31: In Denial

6 2 0
                                    

Tadi pagi, selagi menunggu Thomas palsu datang, Lilly sempat memikirkan kemungkinan yang sebenarnya terjadi pada Thomas asli. Hanya ada dua kemungkinan yang paling masuk akal yang bisa Lilly pikirkan.

Pertama, kesimpulan Lilly salah, dan Thomas yang selama ini dia temui memang Thomas yang sebenarnya. Kemungkinan ini sepertinya masih masuk akal meski Lilly meragukannya. Warna rambut mungkin berubah, tetapi bentuk wajah tidak mungkin diubah banyak. Walaupun Mark dan Thomas memang mirip jika dilihat sekilas saja, Lilly tetap bisa membedakan mereka.

Kedua, Thomas sedang berada jauh dari Los Angeles dan tidak mengetahui kabar Lilly sama sekali. Kemungkinan ini juga masuk akal sampai titik tertentu. Clara, Mom, dan Dad tampaknya tidak pernah bertemu dengan Thomas dan tidak punya cara untuk berkomunikasi dengannya. Hanya Lilly yang tahu nomor Thomas yang asli—nomor itu sekarang hilang berhubung ponsel lama Lilly sudah tidak ada. Thomas mungkin saja tidak mengetahui bagaimana kondisi Lilly yang sebenarnya.

Namun, jika itu benar, kenapa Thomas tidak berusaha untuk mencari tahu? Sekarang sudah dua minggu setelah ledakan itu. Dua minggu tidak menemui atau mendengar kabar seseorang yang dekat dengannya seharusnya menjadi pertanda bahwa sesuatu yang salah terjadi. Thomas seharusnya sudah mencari tahu kabar Lilly, setidaknya dengan kembali ke Los Angeles dan mencari-cari Lilly.

Rupanya, ada kemungkinan ketiga yang sama sekali tidak Lilly pertimbangkan: bahwa Thomas sudah mati, dan karena itulah dia tidak mungkin menemui Lilly lagi.

Lilly masih berusaha memproses ucapan Mark barusan. Thomas sudah mati. Thomas sudah pergi untuk selama-lamanya. Kemungkinan inilah yang paling masuk akal dari semuanya. Kematian Thomas menjelaskan kenapa dia tidak bisa datang untuk menemui Lilly. Kematian Thomas memberi Mark ruang seluas-luasnya untuk masuk ke dalam kehidupan Lilly dan memanfaatkannya.

Lilly tidak suka kemungkinan ini. Bisakah kemungkinan pertama atau kedua saja yang terjadi? Kenapa Thomas harus mati?

"Aku minta maaf," kata Mark lirih. Kemarahan yang sedari tadi mengambang di ruangan kini lenyap, menyisakan rasa sesal dan pedih. "Aku benar-benar minta maaf."

Mark mendudukkan Lilly di sofa. Lilly belum memberikan respons apa-apa terhadap ucapan Mark. Bagaimana caranya merespons berita buruk seperti itu? Otak Lilly seakan membeku, tidak lagi memberikan perintah bagi tubuhnya untuk bergerak. Ataukah otaknya hanya sedang berusaha membendung air matanya? Menahan hatinya agar tidak hancur berantakan?

"Sejak kapan kau tahu?" tanya Lilly akhirnya, saat dia bisa menyuruh mulutnya berbicara. Entah kenapa justru pertanyaan itulah yang muncul pertama kali.

"Tiga hari yang lalu, kurasa," balas Mark. "Saat aku bertemu Tony. Dia bilang kematian Thomas adalah salahnya."

Tubuh Lilly mulai memberikan respons. Kepalanya sekarang pusing, dan hatinya sakit sekali. Dadanya terasa lebih sesak, dibandingkan saat pertama kali dia tahu bahwa dia kehilangan memorinya. Berita kematian Thomas seakan menyerukan bahwa masa-masa indah itu kini lenyap selamanya. Kebahagiaan itu kini sirna. Seberapa pun kerasnya usaha Lilly untuk mengingatnya, Thomas dan cerita yang dibuatnya hanya akan menjadi bagian dari masa lalunya.

"Tolong pergi. Aku ingin sendiri," perintah Lilly sebelum air matanya benar-benar jatuh. Dia tidak ingin menangis di depan Mark. "Dan tolong jangan kembali. Kau bukan siapa-siapa sebelum ini, dan kau tetap bukan siapa-siapa setelahnya."

Mark terpaku sejenak. Dia mengangguk kemudian. Mark hanyalah orang asing yang seharusnya tidak pernah punya peran apa-apa dalam hidup Lilly. Mark membereskan bunga yang tadi dilempar Lilly begitu saja dan meletakkannya di atas meja, juga mengambil bantal sofa yang tadi dilemparnya. Setelahnya, Mark keluar. Meninggalkan Lilly yang duduk sendirian di ruang tamu dengan hati yang mulai hancur dan air mata yang mulai mengalir.

"Lilly? Kau tidak apa-apa?"

Lilly menoleh, merasakan usapan tangan Clara di pundaknya. Entah sudah berapa lama Lilly menangis sambil berbaring di sofa dan memeluk bantal sofa. Begitu menyadari kehadiran Clara, Lilly duduk tegak dan langsung memeluk kakaknya itu. Air matanya, yang rasanya sudah habis dikeluarkan sedari tadi, kembali mengalir.

"Apa yang terjadi?" tanya Clara sembari mengelus-elus kepala Lilly. "Ada bunga lili di meja. Apakah tadi si Thomas palsu datang? Astaga, kenapa kau tidak panggil aku? Kalau aku ada di sini, pasti aku sudah akan menghajar pemuda itu hingga tidak berani lagi datang. Berani-beraninya dia membohongimu dan mengaku-aku sebagai Thomas! Pemuda seperti itu pasti sinting atau seorang psikopat."

Lilly mengangguk pelan. Dia ingin menjawab Clara, tetapi dia belum bisa berbicara. Fungsi tubuhnya seakan berkurang karena seluruh energinya habis dipakai menangis. Lilly masih menangisi satu kalimat itu hingga sesenggukan. Berita itu lebih menyedihkan dari sekadar kehilangan seseorang yang penting bagi Lilly—fakta bahwa Lilly sama sekali tidak mengingat Thomas turut meremukkan hatinya.

Setelah Lilly merasa tangisnya cukup mereda, dia melepaskan pelukannya. "Thomas sudah tidak ada, Clara," ucap Lilly lirih. "Thomas yang sebenarnya sudah mati."

Clara terpaku mendengar kalimat itu. "Apa?"

Lilly mengusap pipinya meski tidak terlalu berguna—pipinya tetap saja basah dan lengket. "Thomas sudah mati. Aku melupakan dia, dan sekarang dia sudah tidak ada lagi."

Fakta itu membuat hati Lilly remuk berkeping-keping. Ledakan itu menghapus memorinya akan Thomas, dan sekarang, Thomas tidak mungkin datang lagi untuk membentuk memori baru bersamanya. Kenapa takdir sejahat ini padanya? Thomas dibawanya pergi, dan memori tentang Thomas ikut dihapus nyaris tanpa sisa. Bagaimana mungkin hal itu diperbolehkan terjadi?

"Siapa yang memberitahumu itu?" tanya Clara, selagi menyerahkan sekotak tisu kepada Lilly.

"Si Thomas palsu. Namanya Mark."

Clara mendengus. "Kau tidak mungkin percaya padanya, kan? Pemuda itu pembohong."

"Untuk apa dia berbohong soal kematian Thomas? Kalau dia tidak tahu, dia harusnya hanya menjawab tidak tahu, bukan berbohong lagi." Lilly ikut mendengus supaya hidungnya tidak mampat lagi. "Lagipula, dia bilang dia tahu dari Tony, seorang temanku dan Thomas. Kurasa Tony tidak akan ikut berbohong juga."

"Entahlah, aku hanya tidak bisa percaya padanya." Clara mengedikkan bahu. "Apa dia tahu bagaimana Thomas meninggal?"

Lilly menggeleng. "Dia hanya bilang kalau Tony merasa bersalah. Kurasa Tony sempat terlibat masalah narkoba dulu. Mungkin saja...." Lilly terdiam sejenak, sedikit takut menyuarakan dugaannya. "Mungkinkah Thomas juga ada di rumah itu saat ledakan itu terjadi? Jika Tony merasa bersalah, kurasa ada kemungkinan bahwa dia tahu bagaimana Thomas meninggal.

Clara memikirkannya untuk sesaat. "Aku tidak tahu, tetapi kemungkinan itu ada. Bagaimana kalau besok kita menemui detektif yang menangani kasusmu? Mungkin kita bisa mengonfirmasinya. Seorang detektif tidak akan mungkin berbohong."

Lilly hanya mengangguk. "Itu ide bagus."

"Sekarang, apa kau ingin makan? Atau minum?" Clara beranjak dan berdiri. "Kau harus minum—energi dan cairan tubuhmu pasti habis karena kau habis menangis."

Lilly membiarkan Clara mengurusnya. Dia sudah tidak punya energi untuk melakukan apa-apa—lagipula, perasaannya belum membaik. Sebagian dari dirinya masih menolak untuk percaya. Thomas tidak mungkin sudah mati, kan? Tidak dengan cara ini. Lilly tidak mau itu. Lilly ingin Thomas masih hidup dan bisa datang menemuinya, berkata bahwa pemuda berengsek bernama Mark itu berbohong.

Hidup dalam penyangkalan rasanya lebih baik daripada menerima kenyataannya.

Lilly menghela napas.Semoga saja, Detektif Russell bisa memberikan jawaban yang dia butuhkan.

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now