21: Asking Questions

8 3 0
                                    

Mark melamun. Matanya melihat ke arah jalan dan orang-orang yang berlalu lalang di jalan di hadapannya, tetapi pikirannya tidak ada di sana. Pikirannya masih dipenuhi dengan ciuman yang diberikan Lilly. Ciuman itu begitu singkat, tetapi Mark tidak bisa berhenti memikirkannya.

Sial, kenapa Mark tidak bisa melupakan ciuman itu?

Ciuman itu bukan pertama kalinya Mark mencium—atau dicium—seorang gadis. Dia melakukannya pertama kali dengan pacarnya saat tahun freshman, Brittany Carlisle. Brie adalah pencium yang lumayan handal. Mereka berciuman tiga kali selama mereka berpacaran yang hanya berjalan selama enam bulan. Hubungan itu berakhir buruk dan berantakan sekali. Sampai sekarang Mark tidak berniat mencari tahu bagaimana kehidupan Brie.

Setelahnya, Mark tidak ingin berpacaran. Menyaksikan dua hubungan sekaligus hancur dengan begitu buruk meninggalkan luka di hatinya. Dia tidak mau disakiti dan menyakiti orang yang dia sayangi lagi. Mark tidak mau ditinggalkan oleh orang-orang yang ingin dia pertahankan dalam hidupnya. Satu-satunya cara yang bisa dia lakukan untuk memastikannya adalah dengan mengusir siapa pun yang berniat tinggal.

Mungkin itulah kenapa Mark ingin mencari siapa yang bertanggung jawab membawa Julia ke pabrik meth itu. Gara-gara orang itu, Julia pergi. Mark ingin membuat orang itu menderita.

"Hei, Mark, kenapa kau tidak membereskan bunga-bunga itu?" tanya Archie, membuyarkan lamunan Mark.

Mark tersentak. Ditatapnya bunga-bunga mawar yang tidak dipakai untuk merangkai buket pesanan pelanggan. Mrs. Hughes menyuruhnya membereskannya, tetapi Mark malah memikirkan Lilly. Dia menggelengkan kepalanya dan kembali melakukan pekerjaannya.

Archie adalah satu-satunya orang yang berhasil menembus dinding Mark karena sifatnya yang santai dan keras kepala. Archie bersikeras ingin berteman dengan Mark, dan Mark tidak bisa menolaknya. Dalam hatinya, dia tahu dia sesungguhnya kesepian. Memiliki Archie sebagai temannya adalah langkah pertamanya dalam mencoba menyembuhkan luka di hatinya—dan sejauh ini, baru sejauh itulah dia melangkah.

Sekarang Mark jadi bertanya-tanya apakah Lilly pun telah menembus pertahanannya tanpa dia sadari.

"Apa kau sedang memikirkan gadis itu?" Archie menyenggolnya. "Aku ingin menemuinya. Dia pasti gadis yang luar biasa jika kau sampai membelikannya bunga dua kali."

"Bukan urusanmu," balas Mark. "Kau mungkin lupa, tetapi kakakku baru saja meninggal. Menurutmu aku sempat memikirkan hal-hal tidak jelas seperti itu?"

Archie tampaknya merasa tidak enak telah mengungkitnya. Dia tidak membahasnya lagi dan bergegas pergi menyambut seorang pelanggan yang baru datang. Mark cepat-cepat membereskan bunga-bunga mawar itu sebelum Archie mengganggunya lagi dan sebelum Mrs. Hughes memarahinya karena malas bekerja.

Seorang pelanggan datang dan meminta Mark merangkaikan bunga lili putih. "Itu bunga yang disukai kekasihku," kata pria itu sambil tersenyum gugup. "Aku hendak melamarnya malam ini."

Mark tersenyum tipis, lalu membantunya memilih bunga-bunga lili terbaik. Mark mengabaikan pikirannya, yang lagi-lagi memutar adegan ciumannya tadi pagi.

Bekerja di toko bunga merupakan pekerjaan yang cukup mudah. Yang perlu Mark lakukan hanyalah mengatur bunga-bunga sebelum toko buka dan membuat karangan bunga—yang ini cukup sulit, tetapi Mrs. Hughes melatihnya selama tiga bulan sebelum memperbolehkan Mark membuat karangan bunga sendiri. Sebagian besar pelanggan membeli buket bunga untuk alasan yang sama dengan pria itu.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa bunga adalah cara romantis untuk menunjukkan rasa sayang. Tidak heran Archie menggodanya terus-terusan karena dua buket bunga lili itu. Mark selalu berkilah kalau alasannya membelikan bunga untuk Lilly adalah untuk mempermanis perannya sebagai Thomas dan bukan untuk alasan lain. Lagipula, Mark masih ada dalam masa berkabung. Rasanya tidak tepat memikirkan soal ini secepat ini. Namun, sampai kapan Mark bisa mengabaikan apa yang mulai dia rasakan di dalam hatinya?

Semua ini gara-gara ciuman sialan itu.

Setelah pekerjaannya selesai, alih-alih pulang atau kembali ke rumah Lilly seperti yang selalu dia lakukan beberapa hari terakhir, Mark memutuskan untuk berjalan-jalan. Ada terlalu banyak hal yang terjadi dalam hidupnya saat ini. Mark butuh melepas penat.

Mark melangkah masuk ke sebuah kedai kopi bernama Caffeine Shop. Suhu sore ini tidak terlalu panas, tetapi setelah berjalan jauh, tenggorokannya terasa kering. Bau kopi yang bersirkulasi di seluruh ruangan memenuhi hidungnya.

Saat mengantri, Mark bisa melihat seorang barista yang sedang memanggil nama seorang pelanggan. Barista itu tampak familier. Butuh sesaat sebelum Mark menyadari bahwa barista itu adalah Eric Myers, pacar Julia. Seberapa besar kemungkinan Mark mampir ke kedai kopi tempat pacar Julia bekerja saat sedang berjalan tanpa tujuan? Tidak besar, tetapi mungkin ini berarti Mark harus berbicara dengan Eric.

"Hai, Eric," sapa Mark setelah dia memesan iced latte. "Apa kau punya waktu? Aku ingin berbicara denganmu."

Eric tampak terkejut melihat Mark. "Oh, hai, Mark. Uh, ya, kurasa aku bisa menemuimu sebentar lagi. Duduklah dulu."

Mark memilih meja di pojok. Eric membuat pesanan dan memanggil pelanggan yang datang sebelum Mark terlebih dahulu. Selagi bekerja, Eric tampak tersenyum lebar. Namun, saat dia membawakan pesanan Mark dan duduk di hadapannya, Eric menghela napas. Wajahnya tampak lelah. Sebagai sesama pegawai yang melayani publik, Mark paham apa yang dirasakan Eric saat ini. Mereka berkewajiban untuk terus tersenyum meski kondisi emosional mereka sedang tidak baik-baik saja.

"Aku bisa berbicara denganmu selama kira-kira sepuluh menit. Aku harus kembali bekerja setelahnya," kata Eric. "Nah, apa yang ingin kaubicarakan?"

"Kurasa sebaiknya aku langsung saja." Mark terdiam sejenak, mencari cara yang tepat untuk merangkai pertanyaan yang dia punya. "Apa kau tahu bagaimana perasaan Julia beberapa hari sebelum hari itu?"

Wajah Eric menjadi suram. Eric memang tidak tahu alasan persis Julia kembali di tempat yang sudah dia tinggalkan dengan susah payah, tetapi Eric mungkin tahu apa yang memicunya. Mark berharap bisa mendapatkan petunjuk meski tidak banyak.

"Aku tidak yakin kenapa," ujar Eric setelah berpikir untuk beberapa saat. "Julia memang tampaknya sedang jengkel. Aku sempat bertemu dengannya pagi itu saat dia mampir ke sini. Ekspresinya kusut sekali, tetapi dia tidak mau menceritakan apa-apa padaku."

"Begitu rupanya." Mark merenungi jawaban Eric. Apa yang mungkin menyebabkan Julia kesal? Seingat Mark, tidak ada masalah di rumah saat itu—dia bahkan sudah tidak ingat lagi apa yang terjadi waktu itu. "Apa mungkin masalah di pekerjaannya?"

Eric mengedikkan bahu. "Mungkin saja. Aku menebak kekesalahnya itu masih berkaitan dengan telepon yang dia terima semalam sebelumnya. Ada seseorang yang ingin meminjam uang padanya. Orang itu terdengar putus asa sekali, tetapi Julia tidak bersedia memberikan apa-apa."

"Aku baru tahu itu. Apa kau tahu siapa yang meneleponnya?"

"Sepertinya namanya Tony. Kurasa dia masih sekolah karena Julia menceramahinya untuk segera memperbaiki hidupnya supaya dia bisa tetap kuliah. Sebenarnya aku sedikit kasihan padanya. Dia takut dibunuh temannya karena utang itu. Padahal mereka masih sama-sama bersekolah."

"Sampai mengancam akan membunuh karena utang?"

"Kata Julia, Aiden—yang mengancam akan membunuh Tony—memang menakutkan." Eric mengecek jam tangannya. "Aku harus kembali bekerja. Selamat menikmati kopimu."

Mendengar nama Aiden disebut, Mark teringat nama yang disebutkan Lilly. Aiden Lewis atau Larson. Mereka mungkin saja orang yang sama. Bukan hal yang aneh, berhubung dia juga menjadi korban ledakan. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah Tony masih hidup, atau sudah mati juga dalam ledakan itu?

Mark terdiam lama,berusaha menentukan apa yang harus dia lakukan.

Reminiscing ThomasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang