34: Broken Trust

6 2 0
                                    

Mark memperhatikan wanita yang baru saja keluar dari toko. Wanita itu membeli dua buket bunga lili putih. Mau tidak mau, Mark langsung teringat akan Lilly.

Empat tangkai bunga lili yang dihias dengan dedaunan hijau tua. Buket ini merupakan salah satu buket termurah yang dijual di Flo's Bouquet—juga yang termudah, karena tidak membutuhkan banyak hiasan. Meski begitu, bentuk bunga dan kombinasi warnanya yang elegan menjadikannya salah satu buket paling banyak dipesan. Mark membereskan sisa bunga lili dan dedaunan sambil menghela napas.

Sebenarnya, kenapa dia masih saja merasa sedih? Mark tidak seharusnya sedih. Dia memang bersalah karena telah berbohong, dan dia layak diusir dari hidup Lilly. Mark juga sudah tahu hasilnya akan seperti ini—malah, apa yang dia alami kemarin bukan kasus terburuk yang dia bayangkan, karena dia berpikir keluarga Lilly akan ada di sana dan memukulinya.

"Bagaimana?" tanya Archie, tiba-tiba saja sudah merangkul Mark. "Kau sudah meminta maaf pada gadis itu?"

Mark melepaskan diri dari rangkulan Archie. "Jangan membicarakan soal itu."

"Gadis itu marah, ya?" Archie mengabaikan ucapan Mark. "Tenang saja. Menurut pengalamanku, gadis-gadis itu hanya akan marah beberapa hari pertama saja. Setelahnya mereka pasti akan meneleponmu karena merindukanmu. Kau hanya harus menunggu hingga mereka menelepon."

"Aku melakukan dosa besar yang tidak termaafkan, oke?" Mark berbicara sedikit keras. "Biarpun aku membawakan seisi toko ini, dia tetap tidak akan memaafkanku."

"Memangnya apa yang kaulakukan?"

Mark terdiam sejenak sebelum memilih alasan yang membuatnya terdengar paling jahat, "Aku berbohong dan berkhianat. Dia tidak lagi percaya padaku sekarang."

Archie ikut terdiam—tampaknya sedang mengasihani Mark. "Ah, memang sulit sekali meminta maaf jika kau melakukan itu. Kau harus belajar untuk menjaga rasa percaya itu, Mark. Sekalinya kau merusaknya, kau tidak akan pernah bisa kembali kepada gadis itu."

"Wah, aku baru tahu! Terima kasih atas peringatannya, Kawan."

Mark cepat-cepat melarikan diri dari Archie sebelum dia harus mendengar ucapan sok bijak Archie tentang wanita. Archie bersikap seolah-olah tahu segalanya berhubung dia sudah berpacaran dengan banyak gadis sebelumnya. Mark tidak peduli—toh ucapan Archie tidak membantunya memecahkan masalah sama sekali, jadi tidak ada gunanya mendengarkan dia. Archie tidak akan mengerti masalahnya.

Begitu jam kerjanya selesai, Mark cepat-cepat melarikan diri dari toko. Langit sudah mulai gelap—gurat-gurat oranye mulai mewarnai langit. Mark berjalan memunggungi matahari tanpa memiliki tujuan tertentu. Kepalanya mulai berat akibat memikirkan masalahnya saat ini. Udara malam yang agak dingin cukup mampu menyegarkan tubuhnya sedikit. Sepertinya dia butuh liburan.

Jika dipikir-pikir, masalahnya dimulai dari keputusannya sendiri, yang pada akhirnya tidak membawanya ke mana-mana. Dia tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Setiap langkah yang dia ambil justru menambah tanda tanya dan tidak menguranginya. Mark juga terlibat dalam urusan seorang gadis asing bernama Lilly, yang juga berakhir buruk dan berantakan sekali. Mark sangat menyesali keputusannya itu.

Langkah Mark lagi-lagi membawanya ke Caffeine Shop, tempat Eric bekerja. Mark memasuki kedai kopi ini. Terakhir kali dia mampir ke Caffeine Shop dan berbicara dengan Eric, Mark mendapatkan informasi penting yang membawanya pada Tony. Mungkin saja, hari ini nasibnya juga akan sebaik itu. Semoga saja justru lebih baik, dan Mark mendapatkan informasi penting yang akan membawanya lebih dekat dengan jawaban yang dia inginkan.

"Hei, Mark!" sapa Eric yang bertugas menerima pesanan. "Apa yang ingin kaupesan?"

"Iced latte saja, terima kasih," balas Mark. "Cup paling kecil saja."

Eric mengambil gelas plastik terkecil. "Oh ya, apa kau sibuk malam ini? Mungkin kau mau menemaniku minum malam ini. Shift-ku sebentar lagi selesai."

"Boleh. Kau bisa minum apa saja. Aku akan minum kopi ini."

Setelah menerima pesanan Mark, Eric digantikan oleh seorang pegawai lain. Mark dan Eric keluar bersama-sama dari Caffeine Shop dan berjalan tanpa berbicara untuk sesaat. Udara tidak lagi terasa menyegarkan—mungkin karena Mark sudah merasakan suasana kedai kopi yang lebih dingin. Ini adalah ketiga kalinya Mark menghabiskan waktu dengan Eric. Rasanya sedikit terlambat untuk dekat dengan Eric di saat Julia sudah tidak ada.

"Kau baru saja pulang kerja?" tanya Eric tiba-tiba. "Kau tercium seperti bunga."

"Pewangi ruangan tempatku bekerja memang kuat sekali," balas Mark. "Kenapa kau ingin minum malam ini?"

"Ingin saja."

Eric memasuki sebuah toko swalayan kecil dan membeli enam kaleng bir. Setelahnya, mereka membicarakan pekerjaan masing-masing selagi meneruskan perjalanan. Mark bisa melihat bagaimana Julia bisa jatuh cinta pada Eric—pria itu tenang, serius, dan selalu mendengarkan lawan bicaranya. Sifat Eric bertolak belakang sekali dengan sifat Bobby Powell. Pastilah karena itu Julia menyukai Eric.

"Aku beruntung karena tidak perlu bekerja larut hari ini," kata Eric selagi mencari kunci apartemennya. Dia membuka pintu dan mempersilakan Mark masuk duluan. "Beberapa hari lalu aku harus bekerja seharian penuh karena tidak ada—"

"Sayang!"

Seseorang memeluk Mark tiba-tiba, membuat Mark terhuyung mundur beberapa langkah—untungnya keseimbangan Mark cukup bagus sehingga dia tidak terjatuh. Gadis itu melepas Mark dengan cepat, sepertinya tahu kalau ada yang tidak beres. Gadis berambut merah itu tampak kebingungan. Siapa gadis ini? Mark sedikit yakin gadis ini bukan saudara Eric karena wajah mereka sama sekali tidak mirip.

"Siapa kau?" tanya gadis itu.

"Justru aku yang seharusnya bertanya," sahut Mark.

Eric sudah menyela sebelum Mark sempat melanjutkan pertanyaannya, "Kau tidak seharusnya ada di sini, Rosie. Apa yang kaulakukan?"

Eric mendorong gadis itu dan menutup pintu. Mark terdiam di depan apartemen Eric sambil memikirkan apa yang terjadi. Gadis itu—Rosie, sepertinya?—memang memeluknya tadi, tetapi dia pasti hendak memeluk pemilik apartemen, yaitu Eric. Rosie berseru, "Sayang!" selagi dia keluar. Rosie dan Eric tidak terlihat mirip. Apakah ini seperti yang Mark bayangkan, atau dia hanya mengada-ada?

"Maafkan aku," kata Eric saat keluar. Dia menutup pintu di belakangnya. "Sepertinya kita tidak bisa minum bersama malam ini karena—"

"Apa kau selingkuh?" potong Mark.

Eric tidak bisa menjawab. Walau Eric bungkam, perasaan bersalah yang terpancar dari matanya telah menjawab pertanyaan itu. "Maafkan aku."

Mark tertawa pahit. "Apa Julia tahu?"

Tanpa diduga, Eric mengangguk. "Sepertinya dia sudah curiga cukup lama. Dia menungguku di apartemen malam itu. Kami bertengkar. Setelahnya, Julia pergi, dan aku tidak melihatnya lagi sejak—"

Mark langsung menghajar Eric sebelum kalimatnya selesai. Mark memukul Eric berkali-kali hingga dilerai oleh seorang tetangga dan dua orang petugas keamanan, yang langsung mengusir Mark dari gedung apartemen ini. Mark tidak henti-hentinya mengutuki Eric, Rosie, Bobby, dan semua orang yang pernah melukainya.

Pertanyaannya terjawab sudah—Julia ada di pabrik meth itu karena Eric selingkuh. Julia sangat mengutuk perbuatan itu akibat perbuatan Bobby Powell dulu. Menerima kabar perselingkuhan Eric pastilah merupakan pukulan yang sangat berat bagi Julia. Sangat berat, bahkan, hingga dia memutuskan untuk mencari lagi kenyamanan dan kebahagiaan semu yang ditawarkan oleh narkoba.

Mark menendang sebuahtong sampah dan pergi dengan emosi membara. Tanpa pikir panjang, Mark memasukisebuah bar di dekat sana. Rasanya, seluruh dunia memusuhinya. Yang Markperlukan sekarang adalah melupakan semuanya.

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now