39: An Apology

6 2 0
                                    

Lilly menunggu dengan gelisah di sebuah kafe. Dia akan bertemu dengan Mark hari ini.

Lilly telah mempertimbangkannya sedari kemarin. Semakin dipikirkan, semakin Lilly bisa menemukan alasan untuk memaafkan Mark. Keputusannya memang terdengar sedikit mengerikan, tetapi hingga sekarang, pikiran seram itu tidak terbukti. Mark tidak terlihat seperti pemuda yang akan melecehkan Lilly jika mendapatkan kesempatan—semoga saja pemikirannya ini tidak bias hanya karena Mark mirip dengan Thomas.

Lilly yakin dia bisa berpikir cukup objektif. Lagipula, pemikiran itu tidak terbukti karena Mark sering mendapatkan waktu berdua dengan Lilly. Sepertinya dia memang betulan ingin mencari informasi terkait seseorang yang juga menjadi korban ledakan itu. Lilly sudah tidak ingat lagi karena dia terlalu marah untuk percaya pada apa pun alasan yang Mark berikan.

Pemuda itu terlambat setengah jam. Mark memang tidak membalas pesan Lilly, tetapi dia sudah membacanya. Tanpa mendapat konfirmasi seperti itu, Lilly hanya bisa menunggu. Jika pada akhirnya Mark tidak datang, Lilly akan berasumsi pemuda itu tidak ingin berbicara dengannya, dan tidak ada gunanya memaksanya datang. Lilly akan menganggap semuanya berakhir begitu saja.

Lilly menoleh saat pintu kafe terbuka. Mark datang memasuki kafe, mengedarkan pandangannya hingga menemukan Lilly. Mark berjalan mendekat—Lilly bisa melihat lengannya tertekuk untuk menyembunyikan sesuatu di balik badannya. Barang itu berupa sebuah buket bunga lili. Empat bunga itu tampak segar sekali, seakan baru saja dipetik di kebun.

"Maaf aku terlambat," kata Mark seraya meletakkan buket itu di hadapan Lilly. "Rekan kerjaku memaksaku membawa ini, jadi aku harus ke tempat kerjaku dulu."

Tadi, sebelum mengirim pesan kepada Mark, Lilly memang meminta Clara untuk mampir ke toko bunga tempat Mark bekerja. Label toko itu ada di dalam plastik yang membungkus bunga yang dibawakan Mark. Lilly mengenali toko itu dari buket bunga yang dibeli Joanne waktu mereka hendak berangkat ke makam Thomas. Pantas saja buket bunga itu mengingatkan Lilly pada Mark.

Saat Lilly tiba di sana, dia mengetahui dari seorang pegawai di sana kalau Mark tidak datang bekerja hari ini. Pegawai itu tiba-tiba saja menanyakan seperti apa hubungan Mark dan Lilly. Menurut pemuda itu, Mark tidak pernah membelikan bunga untuk siapa saja, bahkan tidak untuk ibu dan kakaknya sendiri, jadi Lilly pastilah orang yang spesial. Lilly jadi ingin tahu apa yang diceritakan Mark pada rekan kerjanya itu.

"Terima kasih," balas Lilly. "Kau sebenarnya tidak harus melakukannya."

"Aku tahu. Aku juga tidak akan membawanya kalau Archie—rekan kerjaku—tidak memaksaku. Dia percaya bunga bisa memperbaiki hubungan yang rusak."

Lilly jadi teringat akan ucapan rekan kerja Mark sebelum Lilly meninggalkan toko. Katanya, "Aku tidak tahu kesalahan apa yang Mark lakukan, tetapi aku yakin, dia sesungguhnya tidak pernah berniat untuk melukaimu. Kuharap kau memaafkan dia." Lilly hanya tersenyum mendengarnya. Sejujurnya, saat ini, rasanya justru Lilly yang perlu meminta maaf.

"Jadi," ujar Mark kemudian, "apa yg ingin kaubicarakan?"

"Kau tidak mau memesan dulu?" tanya Lilly, mengalihkan topik. Dia belum merasa siap berbicara. "Aku traktir. Pesan saja."

"Memangnya berapa banyak yang ingin kausampaikan?"

"Cukup banyak. Kenapa? Kau tidak ingin berlama-lama berbicara denganku?"

Mark menghela napas. "Aku akan memesan minum," katanya.

Lilly memperhatikan Mark, yang sekarang sedang mengantri untuk memesan. Ekspresinya kusut—Lilly tidak yakin apakah Mark memang selalu seketus ini, atau dia memang sedang mengalami hari yang buruk. Selama ini Lilly hanya melihatnya sebagai Thomas. Dia sering bertemu dengan Mark dan berbicara dengannya, tetapi sesungguhnya, Lilly tidak tahu apa-apa tentang Mark.

Mark kembali dengan segelas minuman dan menyerahkan struknya kepada Lilly. "Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu, jadi jika kau ingin bertengkar tentang masalah itu, lebih baik aku—"

"Aku minta maaf," potong Lilly. "Dan aku ingin berterima kasih."

Tidak ada balasan dari Mark untuk waktu yang lama. Lilly meremas buket bunga dalam genggamannya sedikit terlalu erat. Dia seharusnya melanjutkan ucapannya, tetapi kata-katanya seakan tersangkut di leher, atau berhenti tepat di ujung lidahnya. Kenapa dia harus takut? Tidak ada yang perlu ditakutkan dari meminta maaf jika dia memang bersalah.

"Untuk apa?" balas Mark akhirnya. "Kau sedang membicarakan tentang masalah itu, kan? Kau tidak salah. Kau sangat berhak untuk marah dan mengusirku. Aku tidak melihat letak kesalahanmu, atau alasan kenapa kau harus berterima kasih kepadaku."

"Aku tahu itu. Aku juga tahu aku berhak marah. Namun, biarpun caranya salah, kau sudah membantuku mengembalikan Thomas. Untuk itu, aku harus berterima kasih." Lilly terdiam sejenak. "Aku minta maaf karena tidak membiarkanmu menjelaskan alasanmu. Juga... atas kepergian kakakmu."

Mark memucat, tetapi dia tertawa. "Kau pasti sudah gila."

"Aku tahu itu memang gila. Kurasa aku cukup putus asa hingga mau menerima kegilaanmu sebagai sebuah bantuan dan bukan sesuatu yang aneh. Jika kau tidak berpura-pura menjadi Thomas, aku mungkin tidak akan pernah mengingatnya lagi. Kemungkinan itu lebih buruk dari kemungkinan lainnya. Jadi, Mark, untuk itu, aku ingin berterima kasih."

"Thomas pasti orang yang sangat penting untukmu."

Lilly tersenyum tipis. "Sangat. Kita hanya melakukan hal-hal gila demi orang yang paling kita sayangi, kan? Seperti apa yang kaulakukan untuk kakakmu?"

"Sayang apa yang kita lakukan tidak cukup untuk mengembalikan mereka." Mark mengusap wajahnya. "Sepertinya kau sudah mulai berdamai dengan kepergian kekasihmu itu."

"Kau belum, ya?"

Mark mengangguk. "Julia ada di tempat itu karena pacarnya berselingkuh dengannya. Aku mungkin tidak secara langsung menyebabkannya, tetapi aku merasa bertanggung jawab atas kepergiannya. Mungkin, jika aku melakukan sesuatu, aku bisa menyelamatkannya."

Lilly jadi merenungkan hal yang sama. Jika dia melakukan sesuatu, mungkin ledakan itu tidak akan terjadi. Thomas tidak akan pergi, dan Lilly tidak akan kehilangan memorinya. Mereka pasti sedang melakukan sesuatu yang menyenangkan, seperti membaca bersama atau mengurus bunga-bunga lili. Mereka mungkin sudah berkencan. Lilly tersenyum membayangkannya.

"Kau pasti sedang membayangkannya juga, kan?" Mark tersenyum. "Sia-sia saja membuat perandaian seperti itu. Tidak ada gunanya selain membuat kita lebih sedih lagi."

"Kalau begitu, kenapa kau masih berandai-andai?"

Mark tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Dia mengalihkan perhatiannya dan tidak mengatakan apa-apa untuk sesaat. Kadang, pikir Lilly, manusia suka menyiksa dirinya dengan membuat perandaian yang tidak akan pernah terwujud. Apakah mereka akan lebih bahagia tanpa perandaian itu? Jika jawabannya adalah iya, kenapa mereka masih melakukannya?

"Karena semua perandaian itu lebih baik daripada kenyataan yang harus kuhadapi," balas Mark. "Entahlah. Manusia memang sering melakukan hal-hal yang tidak logis, kan?"

"Kau benar," balas Lilly. "Omong-omong, maaf atas apa yang terjadi pada kakakmu. Tidak ada yang pantas menerima perlakuan seperti itu."

"Terima kasih. Pria itu memang bajingan. Kuharap dia dan gadis itu membusuk di neraka." Mark tersenyum tipis melihat ekspresi terkejut Lilly. "I say what I say. Kau tahu yang lebih gila lagi? Dia berpacaran dengan seorang gadis yang baru saja lulus SMA, sedangkan pria bajingan itu lebih tua empat tahun dariku."

Mereka berbicarabanyak mengenai berbagai hal—masalah Mark, masalah Lilly, dan hal-hal lain yangtidak berhubungan sama sekali. Lilly merasa lega. Ini adalah langkah awal untukmelanjutkan hidupnya. Lilly bersyukur langkah pertama ini bisa dia lewatidengan baik.

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now