18: Reading Nook

7 2 0
                                    

Awal November 2018

Sepulang sekolah, Lilly memutuskan untuk meminjam buku di perpustakaan. Dia ingin membaca buku Just One Day karya Gayle Forman. Dia sudah lama ingin meminjamnya, tetapi ada banyak sekali yang harus dia kerjakan sebulan terakhir, seperti tugas-tugas sekolah yang mulai menumpuk dan persiapan ujian SAT. Lilly sudah menyelesaikan ujiannya minggu lalu, jadi dia ingin melepaskan penat dengan meminjam buku.

Lilly merasa sudah melakukan persiapan dengan baik. Soal-soal SAT bisa dia kerjakan dengan lancar, walaupun ada beberapa soal yang tidak bisa dia kerjakan. Lilly tidak ingin berharap terlalu banyak dulu, tetapi dia yakin nilainya mampu membawanya ke Stanford University. Walaupun dia sudah cukup terbiasa menjalani tahun seniornya sendirian—terutama dengan kehadiran Thomas—dia masih ingin menyusul Clara.

Clara sepertinya menikmati kehidupannya sebagai mahasiswa. Dia seringkali tidak langsung membalas saat Lilly mengirimkan pesan kepadanya. Tugasnya banyak, Clara mengaku, dan dia bergabung ke sebuah organisasi kampus yang membuatnya sibuk mengurus berbagai acara. Lilly merasa mereka mulai menjauh, dan dia membencinya. Karena itu dia tetap ingin menyusul Clara ke Stanford supaya mereka bisa jadi dekat.

Apakah Lilly adik yang menyebalkan? Clara pasti ingin bisa menikmati waktunya tanpa diganggu dan diikuti oleh Lilly. Seharusnya Lilly belajar menjadi adik yang mandiri dan tidak bergantung pada kakaknya terus.

Ah, Lilly tidak mau memikirkannya sekarang. Dia ingin melepas penat, bukan menambahnya. Sambil mengusir pikirannya akan Clara, Lilly menyusuri buku-buku di lemari sambil membaca judulnya satu per satu. Rak fiksi sangat berantakan walaupun wanita berwajah masam yang menjadi pustakawan itu bilang semua judul ada di tempatnya yang sesuai. Butuh waktu lama sampai akhirnya dia menemukan buku yang dia cari di bagian bawah rak.

Dari celah antara buku dan lemari, Lilly bisa melihat Thomas duduk di lorong sebelah, sedang membaca sebuah buku bersampul oranye. Dia tersenyum dan menghampiri Thomas. Sudah beberapa minggu terakhir mereka selalu bertemu setidaknya seminggu sekali untuk belajar biologi—tepatnya, Thomas mengajari Lilly biologi—walaupun agenda itu sempat terhambat karena mereka harus belajar SAT. Sesekali mereka makan siang bersama di kafetaria. Sayang sekali mereka tidak mengambil kelas yang sama, jadi tidak bisa bertemu di ruang kelas.

"Hai, Thom," sapa Lilly sambil duduk di sebelah Thomas. "Buku apa yang sedang kaubaca?"

Thomas yang terkejut langsung menyembunyikan buku yang dia baca. "Eh, halo, White Lilly. Aku sedang, er, membaca buku yang—eh—bukan buku yang penting, kok."

"Kenapa kau malu seperti itu?" Lilly tertawa geli. "Aku tidak akan menghakimi atau mentertawakan selera bacaanmu. Aku janji."

"Well, sesungguhnya bukan sesuatu yang memalukan atau melanggar peraturan sekolah." Thomas mengelus bagian belakang lehernya. Dia mengeluarkan buku itu dan menyerahkannya kepada Lilly.

Lilly sering melihat buku We Should Hang Out Sometime karya Josh Sundquist itu. Dia pernah mengambilnya karena mengira buku itu berupa novel. Judulnya menarik, tetapi Lilly tidak terlalu suka membaca nonfiksi—satu-satunya nonfiksi yang dia baca adalah Chicken Soup for the Soul, karena membacanya terasa seperti membaca kumpulan cerita pendek. Entah apa yang membuat Thomas menyembunyikannya.

"Buku ini sepertinya bagus," kata Lilly, menyerahkannya lagi kepada Thomas. "Aku tidak tahu kenapa kau harus menyembunyikannya seperti itu."

"Aku hanya ingin tahu seperti apa isinya. Lumayan bagus dan lucu." Thomas mengembalikan buku itu ke lemari di belakangnya. "Aku lebih suka buku nonfiksi seperti Human Errors karya Nathan Lents. Aku baru saja menyelesaikannya musim panas lalu. Lents adalah profesor biologi dan dia menjelaskan banyak hal tentang tubuh manusia di buku itu dengan sangat baik."

"Sepertinya bukan buku untukku," Lilly meringis sambil mengangkat novel yang dia bawa. "Aku lebih suka novel roman picisan."

Thomas memikirkannya sejenak. "Tidak picisan kalau kau suka."

"Tetap picisan, tetapi aku suka. Semacam guilty pleasure, kau tahu. Seperti kau dan buku tadi."

"Aku tidak ingin membahasnya." Thomas berdiri, disusul oleh Lilly. "Kau mau membaca di perpustakaan?"

"Tidak juga. Aku ingin meminjamnya. Kenapa?"

"Aku hanya berpikir kalau mungkin kau, eh." Thomas terdiam sejenak. Dia memperhatikan Lilly lekat. "Maukah kau menemaniku? Mr. Johnson menyuruhku menyirami bunga-bunga barunya di kebun belakang. Aku malas ke sana sendirian. Pasti akan menyenangkan jika kau menemaniku."

Wajah Lilly memerah. Jika dia mengiyakan ajakan Thomas, inilah pertama kalinya mereka menghabiskan waktu bersama dan tidak memakainya untuk belajar atau makan. Hampir terasa seperti kencan. Lilly segera menghapus gagasan itu begitu muncul. Tidak, tidak mungkin kencan. Thomas tidak mungkin mengajaknya berkencan.

"Eh, ya, tentu saja," kata Lilly. "Aku akan menemanimu."

Thomas tersenyum. Mereka berjalan beriringan menuju meja tempat pustakawan berwajah masam itu duduk—Lilly harus meminjam buku dulu. Thomas sempat menghilang sejenak. Dia kembali dengan buku oranye yang dia baca tadi dan meminjamnya juga. Thomas menolak memberikan penjelasan saat Lilly menanyakan alasannya meminjam buku yang tadi dia sembunyikan.

"Guilty pleasure," balasnya singkat.

Lilly hanya menggelengkan kepala.

Setelah bekerja keras menyirami dan menata bunga-bunga baru Mr. Johnson—yang terdiri dari beberapa bunga daffodil kuning dan crocus ungu—Lilly dan Thomas beristirahat di bangku kayu yang ada di tengah kebun. Lilly tidak suka berkebun. Pada dasarnya, dia tidak suka aktivitas fisik yang terlalu berat. Namun, dia sangat menikmati waktu yang dia habiskan bersama Thomas.

"Kenapa kau yang mengurus bunga-bunga Mr. Johnson?" tanya Lilly. "Maksudku, apakah sekolah kita tidak punya tukang kebun?"

"Entahlah, aku juga tidak yakin." Thomas membuka botol air mineral yang baru saja dia beli dan menawarkannya kepada Lilly.

Lilly menolak tawaran Thomas. "Sepertinya kau cocok jadi florist. Atau tukang kebun yang menyamar sebagai ilmuwan dan menghabiskan seharian di kebun, meneliti tanaman."

"Begitukah?" Thomas menenggak minumnya hingga habis. "Aku lebih ingin menyelam setiap hari dan memelihara ikan-ikan di lautan, tetapi kurasa menjadi tukang kebun tidaklah buruk."

"Kau bisa jadi keduanya. Penjaga lautan dan tukang kebun."

"Penjaga lautan dan tukang kebun?" Thomas merenungkannya untuk sesaat. "Aku suka itu."

Lilly memperhatikan Thomas dari samping. Pemuda itu tampak sedang menerawang. Lilly bisa membayangkan Thomas, sedikit lebih dewasa dan lebih gelap karena menyelam setiap hari. Dia akan membicarakan tentang hewan-hewan laut yang hampir punah. Terumbu karang yang perlu diperbaiki dan dibangun. Lebah-lebah yang harus dijaga agar tidak punah. Segala hal dari satwa laut hingga bunga-bunga berwarna-warni.

"Apa rencanamu sekarang?" tanya Thomas. "Kau akan pulang?"

Lilly ingin menjawab kalau dia belum ingin berpisah dengan Thomas, tetapi dia tidak mengucapkannya. "Entahlah. Aku tidak ingin pulang sekarang. Tidak ada tugas yang harus kukerjakan juga."

"Hmm, ada sesuatu yang bisa kita lakukan di sini." Thomas mengambil tasnya dan mengeluarkan buku yang dia pinjam dari perpustakaan. "Aku yakin kau belum pernah membaca di tengah kebun."

"Kamar masih menjadi tempat terbaik untuk membaca," balas Lilly. Dia turut mengeluarkan bukunya. "Apakah menyenangkan?"

"Tempat terbaik membaca sepanjang masa." Thomas tersenyum. "Selamat membaca, White Lilly."

Lilly harus mengakuibahwa siang itu, dia mendapatkan pengalaman membaca terbaik. Dia sangat yakinsemua itu berkat kehadiran Thomas, yang turut membaca buku oranye itu disebelahnya.

Reminiscing Thomasजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें