10: Confirmation Bias

10 3 0
                                    

Kita pernah saling mengenal dulu.

Jantung Lilly berdebar kencang mendengarnya. Kecurigaannya terkonfirmasi sekarang. Pemuda di hadapannya adalah Thomas.

Lilly masih tidak percaya dia bisa melupakan Thomas begitu saja. Menurut Clara, Thomas adalah orang yang dekat dengan Lilly selama tahun seniornya. Thomas pastilah orang yang luar biasa jika dia bisa membuat Lilly cukup memercayainya dan menjadikannya teman. Seseorang sepenting itu seharusnya tidak mudah dilupakan. Malah, mereka seharusnya menempel di otaknya seperti stiker.

Untuk beberapa saat, Lilly memperhatikan wajah Thomas. Pemuda itu tampak lelah. Wajahnya sedikit pucat, matanya terlihat sedikit memerah, dan rambut hitamnya berantakan. Dia berusaha tersenyum meski ekspresinya muram. Lama sekali Lilly mengamati wajah itu, siapa tahu salah satu memorinya bisa muncul begitu saja dengan melakukannya. Tentu saja dia tidak berhasil.

"Kau sedang sedih, ya?" tanya Lilly.

Senyum Thomas memudar sesaat. Detik berikutnya, senyumnya kembali lebar. "Hanya ada sesuatu yang kupikirkan. Bukan sesuatu yang sangat penting."

Lilly bertanya-tanya apa yang ada di dalam pikiran Thomas sekarang. Seperti apa hidup Thomas selama ini? Apa masalahnya yang begitu mengganggunya? Betapa aneh, melihat seseorang yang pernah dekat denganmu tanpa tahu apa-apa tentangnya. Lilly tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Thomas menghadapinya, yang tidak ingat sedikit pun tentang cerita mereka.

"Apa aku yang membuatmu sedih?" tebak Lilly. "Kita saling mengenal dan aku tidak mengingatmu. Aku yakin itu pasti menyakitkan sekali."

Thomas berpaling dan merenungkannya. "Dilupakan oleh orang yang kau sayangi memang menyedihkan. Ada bagian dari dirimu yang bertanya-tanya apakah selama ini perasaanmu tidak berbalas." Thomas menghela napas, lalu menoleh dengan senyum seakan-akan ucapannya barusan tidak berarti apa-apa. "Setidaknya, kau sekarang ingat siapa aku. Ini adalah awal yang sangat baik."

"Perasaanmu berbalas, Thomas," balas Lilly, berusaha meyakinkan Thomas. "Aku sempat melupakanmu, tetapi sekarang aku akan mengingatmu lagi. Bagaimana kalau kau mencoba menceritakan semua yang terjadi di antara kita? Aku ingin mendengar semuanya."

Sebelum Thomas sempat membalas, Clara sudah memanggil. "Lilly, ayo kita kembali ke kamar."

Lilly menoleh, bersemangat ingin memperkenalkan Thomas kepada Clara. Sebuah kebetulan yang menyenangkan sekali Lilly bisa bertemu dengan Thomas secepat ini di rumah sakit. Jika dipikirkan lagi, mungkin saja Thomas ada di sana untuk menengok Lilly. Dia pasti sudah mendengar bahwa Lilly menjadi korban ledakan itu dan sedang mencari-cari waktu yang tepat untuk menemui Lilly.

"Clara, perkenalkan, ini Thomas," kata Lilly, menarik tangan Clara mendekat. Dia menoleh lagi pada Thomas yang masih duduk di sebelahnya. "Thomas, ini kakakku, Clara. Ah, aku bersikap seolah-olah kalian baru bertemu. Aku yakin kalian sudah saling mengenal."

"Belum, kok," ujar Clara. Dia mengulurkan tangan, "Hai, aku Clara. Aku banyak mendengar tentangmu."

Thomas menyambut tangan Clara. "Thomas. Aku juga banyak mendengar tentangmu."

"Tunggu, bagaimana mungkin kalian belum saling mengenal?" tanya Lilly heran.

"Aku belum pernah kembali ke Los Angeles sejak kuliah, Lilly," jawab Clara. "Aku melewatkan semua kegiatan pentingmu, seperti prom dan kelulusan. Aku sama sekali bukan kakak yang baik."

"Tidak, kuyakin kau hanya sedang sibuk." Lilly menggeleng pelan. "Ah, aku baru akan meminta Thomas bercerita tentang kami. Apa aku boleh berbicara dengan Thomas dulu? Thomas bisa mengantarku kembali ke kamar jika kami sudah selesai. Benar, kan, Thomas?"

Thomas tampak ragu. "Soal itu... kurasa aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Bagaimana kalau nanti aku datang lagi saja?"

Lilly sedikit kecewa, tetapi dia mengangguk. "Boleh. Atau kau bisa meneleponku. Bisakah aku minta nomormu? Aku tidak punya ponsel sekarang—mungkin terbakar di rumah itu—jadi nomormu hilang dan nomorku tidak bisa dipakai lagi."

"Itu ide bagus." Thomas kemudian menyebutkan nomornya. Dia kembali menoleh pada Lilly. "Maaf, aku benar-benar harus pergi. Kau harus istirahat."

"Aku akan menghubungimu secepat mungkin," kata Lilly.

Setelahnya, Thomas pergi. Lilly masih memandangi punggungnya hingga tidak terlihat lagi.

"Kau semangat sekali saat bertemu Thomas. Aku tidak pernah melihat matamu berkilat-kilat seperti itu sebelumnya."

Lilly tidak kunjung membalas Clara. Pikirannya hanya dipenuhi oleh Thomas. Dia menyukai segalanya dari Thomas, mulai dari cara bicaranya, sorot matanya, hingga suaranya. Tidak sulit membayangkan dia akan jatuh hati dengan Thomas, berhubung pemuda itu setipe dengan aktor-aktor yang selama ini Lilly sukai—sebut saja Noah Centineo, Ansel Elgort, hingga Jacob Elordi. Sorot mata mereka yang agak sayu mampu membuat Lilly jatuh hati.

Lilly tidak terlalu suka pemuda yang terlalu populer atau atletis, seperti pemain football yang hebat di sekolahnya atau pemuda yang menjadi pimpinan student council yang terlalu ambisius. Pemuda seperti itu selalu menjadi pusat perhatian dan perbincangan orang-orang, dan tidak pernah punya waktu untuk memperhatikan Lilly secara khusus. Hidup mereka selalu disibukkan dengan ambisi dan ketenaran mereka.

Dia lebih suka pemuda-pemuda kebalikannya—pemuda yang tidak berambisi terlalu tinggi dan tidak tenar, yang ada di sekolah untuk belajar. Sebagian besar alasannya karena Lilly satu frekuensi dengan mereka. Dia juga tidak berambisi, menghindari ketenaran, dan fokus untuk belajar keras supaya bisa melanjutkan studi di Stanford University. Opposite attracts, tetapi Lilly tidak ingin meninggalkan zona nyamannya.

Selain wajahnya yang mirip dengan aktor favoritnya, Thomas tampaknya adalah pemuda tipe kedua. Pantas saja mereka bisa dekat.

"Aku tidak ingat dia, tetapi aku menyukainya," kata Lilly akhirnya. "Aku tidak percaya aku bisa melupakan dia semudah itu."

"Kau, kan, mengalami trauma di kepalamu. Lagipula, Lilly, ingatan mudah untuk dilupakan, tetapi memori yang kausimpan di hati selamanya tidak akan hilang."

"Kau sudah menghabiskan jatah petuah harianmu, Clara." Lilly menyeringai. "Aku setuju denganmu. Aku hanya perlu mengikuti hatiku. Pada akhirnya, aku akan mengingat semuanya. Aku benar-benar berharap bisa mengingat Thomas lagi. Dia pasti kecewa sekarang."

Apakah kekecewaan Thomas yang membuatnya tidak bisa menceritakan kenangan mereka hari ini? Lilly jadi sedikit merasa bersalah sudah memaksa Thomas bercerita. Bisa jadi, perasaan Thomas sedang bercampur aduk. Di satu sisi, dia pasti senang melihat Lilly baik-baik saja dan tidak terluka parah. Di sisi lain, Thomas tidak bisa mengingat lagi kenangan bahagia mereka karena Lilly tidak berbagi kenangan yang sama.

Lilly teringat akan ucapan Thomas tadi. Dilupakan oleh orang yang kau sayangi memang menyedihkan. Ada bagian dari dirimu yang bertanya-tanya apakah selama ini perasaanmu tidak berbalas.

"Aku akan mengingatnya lagi, Clara," ujar Lilly. "Aku akan mengingat Thomas lagi dan aku tidak akan melupakan dia. Aku akan membuktikan kepadanya kalau perasaannya berbalas."

"Tentu, tentu. Sekarang, kau harus beristirahat. Otakmu akan pulih lebih cepat kalau kau banyak beristirahat. Kau tidak mau otakmu meledak, kan?"

"Kau tidak seharusnya menakutiku seperti itu."

Clara tertawa. "Kau akan baik-baik saja. Aku akan pastikan otakmu tidak meledak."

Meski Lilly merasakesal, ucapan Clara ada benarnya. Dia harus banyak beristirahat sekarang.Semoga dia bisa memimpikan Thomas nanti.

Reminiscing ThomasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang