4: Back To School

21 5 2
                                    

Seingat Lilly, dia belum pernah menginjakkan kaki di bandara. Tidak pernah ada keadaan yang mengharuskan mereka naik pesawat sebelumnya. Jika mereka ingin liburan pun, Dad lebih suka menyetir ke tempat tujuan walaupun perjalanan bisa memakan waktu seharian.

Hari ini, Clara akan berangkat ke Stanford menggunakan pesawat. Dad tidak mengizinkannya membawa Carberry. Keputusan tepat, karena mobil itu terlalu tua untuk melakukan perjalanan sejauh tiga ratus mil. Lagipula, dengan cuaca seperti sekarang ini, Clara sudah pasti akan terpanggang sebelum dia bisa meninggalkan Los Angeles. Meski begitu, Dad berjanji akan mengusahakan Carberry untuk bisa tiba di Stanford.

Sepanjang pagi, Lilly merasa perutnya melilit. Jika bisa, dia ingin menahan Clara lebih lama. Lilly belum bisa merelakan Clara sedikit pun. Dia sudah berusaha keras—berulang kali dia mengusir setiap pemikiran egoisnya, memberi tahu dirinya sendiri bahwa inilah yang Clara inginkan dan butuhkan untuk mengejar masa depannya. Lilly tidak boleh menjadi batu sandungan. Karena itulah, dia tidak mengucapkan apa-apa sejak berangkat hingga tiba di bandara. Jika dia bersuara, tidak akan ada kata-kata positif yang keluar dari mulutnya.

"Kau diam saja dari tadi," ujar Clara sambil menyenggol Lilly. "Kau pasti gugup. Kau masuk besok Senin, kan?"

"Kenapa libur musim panas cepat sekali berakhir?" keluh Lilly. "Aku ingin mengundurnya kalau bisa. Seminggu lagi saja."

"Lebih baik kau menghadapi masalahmu sesegera mungkin. Tidak baik menghindari masalah."

"Clara, kumohon, kau harus memanfaatkan keahlianmu itu untuk membuat kalimat-kalimat di dalam fortune cookies sialan itu. Kau hebat sekali memberikan petuah."

"Apa aku perlu memberimu satu petuah baru setiap pagi?"

"Oh, God, please don't."

Clara hanya tertawa. Lilly memperhatikan Clara baik-baik supaya dia bisa merekam sebanyak mungkin memori hari ini.

Clara mengenakan cardigan krem dan sepatu sneakers yang dia beli kemarin. Rambutnya yang tidak terlalu panjang itu diikat setinggi mungkin, tetapi sebagian rambutnya berhasil membebaskan diri, menghasilkan gaya messy bun yang enak dipandang. Riasannya tipis. Barang bawaannya meliputi dua koper, satu ransel yang tampaknya diisi penuh, dan satu tas tangan kecil.

Lilly berusaha mencatat seluruh detail itu sebaik mungkin.

"Omong-omong," katanya kemudian, "tolong hubungi aku begitu kau tiba di student housing. Aku ingin tur seisi rumah."

"Oh, jeez, oke. Setidaknya biarkan aku beristirahat sebentar."

Lilly tersenyum, lalu memeluk Clara. "Aku akan merindukanmu."

"Aku juga." Clara balas merangkul Lilly.

Setelahnya, Clara memasuki pintu keberangkatan. Sambil memeluk Mom, Lilly melambaikan tangan. Semoga saja, tahun seniornya akan berjalan dengan cepat, supaya dia bisa segera bertemu dengan Clara lagi. Mungkin akan menyenangkan kalau dia bisa tidur saja, dan tiba-tiba terbangun di masa depan.

Lilly menggeleng pelan. Mimpinya terlalu mustahil.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas saat Lilly mempersiapkan semua hal yang dia butuhkan untuk sekolah besok. Dia menundanya dari tadi dengan menonton Netflix, tetapi dia tetap harus membereskan semuanya sebelum tidur. Sepertinya barang bawaannya tidak akan terlalu banyak. Dia berencana membawa minimal satu buku catatan, berhubung belum ada jadwal yang jelas.

Matanya melirik buku catatan biologinya yang terselip di antara buku-buku catatannya semester kemarin. Lilly tidak menanti-nantikan biologi. Mr. Johnson memberinya nilai yang terlalu jelek semester kemarin, padahal Lilly sudah mengerjakan semua tugas darinya sebaik mungkin. Pada dasarnya Lilly memang tidak jago menghafal. Namun, Mr. Johnson tidak seharusnya menggagalkannya. Akibat nilai itu, nilai keseluruhan Lilly jadi berkurang banyak.

Lilly sudah bertekad akan belajar keras di tahun seniornya. Dia ingin memperbaiki nilai biologinya supaya cukup bagus untuk syarat kelulusan, lalu belajar keras untuk mengikuti ujian SAT. Lilly ingin sekali bisa diterima di Stanford. Agak lucu, karena Lilly ingin mempelajari ekonomi saat kuliah, bukan biologi. Semua ini gara-gara peraturan sekolah sialan itu, yang mengharuskannya mendapat nilai minimal B untuk lulus sebuah mata pelajaran.

"Lilly, kenapa kau belum tidur?"

Lilly menoleh, melihat Mom melongok dari lorong. Mom tersenyum, lalu masuk ke dalam kamar Lilly.

"Sebentar lagi, Mom," balas Lilly. "Aku harus membereskan barang-barangku."

"Jangan lama-lama, ya. Kau harus tidur." Mom menepuk puncak kepala Lilly. "Omong-omong, apa kau sudah siap masuk besok?"

Jika harus menjawab dengan jujur, Lilly akan bilang dia tidak siap. Dia tidak siap masuk tahun senior secepat ini. Dia tidak siap menghadapi sekolah tanpa Clara. Dia belum ingin belajar keras. Waktu terasa berjalan terlalu cepat, sementara Lilly bergerak begitu lambat. Meski begitu, dia tidak akan bisa menjawab sejujur itu. Lilly tidak mau membuat Mom kecewa.

"Siap tidak siap, aku harus masuk, kan?" jawab Lilly akhirnya. "Mau tidak mau, aku harus siap."

"Tidak akan seburuk itu," kata Mom. "Apa yang ingin kau makan untuk sarapan besok?"

"French toast saja, seperti biasanya." Lilly tersenyum sendiri mengingat tradisi itu. Sarapan di hari pertama masuk sekolah selalu french toast. Dia tidak yakin bagaimana tradisi itu dimulai, tetapi dia tidak keberatan meneruskannya. "Thanks, Mom."

"Baiklah," balas Mom, mencium kepala Lilly. "Selamat beristirahat."

Begitu Mom menghilang dari pandangan, Lilly menghela napas. Dia lanjut membereskan barang-barangnya sebelum naik ke tempat tidur.

Besok, tahun senior akan resmi dimulai. Lilly membuat catatan mental berisi tujuan-tujuan yang harus dicapai tahun ini. Satu, memperbaiki nilai supaya bisa diterima di Stanford. Dua, mencoba mencari teman. Kalau gagal, maka poin ketiga, bertahan sendirian melewati tahun senior.

Belum apa-apa, Lilly sudah merasa lelah. Bisa tidak, dia tidur sampai tahun depan? Dia ingin bangun pada saat dia sudah lulus dan sudah diterima di Stanford University. Harapan yang tolol dan tidak akan terjadi, tetapi rasanya pasti menyenangkan jika itu sungguhan terjadi.

Sambil menarikselimutnya, Lilly menaikkan sebuah harapan. Semoga, apa pun yang terjadi, diabisa melewati tahun senior dengan baik.


SAT = Scholastic Assessment Test, yaitu ujian masuk yang dipakai oleh kebanyakan universitas di Amerika Serikat untuk membuat keputusan.

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now