5: Hospital Room

17 6 1
                                    

Saat Lilly mulai terbangun, dia menyadari dua hal: kepalanya terasa seperti dipukul-pukul, dan kakinya sakit jika digerakkan. Astaga, berapa lama dia tidur? Kenapa badannya sakit semua?

Perlahan-lahan dibukanya mata. Kamarnya begitu terang, membuatnya mengerjap-ngerjapkan mata berulang kali. Ketika matanya sudah terbiasa, barulah Lilly menyadari banyak keanehan. Pertama, ini bukan kamarnya—ruangan ini terlihat asing dan sedikit dingin. Kedua, selimutnya berwarna cokelat, padahal seharusnya putih bercorak bunga. Ketiga, ada selang ditusukkan di punggung tangan kirinya. Hal kedua dan ketiga membawanya kepada nomor empat: kaki kanannya yang tidak diselimuti tampak berwarna putih, yang beberapa saat kemudian disadarinya berupa gips.

"Lilly? Lilly? Kau bisa mendengarku?"

Seruan Mom mengalihkan perhatiannya dari seluruh keanehan ini. Lilly menoleh—dia merasa pusing saat dia menggerakkan kepalanya. Mom mengelus rambutnya pelan sambil terisak. Lilly sedikit yakin alasan Mom menangis adalah dirinya. Kepalanya sakit, kakinya diperban, dan dia terbangun di sebuah ruangan yang sepertinya merupakan kamar rumah sakit.

Satu pertanyaan memenuhi kepala Lilly. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Bagaimana dia bisa berada di rumah sakit?

"Apa kau baik-baik saja? Apa kau perlu minum?" Mom segera beranjak. "Aku akan memanggil ayahmu sesegera mungkin. Dokter juga. Kau harus segera diperiksa."

Mulut Lilly memang terasa masam sekali, tetapi bukan itu permasalahan terbesarnya sekarang. "Mom, apa yang terjadi?" tanya Lilly. "Bisakah kau menjelaskannya padaku?"

Mom kembali dengan sebotol air mineral dengan sedotan. Didekatkannya ujung sedotan ke mulut Lilly. "Kau tidak ingat apa yang terjadi sama sekali?"

"Tidak." Lilly menyeruput air sedikit. Meski mulutnya terasa masam, perutnya bergemuruh saat dia minum. Rasanya seperti perutnya menolak untuk menerima air. "Aku... aku hanya ingat sedang membereskan barang-barangku. Lalu aku tidur."

"Membereskan barangmu? Untuk apa?"

"Mom, aku kan, harus sekolah. Aku membereskan barang yang harus kubawa ke sekolah." Pertanyaan Mom terdengar sangat aneh. Walau dia tidak menyukai sekolah sama sekali, Lilly masih anak SMA yang harus belajar. Mau tidak mau, dia harus masuk.

"Kenapa kau harus ke sekolah, Sayang?"

Lilly sudah hendak membalas pertanyaan Mom saat sesuatu seakan mendesak keluar dari perutnya. Untungnya Mom sigap dan langsung menyodorkan kantong plastik yang terbuka lebar. Lilly langsung memuntahkan isi perutnya ke dalam kantong itu. Kepalanya kembali terasa seperti dihantam dari dalam akibat bergerak terlalu cepat, dan kakinya yang tidak sengaja bergeser terasa perih. Mulutnya kini terasa begitu pahit. Dalam sekejap, seluruh isi perut Lilly berpindah ke dalam plastik itu.

Bahkan setelah memuntahkan isi perutnya, Lilly masih mual. Dia ingin sekali minum. Hanya saja, dia sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika dia berani mengonsumsinya. Tidak hanya kakinya, sekarang perutnya pun terasa perih. Perlahan-lahan Lilly meletakkan kepalanya di atas bantal. Apa pun yang terjadi kemarin pastilah benar-benar buruk hingga bisa membuatnya sesakit ini.

Lilly memejamkan mata sambil berusaha meredam seluruh perasaan tidak nyaman yang dia rasakan sekarang. Dia ingin tidur saja. Samar-samar dia bisa mendengar Mom menyuruh Dad memanggil perawat atau dokter. Lilly menarik selimut hingga menutupi dagu, berusaha menghangatkan badannya yang mulai menggigil.

Seorang perawat wanita datang untuk mengecek kondisi Lilly. Wanita bertubuh gempal itu memiliki senyum yang menyenangkan. Suaranya juga lembut—sedari tadi dia mengajak Lilly berbicara, sambil sesekali bertanya pada Lilly bagian tubuh mana yang terasa sakit. Perutnya mual, tenggorokannya terasa seperti terbakar, dan mulutnya pahit. Kepalanya masih terasa dipukul-pukul dari dalam. Kakinya dibalut perban. Seluruh tubuh Lilly kesakitan.

"Aku akan memanggilkan dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut," kata perawat itu, yang dari kartu tanda pengenalnya bernama Priscilla. "Kau akan baik-baik saja."

Selagi menunggu dokter, Lilly muntah lagi sedikit. Dia bahkan tidak lagi ingin menanyakan apa yang terjadi padanya. Berbicara akan membuatnya ingin mengeluarkan lagi isi lambungnya. Otaknya pun lelah berpikir. Lilly berharap untuk tidur, untuk setidaknya bisa membebaskan diri dari penderitaan yang sedang dia rasakan. Bahkan rasa ketakutan yang sering dia alami saat berada di sekolah saja tidak semenyiksa ini.

Seorang dokter datang sebelum Lilly bisa mencari posisi yang tidak menyiksa kepalanya. Dokter yang merawat Lilly bernama dr. Alicia Jennings. Dia memulai pemeriksaan—Lilly terlalu pusing untuk memahami apa yang dilakukan dr. Jennings. Menurutnya, kepalanya terluka dan kakinya patah. Sesekali dr. Jennings bertanya pada Mom dan Dad, juga pada Lilly, yang hanya dijawab dengan gumaman tidak jelas.

"Lilly, apa kau ingat apa yang terjadi sebelumnya?" tanya dr. Jennings.

"Tidak," balas Lilly lemah. Meski mulutnya masih terasa pahit, Lilly memaksakan diri bertanya, "Apa yang terjadi padaku?"

Mom yang menjawab pertanyaan itu, "Terjadi sebuah ledakan di sebuah rumah di pinggir kota. Kau ditemukan tergeletak di halaman rumah itu, tidak sadarkan diri. Polisi menduga kau adalah salah satu korban ledakan tersebut."

Ledakan? Sekeras apa pun Lilly berusaha, dia tidak bisa mengingat ledakan itu. Menjadi korban ledakan bukanlah sesuatu yang bisa kau lupakan begitu saja—setidaknya begitu seharusnya, karena Lilly tidak bisa mengingat apa-apa.

"Kau tidak ingat apa-apa?" tanya dr. Jennings kemudian. "Tidak apa-apa, kau mengalami trauma. Kehilangan ingatan cukup umum terjadi ketika otakmu mengalami trauma. Aku akan menjadwalkan pemeriksaan untukmu sesegera mungkin supaya kita bisa segera menangani kondisimu."

"Seberapa banyak ingatannya yang hilang?" Mom bertanya dengan nada khawatir yang sangat jelas. "Apakah ingatannya akan kembali?"

"Tentu. Seiring dengan proses pemulihannya, ingatan penderita amnesia biasanya akan kembali. Prosesnya tidak akan singkat, tetapi ada harapan untuk pulih. Untuk pertanyaan pertama Anda, mungkin kita sebaiknya bertanya pada Lilly." Dr. Jennings menoleh ke arahnya. "Lilly, apa yang kau ingat sebelum terbangun di sini?"

"Saya sedang bersiap-siap untuk masuk sekolah," jawab Lilly lamat-lamat. "Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah, kan?"

"Oh, sayang," ujar Mom, mengusap pundak Lilly, "kau sudah lulus."

Lilly terdiam lama sekali mendengar balasan Mom. Dia tidak salah dengar, kan? Lilly tidak mungkin sudah lulus; dia bahkan belum masuk sama sekali! Ucapan Mom mengimplikasikan bahwa Lilly melupakan seluruh tahun seniornya. Meski gagasan itu terdengar menyenangkan, rasanya mustahil. Ditatapnya Mom dan Dad lekat, mencari tanda-tanda kebohongan pada sorot mata mereka.

"Sudah lulus?" Lilly mengulangi ucapan Mom.

Mom mengangguk. "Dua minggu yang lalu kau baru saja diwisuda."

"Hari ini bukan hari pertama masuk sekolah?"

"Saya akan menjadwalkan sesegera mungkin. Sebaiknya kau banyak beristirahat," kata dr. Jennings, yang segera beranjak pergi. "Detektif Russell, yang menangani kasus ledakan tersebut, akan datang nanti."

Meski kepalanya belum sembuh benar, Lilly memaksa otaknya untuk bekerja dan mencerna seluruh informasi yang baru saja dia terima. Dia sudah lulus. Jika hari ini bukan hari pertama masuk sekolah dan dia memang sudah lulus, Lilly melupakan nyaris satu tahun hidupnya.

Kepalanya semakinsakit saat memikirkannya.

Reminiscing ThomasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang