berdetak sekencang ini saat mereka belajar bersama. Dia tidak akan bisa belajar dengan baik jika fokusnya teralihkan pada Thomas. Namun, mengingat bahwa dia berhasil lulus, dulu pastilah Lilly bisa meletakkan fokusnya pada hal yang benar.

"Thom, bagaimana kau bisa pintar sekali biologi?" tanya Lilly. Entah kenapa pertanyaan itulah yang pertama kali terlontarkan.

"Apa maksudmu?" tanya Thomas saat menoleh padanya. Mata cokelat gelapnya menatap Lilly lekat.

"Kau mengajariku biologi. Clara memberitahukan itu kepadaku. Kurasa, itulah sebab kita menjadi dekat, kan? Aku butuh seseorang untuk mengajariku biologi, dan kau datang sebagai penyelamatku."

Thomas tersenyum. "Kau sudah ingat itu, rupanya. Aku sudah takut kau tidak akan berterima kasih kepadaku karena kau melupakan jasa-jasaku."

"Aku bisa ingat dengan cepat jika kau menceritakan semuanya, Thomas." Lilly menghela napas, lalu menutup laptopnya. "Kau tidak harus merahasiakan hubungan kita dariku."

"Tidak apa-apa. Aku ingin kau yang mengingatnya. Rasanya lebih romantis, kan?" Thomas terdiam sesaat sambil mengelus tangan Lilly. "Lagipula, aku melakukannya untuk memancing ingatanmu. Jika aku menceritakannya padamu, kau tidak akan penasaran dan akhirnya tidak akan mencoba mengingat-ingat. Lebih baik kau menjadi penasaran, lalu mencoba mengingatnya. Kurasa itu bisa menstimulasi otakmu atau apa."

"Kau hanya beralasan."

"Mungkin. Namun, kau tidak bisa membantah kalau aku memang telah membantumu, White Lilly. Kau ingat itu karena aku memancingmu, kan?"

Lilly tertawa. "Baiklah, Thomas. Terserah kau saja. Omong-omong, apa yang sebaiknya kita lakukan? Apakah kita sebaiknya bermain board games saja? Kalau tidak salah, aku menyimpan Scrabble. Kau bisa cari di rak di bagian bawah lemari buku itu."

Lilly memang memiliki satu lemari buku di kamarnya. Ukurannya tidak terlalu besar—lemari itu hanya muat menampung tiga puluhan buku saja. Lilly sampai harus menumpuk buku-bukunya karena sudah tidak ada tempat lagi. Di bagian bawah lemari itu, ada rak cukup besar yang diisi Lilly dengan board games dan buku teksnya. Lilly tidak mau menaruh novelnya di sana demi menghindari jamur di novelnya.

"Bukumu banyak sekali," kata Thomas sembari berjalan ke arah lemari. "Apa kau sudah membaca semuanya?"

"Kurasa sudah. Sepertinya ada beberapa yang belum kubaca."

Lilly tiba-tiba ingin tahu apakah Thomas suka membaca. Dia pintar, dan biasanya orang-orang pintar suka membaca. Pengetahuan mereka yang luas seringkali didapatkan dari buku-buku bacaan mereka. Thomas adalah jenis orang yang bisa menghabiskan buku-buku tebal berisikan teori-teori yang sulit dipahami. Lilly tahu asumsinya terlalu klise, tetapi dia tidak bisa membayangkan Thomas yang tidak suka membaca.

"Apa kau suka membaca?" tanya Lilly. "Apa yang kaupilih: novel atau nonfiksi?"

"Aku tidak suka membaca," balas Thomas sambil membuka rak. "Buku paling tebal yang pernah kubaca adalah buku teks."

Lilly kecewa mendengar jawaban Thomas. Apakah itu benar? Pastilah itu benar karena Thomas sendiri yang mengakuinya. Kalau begitu, kenapa rasanya begitu salah? Kenapa Lilly tidak bisa mengusir gambarannya akan Thomas yang suka membaca?

Lilly memperhatikan Thomasyang berjalan kembali ke tempat tidur dengan membawa Scrabble. Untuk pertamakalinya sejak bertemu Thomas, Lilly bertanya pada dirinya sendiri. Mana yanglebih bisa dia percayai? Ucapan Thomas, atau pikirannya?

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now