16: Home Sweet Home

8 3 0
                                    

Rasanya menyenangkan sekali bisa tiba di rumah setelah sekian lama menghabiskan waktu di kamar rumah sakit. Dibandingkan dengan kamar rumah sakit yang dingin, rumah terasa menyambutnya dengan hangat—dan sedikit panas, berhubung sekarang sudah memasuki musim panas.

Sudah musim panas lagi. Lilly tidak menyangka dia bisa melupakan sepuluh bulan dalam hidupnya begitu saja.

Sepuluh bulan bukan waktu yang singkat. Dalam sepuluh bulan, Lilly menjalani tahun seniornya. Dia mendaftar ke perguruan tinggi—sampai sekarang dia belum bertanya pada orangtuanya di universitas mana dia diterima. Dan yang terpenting, dia melewatinya bersama Thomas. Lilly nyaris saja melupakan Thomas seutuhnya. Untung saja Clara mengingatkannya, dan Thomas pun menemuinya.

"Hati-hati," kata Mom selagi membantu Lilly naik tangga.

Dad sudah mendahului mereka untuk membukakan pintu. Meski hanya satu lantai, rumah mereka lumayan besar. Mom, yang bekerja sebagai desainer interior, selalu membanggakan caranya menghias rumah dengan gaya mid-century modern. Beberapa bagian dinding rumah mereka berupa panel kayu cokelat tua, dan sisanya berwarna putih gading. Furnitur di ruang keluarga didominasi tekstur kayu dan warna mustard, yang diseimbangkan dengan beberapa tanaman hias berwarna segar. Warna-warna hangat itu terasa seperti memeluk Lilly lembut.

Begitu masuk, Lilly langsung duduk dan menaikkan kakinya perlahan di atas sofa. Walaupun tidak dipakai berjalan, kaki kanannya pegal-pegal. Kakinya memang masih harus digips untuk beberapa hari sampai benar-benar pulih, tetapi Lilly bisa melanjutkan perawatan di rumah. Untungnya dia sudah bisa pulang. Dia sudah bosan berdiam diri terus di rumah sakit tanpa punya sumber hiburan sama sekali.

"Lilly, di mana aku harus meletakkan bungamu?" tanya Clara. Tak lama kemudian, dia muncul dari luar dengan vas plastik putih berisi empat tangkai bunga lili.

Lilly tersenyum melihatnya. Bunga-bunga itu pasti sebentar lagi akan layu, tetapi Lilly tidak sanggup membuangnya. Dia tidak bisa membuang apa yang diberikan Thomas meskipun dia hanya bisa menikmatinya untuk sesaat. Barang akan rusak dan hancur, tetapi memori selalu kekal dalam ingatan.

Sedikit ironis, mengingat otaknya tidak bisa mengekalkan memorinya akan Thomas.

"Kau bisa meletakkannya di kamarku," kata Lilly. "Letakkan saja di dekat nakas, supaya aku bisa mengganti airnya dengan mudah."

"Kenapa kau membawanya pulang, Sayang?" tanya Mom saat Clara melewatinya. "Bunga itu pasti layu dengan cepat. Lagipula, vas itu bukan vas yang bagus. Tampak murahan sekali."

"Thomas yang memberikannya kepadaku, Mom. Aku harus menyimpannya."

"Biarkan saja, Mom," seru Clara dari dalam kamar Lilly. "Lilly sedang dimabuk cinta. Dia pasti akan mengawetkan bunga-bunga ini kalau bisa. Lihat saja. Besok dia akan minta buku tebal untuk menekan bunga-bunga ini."

"Hei, aku tidak seperti itu," sanggah Lilly.

Lilly yakin benar dia tidak segila itu untuk melakukannya. Bunga-bunga bisa diganti dengan yang lebih baru. Lagipula, fokus Lilly sekarang adalah mengembalikan ingatannya yang hilang. Sejauh ini, yang dia tahu bisa menolongnya hanyalah Mom, Dad, Clara, dan Thomas. Lilly banyak berharap pada Thomas, karena sepertinya dengan Thomas-lah Lilly paling banyak membuat kenangan.

"Omong-omong, apa belum ada kabar lagi dari detektif itu?" tanya Dad sambil duduk di sebelah Lilly. "Apa tidak ada bukti yang dia temukan terkait keberadaanmu di sana, ya?"

"Aku tidak menyukai detektif itu," Mom menggerutu. Dia menempati kursi di sebelah Dad setelah meletakkan cemilan di meja. "Berani-beraninya dia menuduh Lilly mengonsumsi narkoba. Pemikiran mengerikan macam apa itu? Kau memang tidak ingat apa-apa, Lilly, tetapi aku yakin kau tidak akan melakukan hal-hal mengerikan seperti itu."

"Mom akan langsung mengusirku jika aku berani mencobanya," balas Lilly sambil tertawa.

Clara menepuk pundak Mom dari belakang. "Mom, dia hanya melakukan tugasnya. Bukannya dia mirip dengan detektif yang sering kalian tonton itu? Siapa, sih? Kalau tidak salah dia diperankan oleh aktor kesukaan Mom yang muncul di Jurassic World."

"Jangan bandingkan Jeff Goldblum dengan detektif itu," kata Mom sambil menyalakan televisi. "Ah, aku jadi ingin menonton dia lagi."

Lilly kemudian memperhatikan percakapan Clara dan Mom dalam diam. Dia merindukannya. Saat berada di rumah sakit, Mom tidak banyak berbicara. Mom terlihat tidak nyaman selama berada di rumah sakit, seakan-akan dia akan terinfeksi dengan penyakit mematikan jika menghirup terlalu banyak udara rumah sakit. Sepertinya Mom masih terlalu mengkhawatirkan keadaan Lilly, dan baru lega saat Lilly akhirnya diperbolehkan pulang.

Mom mungkin benar—Lilly tidak pernah mengonsumsi narkoba jenis apa pun dalam hidupnya. Seandainya itu benar, maka keberadaan Lilly di tempat ledakan itu tidak dapat dijelaskan. Untuk apa Lilly berada di tempat seperti itu kalau dia tidak pernah berurusan dengan hal-hal yang melanggar hukum? Kejadian itu masih menjadi misteri yang sampai sekarang belum bisa dijawab.

Lilly jadi teringat lagi akan pemuda yang ditemukan di sana dan bersekolah di sekolah yang sama dengannya. Kalau tidak salah, namanya Aiden. Apakah dia sungguh menjadi alasan keberadaan Lilly di sana? Namun, kenapa Lilly hanya mengingat Thomas? Jika dia dekat juga dengan Aiden, seharusnya Lilly akan mengingatnya walau samar-samar. Entahlah. Mungkin ingatannya akan Aiden belum terbuka sepenuhnya.

Omong-omong soal Thomas, Lilly membuka ponselnya. Dia sudah sempat bilang pada Thomas kalau dia diperbolehkan pulang hari ini. Thomas berjanji akan datang setelah pekerjaannya selesai. Lilly tidak ingat apakah Thomas pernah datang ke rumahnya atau tidak, tetapi dia memutuskan untuk mengirimkan alamat rumahnya. Lebih baik dia berasumsi Thomas tidak tahu.

Kau jadi datang, kan?

Pesan Lilly dan alamat rumahnya dengan cepat terkirim. Tidak butuh waktu lama bagi Thomas untuk membukanya kali ini.

tentu. jgn khawatir. c u ;)

Lilly tersenyum tipis membaca pesan dari Thomas. Setelahnya, dia meletakkan ponselnya di atas meja. Dia tidak bisa menggunakan ponsel lama-lama—kepalanya masih sedikit pusing jika Lilly memaksakan diri memandangi layar ponsel terlalu lama. Ada baiknya dia mengurangi penggunaan gawainya. Lagipula, menurut dr. Jennings, dia masih harus banyak beristirahat supaya dia cepat sembuh.

"Oh ya, Dad?" panggil Lilly, sedikit menoleh ke arah Dad. "Apakah aku sudah diterima di universitas?"

"Ah, benar." Dad menarik Lilly ke dalam pelukannya, mengelus rambutnya pelan. "Kau diterima, kok. Di tempat yang bagus. Apa kau mau menebaknya?"

Lilly mendengus. Kenapa Dad ikut-ikutan menyuruhnya menebak-nebak? Lilly sudah kesal karena Thomas tidak mau langsung menjawab pertanyaannya dan malah membuat Lilly berusaha keras mengingat. Ingatannya tidak akan pulih secepat itu. Sejauh ini, dia hanya ingat kalau Thomas punya panggilan khusus untuknya—White Lilly—juga bahwa Thomas menyukai tanaman, walaupun Lilly masih belum mengingat jelas tentang itu.

"Jawab saja aku," kata Lilly sambil merajuk. "Masa aku harus menebak-nebak semuanya?"

Dad tertawa. "Kau akan berkuliah di universitas yang sama dengan kakakmu."

"Selamat bergabung, calon ekonom masa depan," Clara menyahut.

Lilly membelalak saat dia mulai memahami arti ucapan Dad dan Clara. Dia menatap Dad dan Clara bergantian. "Jangan bercanda! Aku sungguh diterima di Stanford University jurusan Ekonomi?"

"Tentu saja. Untukapa Dad bercanda?"

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now