37: Excruciating Pain

7 2 0
                                    

Lilly terdiam menatap Tony, yang sekarang sedang menelungkupkan wajah di atas meja dan menangis. Cerita Tony barusan menusuk Lilly tepat di hatinya, tetapi karena alasan yang tidak Lilly ketahui, dia tidak bisa menangis. Hati Lilly sepertinya sudah mati rasa, atau otaknya belum mau mengakui keberadaan rasa sakit itu.

Tony membenturkan kepalanya ke meja beberapa kali. "Ini semua salahku," gumamnya. "Ini salahku. Seharusnya aku yang mati hari itu."

"Apa yang terjadi setelahnya?" tanya Lilly, tidak memedulikan Tony.

Tony mengusap wajahnya dengan lengan bajunya. "Aku mengamankanmu saat Thomas mulai memukuli Aiden supaya yang lain tidak menyentuh atau melukaimu. Saat Aiden tidak sengaja menyenggol kompor yang menyala itu, aku langsung berlari ke arah jendela sambil menarikmu. Aku sempat melompat, makanya aku baik-baik saja. Kau mungkin tidak sempat lompat karena aku menyeretmu, jadi kau jatuh ke tanah dengan keras."

Cerita Tony menjelaskan kenapa kaki Lilly bisa patah dan otaknya gegar. Lilly menatap kakinya. Jika Lilly memutuskan untuk diam saja di luar, hasilnya pasti akan berbeda. Tidak, ini bukan salahnya, kan? Ini salah Tony karena sudah meminta Thomas datang. Kejadian ini salah para bedebah yang mengancam akan membunuh Tony jika dia tidak membayar utangnya. Semua ini bukan salah Lilly. Dia dan Thomas hanyalah korban yang tidak tahu apa-apa.

"Aku ingin menyelamatkanmu, tetapi para warga sudah berdatangan," lanjut Tony. "Aku takut mereka akan memukuliku, jadi aku kabur. Lagipula, polisi akan segera datang bersama petugas medis. Kau pasti akan diselamatkan oleh mereka."

"Kau tidak seharusnya memanggil kami ke sana," ujar Lilly. "Kau bisa minta kami mentransfer uang itu, atau mungkin kau bisa turun dan mengambilnya sendiri."

"Aiden tidak memperbolehkanku pergi. Dia tidak mau aku kabur." Tony memberanikan diri menatap Lilly, tetapi langsung memalingkan wajah saat melihat ekspresi Lilly. "Kau benar. Aku seharusnya melakukan itu semua."

Suara Lilly sedikit meninggi—jika dia tidak marah, dia akan menangis, dan Lilly tidak ingin menangis di sini. "Jika kau melakukan itu, Thomas pasti baik-baik saja! Dia akan tetap hidup. Dia bisa belajar dan meraih cita-citanya. Kau mengambil semua itu darinya."

"Kau kira aku tidak tahu itu?" balas Tony. "Setiap hari aku menyesali hari itu hingga rasanya ingin mati saja. Aku memang tidak pantas hidup—yang kulakukan hanyalah melukai orang-orang yang benar-benar tulus ingin menolongku. Orang seperti aku tidak layak hidup, kan? Kalau bisa, Lilly, aku akan menukar nyawaku dengan nyawa Thomas. Dia lebih layak mendapatkannya."

"Aku setuju." Lilly berdiri. Dia ingin pergi dari sini sebelum emosinya meledak. "Selamat tinggal, Tony. Semoga kita tidak perlu bertemu lagi setelah ini."

Tony tampak terkejut. Lilly sudah berbalik dan menjauh saat dia mendengar balasan Tony, "Ya, kurasa sebaiknya begitu."

Seorang petugas mengantarkan Lilly keluar. Mata Lilly sudah menggenang, dan rasanya air matanya akan jatuh kapan saja. Susah payah dia menjaga agar tidak menangis di depan petugas itu. Otaknya mulai menyadari keberadaan luka di hatinya. Dada Lilly mulai terasa sesak. Lilly ingin sekali bergelung, mengeluarkan semua kesedihan yang semakin lama semakin menumpuk di dalam dirinya.

Lilly masuk ke dalam mobil. Clara, yang sedari tadi menunggu Lilly di mobil, melepas headset-nya begitu Lilly masuk. Dia pasti sedang mendengarkan lagu Kacey Musgraves. Selera Clara tidak berubah sama sekali. Lilly mengambil tisu banyak-banyak dan mengusap matanya.

"Apa yang terjadi?" tanya Clara. "Kau baik-baik saja?"

Lilly menggeleng. "Aku dikelilingi pemuda-pemuda bajingan yang bisanya hanya menyakiti dan meninggalkanku."

Clara menarik Lilly ke dalam pelukannya. "Ah, Sayangku. Kebanyakan pemuda memang bajingan. Tenanglah, aku akan selalu ada di sini untukmu."

Pelukan Clara membuat pertahanan Lilly retak. Rasanya menyedihkan sekali; Lilly dikelilingi oleh dua pemuda yang hanya bisa mematahkan hatinya. Satu-satunya yang tidak melakukannya hanyalah Thomas, dan sekarang Thomas sudah tidak ada lagi untuk melindunginya. Seluruh dunia seakan sedang berdiri melawannya, memojokkannya, dan menghancurkannya.

"Tolong antar aku ke makam Thomas," kata Lilly seraya menarik diri. "Aku ingin cepat-cepat pergi dari sini. Aku tidak suka berada di penjara."

Clara mengangguk. Tidak sampai lima menit, mereka sudah keluar dari lapangan parkir dan melaju menuju tempat Thomas dimakamkan.

Lilly hanya memperhatikan jalan dengan tatapan kosong. Dia jadi bertanya-tanya apakah hidupnya akan membaik setelah ini. Bisakah Lilly percaya lagi? Dia memulai semua ini dengan mencoba memercayai seseorang yang tidak dia kenali sebelumnya. Mengenal Thomas adalah langkah pertama yang membawanya pada hari ini. Lilly tidak menyesal sedikit pun telah mengenal Thomas, tetapi jika akhirnya seperti ini, dia tidak tahu apakah dia sanggup membuka dirinya pada orang asing lagi.

"Clara, apa menurutmu mereka sengaja ingin menyakitiku?" Lilly memutuskan untuk bertanya.

Clara menggeleng. "Tidak juga. Namun, Lilly, terkadang itu terjadi. Kau bersumpah hanya menginginkan yang terbaik untuk seseorang, tetapi ada bagian dari dirimu yang melukai orang itu tanpa bisa kaucegah."

Apakah itu juga yang dipikirkan oleh Tony? Dia tampak sungguh-sungguh menyesal telah menyeret Thomas dan Lilly ke dalam masalahnya. Tony tidak mungkin tahu pertengkaran itu akan terjadi, tidak tahu api itu akan melahap apa pun yang mereka simpan di sana, dan tidak tahu ledakan itu akan menghancurkan segalanya. Itu artinya Tony tidak sengaja, kan?

Lilly menghela napas. Dia ingin sekali menimpakan seluruh kesalahan kepada Tony, tetapi sebagian kecil dirinya mulai menyalahkan dirinya sendiri.

Clara membantu Lilly berjalan ke makam Thomas. Setelahnya, Lilly meminta waktu sendiri. Buket bunga lili yang dia letakkan di sana beberapa hari lalu sudah tidak ada. Yang ada hanyalah gundukan tanah yang tampak menyedihkan sekali. Lilly terdiam, menatapnya kosong untuk sesaat.

Memori yang dia punya tentang Thomas mengalir memenuhi otaknya, menenggelamkannya dalam kenangan indah yang terasa pahit sekarang. Lilly teringat suasana perpustakaan yang sepi saat mereka bertemu. Suara Thomas ketika berbicara dengannya untuk pertama kalinya, menawarkan bantuan. Momen-momen Thomas duduk di hadapan Lilly untuk mengajarinya. Senyum Thomas dan bagaimana matanya berkilat waktu membicarakan topik yang paling dia sukai.

White Lilly. Buku oranye yang disembunyikan Thomas. Lilly membantunya di kebun belakang sekolah, mengatur bunga-bunga baru Mr. Johnson. Waktu yang mereka habiskan dengan membaca bersama di bangku di tengah kebun—Lilly membaca novel entah apa dan Thomas dengan buku oranyenya. Mata Thomas yang berkilat-kilat saat membicarakan tentang jurusan kuliahnya.

Juga, tentang sebuah janji yang dia mimpikan—janji bahwa Thomas tidak akan pernah meninggalkannya.

Lilly jatuh berlutut di sebelah makam Thomas. Air matanya kini mengalir deras tanpa bisa dibendung. Hati Lilly terasa begitu sakit, seakan-akan seseorang menusuknya dan membiarkannya mati kehabisan darah. Lilly menangis sampai napasnya pendek, sampai tubuhnya sakit dan kotor, sampai matanya berhenti memproduksi air mata. Dan bahkan setelahnya dia masih ingin mengeluarkan semua rasa sakit yang tersimpan di dalam dirinya.

Rupanya, menghapus memorinya adalah cara otaknya melindungi hatinya dari luka. Lilly bersikeras mengingat segalanya tanpa mengetahui bahwa terkadang, ingatan membawa serta pisau tajam yang mampu menggores dan melukai hatinya. Sekarang, Lilly sedang menerima konsekuensi dari memorinya.

Perlahan-lahan, Lillyberdiri dan berbalik. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mengubah semua yangterjadi. Sekarang, dia hanya bisa berusaha menerima kenyataan ini.

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now