36: Lost in the Fire

9 2 1
                                    

2 Juni 2019, malam terjadinya ledakan.

Thomas memperhatikan ombak kecil bergulung dari laut, hanya untuk akhirnya lebur bertemu pantai. Banyak orang bilang, pantai terlihat indah di malam hari. Sudah lama sekali dia penasaran ingin membuktikan apakah ucapan itu benar adanya. Malam ini, dia mengakui kebenarannya. Langit tampak cerah—beberapa bintang terlihat mungil, berkelap-kelip dengan indah.

Thomas menarik napas panjang. Hidup rasanya indah sekali malam ini.

Diperhatikannya Lilly, yang sudah mendahuluinya melepas sandal dan berlari menuju air. Senyum Thomas mengembang. Dia senang sekali Lilly bisa pergi bersamanya malam ini karena Thomas punya pertanyaan penting yang harus dia ajukan. Pantai ini tampaknya akan jadi tempat yang cocok sekali untuk menanyakannya. Namun, pertanyaan itu harus disimpan untuk sementara. Dia akan menyusul Lilly bermain air dulu.

"Airnya dingin sekali!" seru Lilly. Kakinya sudah sedikit terendam.

"Benarkah?" Thomas berdiri di sebelah Lilly. Air laut memang terasa dingin seperti es. "Apa menurutmu kita sebaiknya kembali—"

Ucapan Thomas terpotong saat merasakan cipratan air di badannya. Lilly, si pelaku, menyeringai lebar sekali dan melanjutkan perbuatannya. Thomas tertawa. Dia ikut membungkuk, menangkup sedikit air, lalu mencipratkannya ke arah Lilly. Untuk beberapa saat, mereka saling mencipratkan air. Lilly tertawa puas sekali, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Thomas pun tertawa lebar.

Mereka berhenti saat Lilly terlihat sudah gemetar. Thomas memaksanya untuk menyudahi permainan mereka. Bisa gawat kalau dia malah sakit.

"Kalau kau bekerja sebagai ahli biologi kelautan, kau pasti akan ke pantai setiap hari," kata Lilly dengan senyum lebar.

Thomas mengambil jaketnya dan menyampirkannya di bahu Lilly. "Aku pasti akan sering ke pantai, tetapi mungkin tidak setiap hari juga."

Mereka duduk di pinggir pantai, memperhatikan laut untuk sesaat. Napas Thomas sedikit terengah-engah akibat bermain air. Dia menoleh pada Lilly yang masih saja fokus memperhatikan laut. Dari samping begini, Lilly terlihat manis sekali. Rambut pirangnya yang panjang diselipkan di balik telinga, menunjukkan sorot matanya yang teduh dan senyumnya yang memesona. Hidungnya terlihat sedikit memerah.

"Aku rasa akan menyenangkan sekali tinggal di pinggir pantai," kata Lilly. "Aku tidak keberatan melihat pemandangan ini setiap malam."

Thomas menyetujuinya, walaupun dia yakin pemandangan yang Lilly maksud berbeda dengan yang ada dalam pikirannya. Thomas tidak akan keberatan memperhatikan wajah Lilly setiap malamnya. Rasanya hidup itu merupakan hidup yang sempurna. Menjadi seorang ahli biologi kelautan, tinggal di rumah pinggir pantai, dan melihat Lilly setiap malamnya. Thomas ingin hidup seperti itu.

"White Lilly," panggil Thomas. Jantungnya mulai berdebar kencang sekali.

Lilly menoleh. "Hm?"

"Maukah kau—"

Ucapan Thomas terpotong oleh suara ponselnya. Sial. Padahal momen yang dia punya sedang sempurna sekali untuk mengutarakan pertanyaannya. Thomas membuka ponselnya, menemukan nama Tony di layar. Thomas menolak panggilan itu dan menyalakan mode getar. Dia sedang tidak ingin diganggu.

"Maaf," kata Thomas. "Sampai di mana tadi. Oh, ya." Thomas berdeham. "White Lilly, maukah kau menjadi—"

Ponsel Thomas bergetar keras sekali, mengejutkan mereka berdua. Nama Tony kembali muncul di layar. Thomas kesal sekali melihat panggilan dari Tony, yang lagi-lagi merusak momen yang sudah dia bangun. Kenapa juga Tony harus meneleponnya saat ini?

"Angkat saja," kata Lilly setelah mengintip layar ponsel Thomas. "Pasti penting kalau dia sampai menelepon."

Dengan berat hati Thomas menjawab panggilan Tony. "Tony, kenapa kau meneleponku—"

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now