25: Lifeless Clue

6 3 0
                                    

Mark melangkah cepat meninggalkan Flo's Bouquet. Hari ini, dia meminta cuti setengah hari kepada Mrs. Hughes untuk "mengurus masalah pribadi." Untung saja Mrs. Hughes mengizinkannya. Menurutnya, hari ini masih termasuk dalam minggu berkabung. Mark bahkan baru ingat kalau hari ini tepat seminggu setelah kepergian Julia.

Selagi menunggu bus, Mark mengecek lagi artikel berita yang dia temukan tadi pagi. Lilly masih tidak tahu informasi penting mengenai Tony, jadi Mark mencari-cari tentang pemuda itu di internet. Awalnya dia berharap bisa menemukan informasi seperti itu di situs sekolah Lilly, Golden Oak Private School, tetapi dia justru menemukan lingkungan tempat tinggal Tony dari sebuah artikel berita penangkapannya setahun lalu.

Anthony "Tony" Sanders, menurut artikel itu, ditangkap atas kepemilikan dan pendistribusian narkoba. Dia sedang menggunakan obat entah jenis apa saat polisi menggerebek rumahnya. Tony Sanders ditangkap bersama dua orang temannya, Aiden Lewis dan Georgia Brooks, dan sempat ditahan di pusat penahanan remaja. Nama Aiden Lewis yang turut disebut di artikel tersebut semakin membuat Mark yakin Tony Sanders inilah orang yang dia cari.

Sebuah bus tiba, dan Mark menaikinya.

Sedikit banyak, artikel tadi mengingatkan Mark akan Julia. Julia pernah ditangkap atas tuduhan yang sama tiga tahun yang lalu. Tahun itu adalah titik terendah dalam hidup Julia: dia tidak kuliah, sering melarikan diri dari rumah, sering mencuri uang Mom, dan selalu terlihat berada dalam pengaruh obat-obatan. Mark menolak untuk berbicara dengan Julia waktu itu. Mark tidak peduli jika pertemuan berikutnya dengan Julia adalah di dalam peti matinya. Selama Julia belum mau mengubah hidupnya, Mark tidak akan berbicara dengannya.

Di sinilah Mark, tiga tahun kemudian, berusaha mencari tahu siapa yang menyebabkan Julia mati. Hidup berjalan ke arah yang tidak dia sukai.

Daripada bersedih, Mark memilih untuk membuka ponselnya saja. Dia baru saja memasang aplikasi Instagram lagi setelah sekian lama gara-gara ucapan Lilly kemarin. Mark lebih suka menggunakan Twitter dibanding Instagram karena dia tidak bisa menunjukkan hidupnya yang bahagia. Di Instagram, hidup tampak indah. Wajah-wajah cantik, barang-barang baru, pacar-pacar keren, dan aktivitas sosial yang membahagiakan. Mark tidak punya semua itu. Yang dia punya adalah hidupnya yang menyedihkan dan ketidakmampuannya memperbaiki masalahnya.

Oke, Mark tidak berniat bersedih hanya karena satu aplikasi sialan ini. Dia memutuskan untuk menyimpan saja ponselnya.

Bus ini tiba di tujuan kira-kira seperempat jam kemudian. Lingkungan ini bukan kawasan tempat tinggal yang bagus meski tidak terlalu kumuh juga. Rumah-rumah di sini kecil dan berdempetan. Tidak ada anak-anak yang bermain di halaman rumah—istilah ini terlalu mewah, berhubung "halaman rumah" yang mereka punya hanyalah sebuah beranda kecil dan tanaman kering di dekat undak-undakan pendek. Area ini mengingatkan Mark pada tempat tinggalnya sendiri.

Mark mendekati seorang wanita tua yang sedang duduk di kursi goyang di beranda rumahnya. Wanita itu menunjukkan rumah Tony Sanders sambil menggerutu. Tampaknya wanita itu pernah melihat semua gosip yang ada di lingkungan ini dengan mata kepalanya sendiri.

"Anak itu nakal sekali," kata wanita tua itu. "Setiap kali melihatnya, aku merasa ketakutan. Helena memang tabah sekali, mau mengurus anak nakal itu sendirian. Jika dia cucuku, aku pasti akan mengurungnya di dalam rumah."

Dengan susah payah Mark membebaskan diri dari ocehan wanita tua itu—kasihan, dia pasti kesepian, dan satu-satunya kesempatan bersosialisasi adalah berbicara dengan orang asing yang kebetulan lewat. Mark berjalan menuju rumah Tony, yang berada persis di pinggir sebuah jalan setapak kecil. Dia mengetuk pintu, berharap ada seseorang di rumah.

Mark menunggu cukup lama. Saat hendak mengintip melalui jendela, Mark menyadari seseorang sedang memperhatikannya dari dalam.

"Apa kau sendirian?" tanya sebuah suara dari dalam.

"Ya," sahut Mark. "Tony Sanders? Aku harus berbicara denganmu. Aku... eh, aku teman dari temanmu."

"Siapa?"

Mark menimbang-nimbang apakah dia harus menyebutkan nama Julia atau Lilly. Dia memilih yang kedua. "Liliana Hayes. Kalian bersekolah di tempat yang sama."

Perlahan-lahan pintu dibuka. Tony menyuruh Mark cepat-cepat masuk sambil mengecek kondisi sekitar. Begitu Mark ada di dalam, Tony langsung mengunci pintu dan memberendelnya. Mark tidak yakin apa yang membuat Tony sedemikian takut, tetapi dia diam saja. Masalah Tony sekarang bukanlah masalahnya. Mark hanya butuh mencari tahu tentang Julia.

"Siapa kau, dan bagaimana kau bisa mengenal Lilly?" tanya Tony kemudian. "Aku tidak ingat pernah melihatmu di sekolah."

"Namaku Mark Powell. Aku memang tidak bersekolah di Golden Oak. Tentang aku dan Lilly, ceritanya panjang dan tidak masuk akal. Kau tidak akan percaya."

"Coba saja."

Mark terdiam. Bagaimana dia harus bercerita tentang pertemuannya dengan Lilly? "Singkatnya, aku bertemu dengannya di rumah sakit. Dia salah mengenaliku sebagai seseorang, dan... eh, aku berpura-pura menjadi orang itu. Aku tahu ini aneh, tetapi aku perlu melakukannya."

Tony berjalan ke dalam dan kembali dengan dua kaleng bir. Dia menawarkan salah satunya kepada Mark, yang ditolak dengan sopan. Mark baru menyadari bahwa ruang tamu Tony berantakan sekali—sebuah kaleng bir menonjol dari bawah sofa, dan terdapat dua kaleng lagi serta beberapa bungkus makanan ringan di bawah meja. Sebuah mangkok kotor dibiarkan begitu saja di atas meja. Sebuah kursi kecil digunakan untuk menumpuk baju-baju kotor.

"Itu memang gila," kata Tony selagi membuka salah satu kaleng bir yang dia bawa. "Apa dia yang menyuruhmu datang?"

Mark menggeleng. "Lilly tidak tahu aku ada di sini. Aku datang ke sini karena ingin mencari informasi mengenai kakakku, Julia. Julia Powell. Menurut pacarnya, kau kenal dia."

"Julia?" Tony mengernyit. "Ya, aku kenal dia, tetapi aku sudah tidak pernah bertemu dengannya akhir-akhir ini. Dia kan, sudah tidak memakai narkoba lagi."

"Kau tahu ledakan pabrik meth yang terjadi hampir dua minggu yang lalu itu? Julia menjadi korban ledakan itu. Aku ingin tahu kenapa dia ada di sana. Apa kau tahu sesuatu?"

Ekspresi Tony mengeras. Dia melirik ke arah pintu. "Siapa kau? Apa kau polisi?"

"Sungguh, aku bukan polisi," balas Mark. Kenapa Tony jadi gelisah? Apakah dia sedang bersembunyi dari polisi? "Aku tidak akan mengadukanmu pada siapa-siapa, oke? Aku hanya butuh informasi tentang Julia, itu saja. Aku bersumpah."

Tony memutuskan untuk menggeledah Mark. Sepertinya dugaan Mark benar. Tony sedang bersembunyi dari polisi, karena itu dia mencurigai Mark sebagai polisi yang menyamar. Namun, jika itu benar, Tony seharusnya tidak bersembunyi di rumahnya sendiri. Polisi akan langsung mendatangi rumahnya kalau mereka hendak mencari dan menangkap Tony.

"Aku akan memberimu informasi jika kau setuju memberikan informasi tentang Lilly, oke?" ujar Tony kemudian. Setelah Mark mengangguk, Tony bertanya, "Apa kabar Lilly? Apa dia baik-baik saja?"

"Dia mengalami amnesia dan kakinya patah, tetapi dia sedang dalam masa pemulihan. Dia akan baik-baik saja. Giliranku. Apa kau tahu kenapa Julia pergi ke pabrik meth itu saat terjadi ledakan? Kau sendiri yang bilang dia sudah tidak memakai narkoba lagi."

"Aku bahkan tidak tahu dia ada di sana. Jika dia sampai datang ke sana lagi, pasti dia sedang ada masalah." Tony mengedikkan bahu. "Kau bilang Lilly salah mengenalimu sebagai seseorang. Memangnya dia mengenalimu sebagai siapa?"

"Thomas. Lilly bilang kalian bertiga berteman. Apa kau kenal dia? Di mana dia sekarang?"

Kaleng bir yang dipegang Tony jatuh begitu saja. Wajah Tony memucat. Lama sekali dia menatap Mark tanpa mengucapkan apa-apa. Mark jadi yakin Tony tahu lebih banyak dari yang dia ungkapkan—mungkin saja Tony ada di tempat kejadian waktu itu. Tunggu. Jika itu benar, Tony seharusnya tahu kenapa Lilly bisa ada di pabrik meth itu saat ledakan terjadi.

"Tony, apa kau tahu sesuatu?" tanya Mark. "Kau pasti tahu sesuatu tentang Lilly dan Thomas, kan?"

Tubuh Tony bergetar, dan dia menjambak rambutnya. "Ini semua salahku," ujarnya kepada dirinya sendiri. "Thomas sudah mati dan Lilly melupakan semuanya. Ini semua salahku."

"Apa?"

Tony buru-buru mengusir Mark, lalu membanting pintu. Mark terdiam di beranda rumah Tony selagi ucapan Tony meresap ke dalam pikirannya.

Thomas sudah mati.

Apa yang harus Marklakukan sekarang?

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now