14: Scented Flowers

8 2 0
                                    

Mark memutuskan untuk masuk kerja hari ini. Mrs. Hughes memang memperbolehkannya cuti selama seminggu, tetapi Mark tidak ingin hanya berdiam diri di rumah. Dia ingin menyibukkan diri dengan bekerja. Dengan begitu, pikirannya tidak akan dipenuhi dengan perasaan menyesal—dan dia mengalihkan perhatiannya dengan cara yang bermanfaat, bukan dengan menghambur-hamburkan uang.

Kemarin, dia memang sempat datang ke toko bunga. Bukan untuk bekerja, tetapi untuk membawakan bunga bagi Lilly. Mark merasa dia bisa lebih mudah mengambil hati Lilly jika dia membawakan sebuket bunga. Dia memilih bunga lili karena namanya mirip dengan Lilly. Untung saja gadis itu betulan menyukai lili. Mark jadi bisa menyempurnakan aktingnya sebagai Thomas.

Mark pasti sudah gila karena memutuskan untuk berpura-pura menjadi pemuda yang tidak dia kenal. Dia tidak tahu siapa Thomas—apa nama belakangnya, di mana dia tinggal, seperti apa sifatnya, sampai film-film apa yang dia sukai dan hal-hal apa saja yang dia senangi. Mark terpaksa mengisi banyak ketidaktahuannya dengan apa yang betulan dia rasakan dan alami. Thomas yang asli bisa saja alergi bunga jenis tertentu sehingga tidak mungkin bekerja di toko bunga.

Setidaknya, Lilly belum protes. Entah dia belum ingat apa-apa atau memang tebakan Mark sejauh ini belum meleset. Mark berusaha untuk menyetir pembicaraan dengan membahas tentang masa kini dan menghindari topik mengenai masa lalu. Sampai Lilly mengucapkan sesuatu yang dia ingat, Mark akan berusaha keras untuk tidak membicarakan sesuatu yang terlalu spesifik.

Mark membuka pintu Flo's Bouquet dan langsung disambut dengan wangi semerbak bunga. Dia tidak mengenali parfum apa yang disemprotkan Mrs. Hughes hari ini. Memang, sebagai toko bunga, toko ini akan selalu berbau bunga yang saling campur aduk. Akan aneh jika tidak. Namun, Mrs. Hughes seringkali menyemprotkan parfum bunga jenis tertentu untuk menonjolkan aroma tersebut.

"Oh, halo, Mark," sapa Mrs. Hughes, yang sedang menata bunga mawar merah. Wanita itu meninggalkan pekerjaannya dan mendekat untuk memeluk Mark. "Aku turut berduka. Kau sudah merasa baik-baik saja, Sayang?"

Mark mengangguk. "Terima kasih sudah bertanya, Mrs. Hughes. Jangan khawatirkan aku."

"Bagus. Aku tidak akan segan-segan memarahimu jika kau melamun." Mrs. Hughes menepuk bahu Mark. "Tolong atur bunga-bunga tulip itu sesuai warna, ya."

Mark bergegas untuk mengerjakan tugasnya. Dia tidak suka tanaman, dan membenci pelajaran sains di SMA—yang mungkin disebabkan oleh gurunya yang sama sekali tidak becus mengajar. Namun, demi memenuhi tuntutan pekerjaan, Mark mulai mencoba menghafalkan nama-nama bunga. Awalnya dia hanya bisa mengenali mawar—bunga kesukaan Julia—tetapi dia sudah bisa mengidentifikasi bunga tulip, anggrek, lili, dan aster, yang termasuk bunga paling populer di Flo's Bouquet.

Ah, memikirkan Julia hanya akan membuat Mark sedih. Sebaiknya dia fokus saja pada tulip-tulip ini.

"Hei, Mark," sapa Archie Barnes, salah satu pegawai paruh waktu Flo's Bouquet. Mark dan Archie cepat menjadi dekat karena sama-sama mengambil jurusan bisnis di UCLA. "Turut berduka. Maaf aku tidak sempat datang ke krematorium kemarin."

Mark yakin dia akan muak mendengarkan kata-kata dukacita dari rekan-rekan kerjanya. Dia hanya tersenyum tipis kepada Archie. "Terima kasih. Kau tidak harus datang."

"Aku heran kau sudah bekerja secepat ini."

"Aku tidak ingin berlama-lama cuti," balas Mark, melanjutkan kembali pekerjaannya. "Kau tahu Mrs. Hughes tidak akan segan-segan memotong gajiku jika aku mengambil cuti panjang."

Archie tertawa. "Benar juga. Oh, apa kabar gadis yang kaubelikan buket bunga?"

"Gadis apa?" Wajah Mark langsung memerah. "Aku membelikan bunga untuk Julia."

"Kau tidak bisa membohongiku. Wajahmu merah seperti tomat sekarang. Aku yakin kau membelikan bunga untuk gadis lain."

"Kalaupun itu benar—kalau," tegas Mark saat melihat ekspresi jail Archie—"itu bukan urusanmu. Aku berhak membelikan bunga untuk siapa saja."

"Chill, dude, aku hanya ingin tahu," kata Archie. "Kau harus bercerita jika ada gadis yang kau incar."

Ucapan Archie membuat Mark menggelengkan kepala. Dia tahu, membelikan bunga untuk gadis lain hanya satu hari setelah kakaknya dikremasi adalah perbuatan gila. Mungkin saja dia memang sudah gila. Namun, Mark tidak mungkin menarik kembali pilihannya dulu. Sekarang, yang bisa dia lakukan adalah terus berjalan, hingga dia menemukan kebenarannya.

Dan untuk itu, dia rela menjadi gila.

Lilly memperhatikan Thomas, yang sekarang sedang menata kembali bunga lili ke dalam sebuah vas plastik berwarna kuning pastel. Semakin diperhatikan, semakin Lilly menyukai apa yang dia lihat.

Lilly belum benar-benar mengingat apa-apa tentang Thomas. Dia bahkan tidak yakin bagaimana mereka bisa bertemu. Hanya saja, melihat Thomas merawat tanaman membuat hatinya senang. Thomas seperti ditakdirkan untuk menanam dan merawat tanaman. Lilly tahu pemikiran itu aneh, dan dia tidak punya cara untuk membuatnya masuk akal. Dia hanya memercayainya.

"Nah, sekarang sudah tampak lebih baik," kata Thomas bangga. "Lihat, cantik, kan? Jauh lebih enak dilihat dibandingkan saat diletakkan di dalam gelas."

Lilly mengangguk. "Kau cocok sekali melakukannya—mengatur dan merawat bunga-bunga, maksudku."

"Aku harus bisa melakukannya jika ingin mempertahankan pekerjaanku." Thomas berjalan mendekati Lilly sambil tetap memperhatikan karangan bunga itu. "Tidak buruk."

Saat Thomas berada di dekatnya, Lilly bisa mencium samar-samar bau bunga. Thomas mengaku baru saja pulang bekerja, jadi pasti bau toko itu menempel di badannya. Lilly menyukainya. Bau-bau bunga itu justru membuat Thomas semakin keren.

Thomas duduk di atas tempat tidur, tetap memandangi bunga itu untuk sesaat. Profil samping Thomas sangat memesona. Hidungnya mancung, lehernya cukup panjang, dan garis rahangnya tajam. Samar-samar, Lilly bisa melihat Thomas, duduk dikelilingi oleh dedaunan hijau, memperhatikan sesuatu dengan saksama seperti sekarang ini. Lilly menyukai apa yang dia lihat.

Thomas menoleh padanya. "Apa yang kaupikirkan?"

"Aku sedang berpikir tentang... kau," Lilly tersenyum. "Kau tahu, aku bisa membayangkanmu berada di taman atau rumah kaca, melamun memperhatikan bunga."

"Benarkah? Apa lagi yang kau bayangkan?"

Lilly mencoba memikirkannya. Dia memejamkan mata, mencoba memperjelas bayangannya. "Aku sedang memperhatikanmu. Kau memandangi sesuatu dengan tatapan penuh... apa, ya? Intinya kau tersenyum. Lalu...."

Lilly tidak tahu apakah dia hanya mengada-ada, atau dia sedang memikirkan apa yang pernah dia alami. Bayangannya terasa nyata. Thomas ada di sebelahnya, berbicara dengan mata berbinar-binar. Lilly tidak bisa menangkap apa yang Thomas katakan, tetapi di akhir, dia tampak begitu bersemangat. Thomas mengulangi ucapannya beberapa kali hingga Lilly bisa mendengar ucapannya.

"White Lilly," gumam Lilly, membuka matanya. "White Lilly."

"Lili putih?" tanya Thomas dengan kening berkerut.

"Tidak, bukan bunga lili putih—bukan white lily. White Lilly—namaku, hanya ditambah kata 'putih' di depannya. Kau memanggilku dengan sebutan White Lilly."

Kerutan di kepala Thomas perlahan-lahan memudar, dan dia tersenyum. Senyum Thomas membuat jantung Lilly berdebar seperti telah menemukan sesuatu yang penting.

"Ingatan pertamamu tentangku sudah terbuka, White Lilly," ujar Thomas.

"Sungguh?" tanya Lilly. Rasanya dia ingin melompat.

Thomas mengangguk. "Jangan senang dulu. Masih banyak yang harus diingat. Setidaknya ini langkah yang baik, kan?"

Ingatan ini adalahlangkah yang baik. Sekarang, Lilly sudah satu ingatan lebih dekat darimengingat Thomas dengan utuh.

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now