33: Silent Grave

4 2 0
                                    

Lilly menghabiskan siang itu berbicara dengan Mrs. Lane—yang sekarang memaksa untuk dipanggil Joanne saja. Lilly menyuruh Clara untuk pulang duluan, berhubung dia akan ikut Joanne dan keluarganya pergi ke makam Thomas nanti sore.

Lilly bisa melihat kalau watak Joanne berkebalikan dengan Mom dalam banyak aspek. Joanne adalah wanita yang lembut dan mudah tersenyum. Rumahnya didominasi warna hijau pastel dan krem, tampaknya tidak memiliki sebuah konsep interior tertentu. Terdapat begitu banyak jenis tanaman di dalam rumah, mulai dari tanaman hias berdaun lebar seperti yang dimiliki Mom dan tanaman-tanaman sukulen yang tersebar di berbagai tempat.

Terdapat sebuah rak besar berisikan medali dan piala. Setengah dari isi rak itu adalah milik Thomas, sementara setengah lainnya dimiliki oleh Joshua Lane.

"Joshua adalah adik Thomas," kata Joanne. "Dia lebih suka bermain football. Sejak kecil memang mereka berdua berkebalikan sekali."

Joanne kemudian bercerita banyak sekali tentang Lucas, suaminya, dan Joshua. Lucas Lane bekerja sebagai kepala cabang di sebuah bank. Joshua lebih muda dua tahun dibandingkan Thomas. Dia sekarang sedang dalam minggu-minggu ujian, dan berita kematian Thomas membuatnya tidak bisa fokus belajar. Lilly tidak bisa membayangkan perasaan Joshua saat ini. Joanne sendiri bekerja dari rumah dengan menjual produk rajut, mulai dari boneka, sweter, hingga kaus kaki.

Setelahnya, Joanne menyuruh Lilly bercerita tentang dirinya sendiri. Bercerita pada Joanne terasa mudah sekali, dan Lilly merasa seperti pernah merasakan hal yang sama. Mungkinkah seperti ini rasanya bercerita pada Thomas? Mungkin saja begitu, berhubung mereka mirip sekali. Joanne memperhatikan setiap kata yang diucapkan Lilly dengan saksama—tidak sedikit pun dia terlihat bosan.

Mereka berbincang hingga Lucas dan Joshua tiba di rumah. Langit masih cukup cerah saat mereka berempat pergi ke makam Thomas. Jika diperhatikan, Thomas mewarisi rambut ikal berwarna cokelat dan bentuk rahang ayahnya, sementara dia mendapatkan mata yang sayu dan senyum yang manis dari ibunya. Joshua juga mirip dengan kakaknya, hanya lebih gelap saja—dia mengaku terpanggang karena sering bermain football.

Keluarga Thomas begitu hangat. Lilly suka sekali menghabiskan waktu bersama mereka.

Permakaman tempat jasad Thomas dikebumikan tidak terlalu jauh dari rumah Thomas. Lilly tidak menyukai tempat seperti ini—selalu saja ada kesedihan dan rasa tidak nyaman yang meliputi Lilly setiap kali dia berada di permakaman. Mungkin karena Clara sering melihat film horor yang mengaitkan permakaman dengan hantu-hantu mengerikan, dan Lilly terpengaruh. Padahal, permakaman adalah tempat di mana mereka yang masih hidup bisa bertemu lagi dengan orang kesayangan mereka yang sudah pergi.

Joanne membantu Lilly turun dari mobil. Lilly mengambil alih sebuah buket bunga lili yang dibeli Joanne—mereka sempat mampir ke sebuah toko bunga untuk membeli dua buket bunga lili, yang masing-masing berisi empat tangkai bunga dan beberapa daun hijau tua. Buket ini mengingatkan Lilly pada Mark. Pemuda itu selalu membawakannya empat tangkai bunga lili.

Kenapa juga Lilly harus teringat pada pemuda berengsek itu? Hari ini adalah untuk Thomas.

Makam Thomas sudah terlihat dari kejauhan—gundukan tanahnya masih tinggi dan terlihat baru. Joanne bilang, Thomas baru dimakamkan dua hari yang lalu. Butuh waktu yang cukup lama bagi pihak kepolisian untuk mengidentifikasi jasad Thomas. Tubuh Joanne sedikit gemetar saat membicarakannya. Lucas segera merangkulnya dan mengusap lengan Joanne. Lilly tidak bisa membayangkan perasaan Joanne selama menunggu keberadaan Thomas.

Lilly jadi merasa bersalah. Selama hampir dua minggu, dia merasa segalanya baik-baik saja. Lilly mengira dia menghabiskan waktu yang menyenangkan bersama Thomas. Dia mengira dia sedang mengingat segalanya, dan semuanya akan baik-baik saja. Dia merasa bahagia di saat keluarga Thomas yang sebenarnya sedang gelisah, mencari-cari di mana anak mereka.

"Apa kau sungguh terluka karena ledakan itu?" Joshua tiba-tiba saja menyamai langkah Lilly. "Ledakan yang membunuh Thomas. Kau ada di sana?"

Lilly mengangguk. "Aku ada di sana. Sayangnya aku tidak ingat apa-apa."

Joshua terdiam sesaat. "Thomas tidak seharusnya ada di sana. Bagaimana denganmu?"

"Apa maksudmu?" tanya Lilly tajam. Apakah Joshua baru saja menuduhnya layak berada di rumah itu? Jika mereka tidak sedang berada berjalan menuju makam Thomas, Lilly sudah pasti akan berteriak lebih keras. "Tidak ada dari kami yang seharusnya berada di sana."

"Thomas tidak mungkin ada di sana karena kemauannya sendiri. Pasti ada yang menyebabkan dia ada di sana. Jika bukan kau, lalu siapa?"

"Kalau bukan karena kita sedang berada di permakaman dan kakiku patah, aku tidak akan segan-segan menghajarmu," ujar Lilly sambil menarik napas panjang. "Jika kau ingin tahu, sepertinya kami ada di sana karena seorang teman kami yang bernama Tony. Dia sudah ditangkap polisi beberapa hari lalu."

Joshua mengusap lehernya. "Aku tidak bermaksud menuduhmu atau apa. Aku hanya ingin tahu. Thomas tidak seharusnya ada di situ. Kau pasti tahu itu juga."

Tanpa perlu dikatakan Joshua pun, Lilly juga tahu. Dia dan Thomas tidak seharusnya berada di sana malam itu. Lilly jadi ingin tahu apa yang dikatakan Tony malam itu hingga bisa membawanya dan Thomas ke rumah itu pada malam nahas itu. Setelah ini dia harus menemui Tony.

Lilly menggenggam buket bunga dalam tangannya lebih erat ketika dia akhirnya tiba di sebelah makam Thomas, yang masih tertutup dengan kelopak-kelopak bunga mawar. Kekesalannya akibat ucapan Joshua seketika berganti dengan kesedihan yang datang menggulung layaknya ombak. Rasanya tidak nyata. Lilly masih tidak ingin menerima kenyataan bahwa sekarang tubuh Thomas ada di bawah gundukan tanah itu.

Joanne meletakkan buket bunga yang dia bawa. "Hai, Thomas. Apa kabarmu?"

Lilly memperhatikan nisan di bagian atas makam selagi Joanne berbicara dengan Thomas. Di sini terbaring Thomas Josiah Lane. Lahir: 3 Maret 2001. Meninggal: 2 Juni 2019. Hati Lilly terasa perih membacanya. Thomas baru berumur 18 saat dia meninggal. Dia seharusnya hidup lebih lama lagi. Kesempatan yang dia punya seharusnya masih banyak. Tiba-tiba saja, setetes air mata jatuh membasahi pipinya.

"Thomas, Lilly ada di sini bersama kami," kata Joanne seraya menepuk pundak Lilly. "Aku sangat menyukainya. Andai saja aku punya lebih banyak kesempatan melihat kalian bersama-sama. Pasti akan menyenangkan sekali."

Lilly mencengkeram kruk dan buket bunganya erat-erat. Dia semakin ingin menangis saja.

Lucas dan Joshua bergantian menyapa Thomas. Mereka tidak bercerita sebanyak Joanne—Lucas hanya bercerita tentang bagaimana harinya, sementara Joshua mengomeli Thomas karena pergi terlalu cepat. Setelahnya, Joanne mengajak suami dan anaknya untuk menjauh, memberikan Lilly waktu sendirian bersama Thomas.

"Hai," sapa Lilly. Dia menunduk sedikit, meletakkan buket bunga yang dipegangnya. "Akhirnya kita bertemu lagi."

Lilly memperhatikan makam Thomas tanpa mengucapkan apa-apa untuk sesaat.

"Kau tahu," katanya kemudian, "aku melupakanmu. Aku jahat sekali, ya, bisa melupakanmu begitu saja. Padahal kau penting sekali bagiku. Aku tidak seharusnya melupakanmu semudah itu. Aku seharusnya mengingatmu."

Air matanya mulai berjatuhan tanpa bisa dicegah. Lilly mengusapnya dengan sia-sia. Dia ingin sekali bisa berlutut di sebelah Thomas, mengusap namanya yang terukir di batu nisan, tetapi dia tidak bisa. Lilly ingin memeluk Thomas dan sungguh-sungguh berbicara dengannya. Lilly tidak mau berbicara dengan nisan atau gundukan tanah. Lilly tidak ingin Thomas pergi.

"Kenapa kau harus pergi?" bisik Lilly. "Kenapa aku harus melupakanmu? Thomas, bisakah kau datang dan membantuku kembali ingat? Kumohon. Aku ingin kau ada di sini. Bukankah kau berjanji tidak akan pernah meninggalkanku? Kenapa kau melanggarnya? Kembalilah. Aku akan memaafkanmu, tetapi kau harus kembali. Bisakah kau melakukannya?"

Namun, sekeras apapun Lilly berseru dan memohon, Thomas tidak akan kembali untuk menemaninya.

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now