9: Desperate Times

14 4 0
                                    

Marcus Powell sudah muak mendengar dengungan mesin-mesin itu. Dia tidak tahu apa namanya, tetapi mesin-mesin itu menyokong hidup Julia Powell, kakaknya, yang kini terbaring tidak sadarkan diri. Sudah empat hari, dan Julia belum bangun juga. Semakin lama Julia tidak sadarkan diri, semakin mahal biaya rumah sakit, dan semakin panas telinga Mark mendengarkan semua mesin itu bekerja keras untuk mempertahankan hidup Julia.

Sebenarnya, Mark tidak yakin bagaimana semuanya jadi seburuk ini.

Empat hari lalu, ketika Mark sedang bersiap-siap bekerja, telepon rumahnya berdering. Seorang detektif bernama Billy Russell menelepon. Mark langsung tahu Julia sedang terlibat masalah. Hanya Julia yang bisa membuat masalah cukup serius hingga polisi harus turun tangan. Hanya saja, Mark tidak menduga Detektif Russell akan memberi kabar buruk itu.

Julia Powell menjadi korban ledakan yang terjadi tadi malam. Dia selamat, tetapi belum sadarkan diri sampai sekarang.

Mark cepat-cepat mengabari ibunya dan pergi ke rumah sakit. Dia tidak sempat mampir membeli sarapan, dan tidak ingat untuk meminta izin kepada atasannya. Julia memang sering terlibat masalah, tetapi tidak sekali pun dia sampai harus dirawat di rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, hati Mark langsung hancur melihat Julia terbaring dengan sebagian besar tubuhnya diperban akibat luka bakarnya.

Mark melihat berita tentang ledakan itu. Salah satu kanal berita lokal menyiarkan rumah tersebut saat para pemadam kebakaran berjuang memadamkan apinya. Si pembawa berita menyebutkan kemungkinan rumah itu merupakan pabrik meth. Mark malas melihat berita itu, jadi dia segera menggantinya dengan acara yang lebih menyenangkan. Sekarang, Mark menyesal kenapa dia tidak segera mencari tahu di mana keberadaan Julia saat itu.

Julia kecanduan narkoba sejak tahun seniornya—kira-kira lima tahun yang lalu. Waktu itu, Mom sedang dalam proses perceraian dengan pria bajingan yang, sayangnya, merupakan ayah kandung Julia dan Mark. Proses itu sangatlah berantakan, membuat Julia stres berat dan memilih narkoba untuk menguranginya. Sudah dua kali Julia ditangkap oleh polisi akibat kepemilikan narkoba.

Setahun belakangan, Julia mengaku sudah tidak memakai lagi. Dia tampaknya mulai mencoba memperbaiki hidupnya dengan mengambil kursus menjahit dan mencari pekerjaan di sebuah butik. Bukan hal yang aneh jika Julia tidak pulang—dia sering menginap di apartemen pacarnya. Karena itulah, Mark tidak berusaha mencari Julia dan tidak mengaitkan berita ledakan pabrik meth dengannya.

Ah, tidak ada gunanya dia menyesal. Penyesalannya tidak akan mengubah apa-apa.

Pikiran Mark sekarang dipenuhi pertanyaan, terutama terkait alasan Julia berada di pabrik meth malam itu. Jika Julia sudah tidak kecanduan, untuk apa dia berada di sana? Apakah selama ini dia berbohong? Kenapa? Hidup Julia sungguh terlihat seperti mengalami banyak kemajuan—dia berhasil bertahan di butik itu selama lebih dari tiga bulan, dan dia tampak sehat. Dia punya banyak alasan untuk menjauhi candunya.

Sedari tadi, Mom belum berhenti menangis. Mark tidak yakin apa masalah Mom sebenarnya, berhubung Mom belum berhenti menangis sejak memasuki ruangan tadi siang. Biar dia tebak: masalah pekerjaan. Meski Mom dipercaya mengurus salah satu toko cabang, atasannya sering menekannya. Mark tidak tahu apa kesalahan Mom sehingga dikelilingi banyak pria bajingan.

Muak melihat Mom menangis, Mark akhirnya bertanya, "Mom, kenapa sih? Ada masalah dengan Beverly Heels?"

Beverly Heels adalah nama toko sepatu tempat Mom bekerja.

Mom mengusap pipinya. Dia menggeleng. "Bukan itu, tetapi...." Mom terdiam, terlihat ragu-ragu. "Aku tidak yakin harus membebani pikiranmu dengan ini juga."

"Mom sudah membebani pikiranku dengan menangis terus," balas Mark, duduk di sebelah Mom. "Lagipula, Mom tahu Mom bisa mengandalkanku."

"Kau begitu dewasa." Mom menepuk kaki Mark. "Kau seharusnya bisa fokus kuliah, bukannya harus membantuku mencari uang."

"Mom, jangan alihkan pembicaraan dan segera katakan apa yang membuatmu menangis."

Untuk beberapa saat, Mom tidak menjawab Mark. Tatapannya ditujukan kepada Julia. Mark sebenarnya menyayangi saudaranya itu, tetapi dia tidak bisa memaafkan Julia untuk setiap perbuatannya yang membuat Mom khawatir.

"Bank menolak memberikan pinjaman," ujar Mom akhirnya. "Aku tidak tahu lagi harus mencari pinjaman ke mana lagi untuk membayar biaya rumah sakit Julia."

Mark terdiam. Rupanya itu. Dia tahu Mom sudah mencoba mencari pinjaman ke mana-mana, dan nyaris tidak ada yang mau memberinya pinjaman. Atasannya setuju untuk memberikan gaji bulan depan di awal dan teman-temannya hanya bisa memberi sedikit uang. Mom bahkan memberanikan diri menghubungi mantan suaminya lagi—Mark masih tidak sudi memanggil pria itu Dad—tetapi tidak mendapatkan jawaban. Pilihan terakhir Mom adalah bank, yang rupanya juga tidak bersedia menyelamatkan nyawa seseorang.

"Mereka semua tidak punya nurani," komentar Mark. "Apa perlu aku meminta pinjaman kepada Mrs. Hughes? Mungkin dia bisa meminjamkan uang."

Mrs. Florence Hughes adalah pemilik toko bunga Flo's Bouquet, tempat Mark bekerja paruh waktu. Wanita itu sangat baik, tetapi agak tegas. Dia tidak mau menerima apa pun alasan Mark untuk keterlambatannya dan akan memaksanya bekerja lebih untuk menggantinya. Namun, Mrs. Hughes akan selalu memastikan semua pegawainya punya cukup uang untuk membeli makan dan membayar sewa. Mrs. Hughes mungkin akan memberinya pinjaman, mengingat Mark adalah salah satu pegawainya yang paling setia.

Sebelum Mom menjawab, dr. Jennings memasuki ruangan. "Mrs. Adams?" panggilnya—Mom memang memakai nama gadisnya lagi setelah bercerai. "Saya harus membahas kondisi putri Anda."

"Apakah kondisinya buruk?" tanya Mom.

"Maafkan saya," ujar dr. Jennings. Segala sesuatu yang dimulai dengan "maafkan saya" tidak pernah berakhir baik. "Namun, tidak ada lagi yang bisa kami lakukan."

Kaki Mom lemas mendengarnya. Mark segera menangkap Mom dan mendudukkannya. Dr. Jennings memang belum menjelaskan lebih lanjut, tetapi akhirnya jelas. Julia tidak bisa diselamatkan. Julia tidak akan diselamatkan. Hati Mark penuh dengan kemarahan dan kesedihan di saat yang bersamaan. Julia memang bukan orang penting, tetapi dia tetap saja layak diselamatkan.

"Kalian tentu tidak membiarkannya mati karena kami tidak bisa membayar, kan?" ucap Mark, tidak lagi bisa membendung emosinya.

"Tentu saja tidak," balas dr. Jennings. "Saya paham perasaan Anda. Maafkan saya. Namun, benar-benar tidak ada lagi yang bisa kami lakukan. Hanya mesin-mesin itu yang membuatnya tetap hidup."

Mark bisa marah kepada siapa saja. Dia bisa memaki dr. Jennings, bahkan menuntut rumah sakit. Namun, dia tidak akan bisa mengubah takdir.

Nyatanya, Julia tidak bisa diselamatkan. Tidak ada yang bisa Mark lakukan untuk mengubahnya.

Selepas menemani Mom menandatangani surat untuk melepas seluruh mesin itu dari Julia, Mark memilih keluar dan duduk di lobi. Dia tidak bisa menghabiskan lebih banyak waktu di kamar Julia. Toh, tidak ada gunanya. Mark tidak bisa menahan Julia lebih lama di dunia.

Baru sejenak dia duduk di lobi, seseorang menyapanya dan menanyakan kabarnya. Mark mengenali gadis yang duduk di kursi roda itu. Dia pernah secara sengaja masuk ke kamar gadis itu setelah mendengar bahwa dia juga menjadi korban ledakan pabrik meth. Mark kira, gadis itu teman Julia. Dia ingin sekali menanyakan alasan Julia berada di rumah itu—dia masih menolak percaya bahwa Julia kembali menggunakan narkoba.

Namun, saat Mark melihat gadis itu, dia langsung membatalkan niatnya. Mark bisa membedakan orang-orang yang bermasalah dengan narkoba dengan yang tidak. Gadis itu jelas-jelas tidak pernah menyentuh obat-obatan terlarang dalam hidupnya.

Sebelum Mark menjawab, gadis itu sudah berkata, "Maafkan aku, tetapi aku harus bertanya. Apakah... apakah kau Thomas? Karena aku merasa mengenalmu."

Apa yang harus Mark jawab? Tentu, dia seharusnya menjawab yang sebenarnya. Walau begitu, Mark merasakan dorongan untuk berbohong. Jika dia bisa berteman dengan gadis itu, dia mungkin bisa mencari tahu kenapa Julia ada di rumah itu. Mungkin dia bisa mencari orang yang bertanggung jawab atas kematian Julia dan membalaskan dendamnya.

Mungkin, dia bisa mendapatkan penyelesaian yang dia inginkan.

Karena itu, alih-alih menjawab jujur, Mark memutuskan untuk mengucapkan kebohongan. Dia tersenyum, berharap bisa menyembunyikan kebohongan ini dengan baik.

"Memang benar. Kitapernah saling mengenal dulu. Aku terkejut kau baru mengenaliku sekarang."

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now