20: Captured Memory

7 2 1
                                    

Lilly memandangi ponselnya, mengabaikan televisi yang menyala. Layar ponsel menunjukkan notifikasi pesan dari Thomas yang muncul sepuluh menit yang lalu. Thomas mengirimkan beberapa pesan meminta maaf. Sampai sekarang, Lilly belum ingin membukanya.

Lilly masih tidak tahu kenapa Thomas bersikap begitu aneh. Jika dia memang ingin membantu Lilly mengingat, dia seharusnya mulai menceritakan semua yang terjadi di antara mereka. Kenangan adalah sesuatu yang dibuat untuk dibagikan melalui cerita-cerita, bukan disimpan sendirian. Membagi kenangan tidak akan membuatnya habis, melainkan menjadikannya kekal.

Walau begitu, Lilly merasa dia sedikit merasa keterlaluan dengan menyebut Thomas tidak ingin dia ingat kembali. Thomas sedang lelah, jadi mungkin dia tidak pernah berniat seperti itu. Mungkin, bercerita tentang kenangan yang dia punya terasa menyakitkan. Meski Lilly tidak tahu apa yang membuatnya terasa menyakitkan, Thomas bisa saja tidak ingin mengingat masa-masa itu saat Lilly tidak bisa mengingatnya juga.

Ya, pasti begitu. Tidak mungkin Thomas menyembunyikan sesuatu, kan? Thomas tidak mungkin sengaja menyembunyikan masa lalu mereka karena dia memang tidak ingin Lilly mengingatnya. Tidak, itu tidak terdengar seperti Thomas. Dalam benak Lilly, Thomas adalah pemuda yang akan mengakui kesalahannya dan berusaha memperbaikinya, bukan malah menguburnya.

Lagipula, apa kesalahan yang bisa Thomas lakukan hingga dia ingin menghapusnya? Tidak mungkin narkoba, kan?

Gagasan itu muncul di kepala Lilly. Apakah Thomas diam-diam menggunakan narkoba dan turut menjerumuskan Lilly? Mungkinkah Thomas-lah yang membawa Lilly ke rumah itu? Namun, jika Thomas benar-benar membawa Lilly ke sana, bagaimana mungkin dia selamat tanpa luka, sementara Lilly mengalami patah tulang dan amnesia?

Lilly menghapus gagasan itu secepat mungkin. Tidak, gagasan itu terlalu mengada-ada. Sejak pertama melihatnya hingga kini berinteraksi dengannya, Lilly tidak pernah mengaitkan Thomas dengan narkoba. Satu-satunya kaitan yang bisa Lilly bayangkan adalah Thomas menjadi bagian dari kampanye anti narkoba yang sering membagikan brosur di sekolah-sekolah. Itulah kesan yang Lilly dapat. Lilly tidak tahu apakah ingatannya akan setuju dengan asumsi itu atau justru mematahkannya.

Bunyi notifikasi ponsel membuyarkan lamunannya. Lilly melihat layar ponselnya.

aku ada di dpn. kau bisa keluar sebentar?

Sebelum Lilly sempat memutuskan apakah dia seharusnya membalas atau tidak, Clara keluar dari kamarnya. Clara sepertinya akan keluar—kacamata hitamnya disangkutkan di atas kepala, dandanannya lengkap, dan sepatu bot berwarna navy membungkus kakinya. Lilly juga melihat kunci mobil dalam genggaman Clara.

"Aku akan keluar," kata Clara sembari melangkah menuju pintu. "Kebetulan Haley sedang ada di kota. Mom sudah dalam perjalanan pulang, jadi kau tidak akan sendirian terlalu lama. Aku pergi dulu—oh, hai, Thomas!"

Thomas meringis saat bertatapan dengan Clara. Lilly memalingkan wajah saat Thomas melirik ke arahnya. Dia belum merasa siap bertemu dengan Thomas—tidak sampai dia bisa memaafkan ucapan Thomas kemarin. Lilly diam saja, bahkan setelah Thomas masuk dan Clara meninggalkan mereka berdua. Untuk beberapa menit, Thomas berdiri canggung di dekat pintu dengan empat tangkai bunga lili di tangannya.

"Kau tidak datang hanya untuk berdiri di sana, kan?" tanya Lilly. Suaranya terdengar sedikit kasar.

Thomas tersenyum canggung. "Aku ingin memberikanmu ini," katanya sambil berjalan mendekat. Dia mengulurkan bunga-bunga itu. "Bunga yang dulu kuberikan kepadamu pasti sudah layu."

Lilly menerimanya. Bunga-bunga di kamarnya belum layu karena Lilly rajin menyiram dan mengganti airnya. Walau begitu, hatinya menghangat saat mencium bau bunga ini. Thomas tahu benar cara meluluhkan hatinya. Wangi bunga lili ini hampir-hampir membuatnya melupakan ucapan Thomas.

"Aku minta maaf," kata Thomas. "Aku tidak seharusnya mengatakan itu kepadamu. Aku sungguh-sungguh ingin kau cepat sembuh dan cepat mengingat kembali. Aku hanya... aku tidak bisa memberitahumu banyak hal. Maafkan aku."

"Kenapa kau tidak bisa menceritakannya saja?" tanya Lilly. "Kau tidak mungkin menyembunyikan sesuatu, kan?"

Mata gelap Thomas membelalak. "Tidak, tidak, tentu saja tidak. Tidak ada yang perlu disembunyikan darimu. Aku tidak melakukan hal-hal aneh, kok." Thomas menggaruk kepalanya. "Aku, eh, tidak akan bisa menceritakan tentang kita dengan baik. Lagipula, sesungguhnya tidak ada hal-hal yang penting sekali untuk diceritakan."

"Tentu ada sesuatu yang bisa kauceritakan tentangku. Hal-hal kecil yang kauperhatikan dan kausukai dariku. Pasti ada sesuatu, Thom."

Thomas tampak berpikir. "Kau... punya mata terindah yang pernah kulihat. Bahkan sejak pertama kali kita bertemu, aku sudah menyadarinya. Senyum yang kaupunya manis sekali dan sangat menular. Aku suka sekali mendengarmu bercerita—aku bisa menghabiskan berjam-jam hanya mendengarmu bercerita. Aku... kurasa, kau adalah gadis terbaik yang pernah kutemui."

Lilly sama sekali tidak menyangka Thomas akan membalas dengan sedemikian romantis. Pernyataan Thomas sanggup membuat Lilly mengabaikan ucapannya tadi malam. Debar jantungnya keras sekali, hampir-hampir mendominasi pendengaran Lilly. Dia menatap Thomas lekat. Wajah Thomas merah sekali, terlihat hampir seperti tomat. Lilly yakin sekali wajahnya juga sama merahnya dengan wajah Thomas.

Empat tangkai bunga yang digenggam Lilly sedari tadi jatuh ke lantai. Thomas menyadarinya dan segera membungkuk untuk mengambilnya, hampir bersamaan dengan gerakan Lilly. Tubuh mereka berdekatan, membuat jantung Lilly berdetak semakin kencang. Saat Thomas mendongak menatap Lilly, wajah mereka begitu dekat, Lilly bisa merasakan embusan napas Thomas.

Lilly merasakan dorongan untuk bergerak maju dan mengecup bibir Thomas singkat. Dia melakukannya.

Wajah Thomas, entah bagaimana, menjadi lebih merah lagi, dan dia cepat-cepat berdiri. Wajah Lilly sendiri terasa begitu panas. Apa yang sebenarnya dia pikirkan? Tadi dia marah pada Thomas dan tidak ingin memaafkannya. Sekarang dia menciumnya, yang meskipun singkat, tetap saja merupakan ciuman pertamanya—atau setidaknya, itulah yang dia tahu. Lilly tidak tahu apakah dia pernah mencium Thomas sebelumnya.

"Maaf," kata Lilly. "Aku, eh, tidak tahu apa yang kupikirkan."

Thomas berusaha tersenyum. "Tidak apa-apa. Kita... uh, itu bukan pertama kalinya. Aku hanya sedikit terkejut."

Benarkah ini bukan pertama kalinya mereka berciuman? Gagasan itu justru membuat Lilly semakin malu. Untung saja Thomas harus segera pergi untuk bekerja. Situasi di antara mereka yang sangat canggung itu memang perlu diselamatkan. Setelah mengunci pintu, Lilly memilih untuk pergi ke kamar saja.

Bunga yang dibawakan Thomas tergeletak begitu saja di meja ruang keluarga. Sama seperti bunga itu, hati Lilly pun mekar.

Lilly belum bisa mengusir ucapan Thomas dari pikirannya. Apakah ciuman tadi memang bukan ciuman pertama mereka? Jika itu benar, apakah Lilly dan Thomas sudah berpacaran? Apakah karena itu Thomas tidak mau bercerita; karena melihat pacarnya melupakannya membuat semua kenangan itu menyakitkan? Sekarang, Lilly jadi merasa sangat bersalah telah menuduh Thomas. Perasaan Thomas pastilah kacau-balau.

Rasa penasaran menguasai Lilly. Dia harus mencari tahu sendiri tentang Thomas.

Dia memutuskan untuk mengecek Instagram-nya. Lilly tidak terlalu aktif di sana berhubung dia tidak suka difoto. Bahkan foto prom-nya saja tidak dia unggah—dengan asumsi dia pergi ke prom, tentu saja. Foto terakhir yang diunggah Lilly di Instagram-nya adalah fotonya mengenakan toga, tersenyum cerah menatap kamera. Lilly tersenyum melihatnya. Dia tidak ingat momen kelulusannya, tetapi dia tampak begitu bahagia.

Tidak ada Thomas di sana, tetapi akun @LaneThomas memberi komentar tiga emoji hati berwarna merah. Akun itu sepertinya milik Thomas. Sayangnya, isinya hanyalah foto-foto bunga dan tanaman. Satu-satunya foto yang diunggah Thomas adalah fotonya saat masih kecil, mungkin baru berusia sepuluh tahun. Foto profil pun tidak terlihat begitu jelas.

Kemudian Lilly membuka bagian foto yang menandai akun Thomas di fotonya. Foto pertama yang muncul adalah foto Mr. Johnson—yang rupanya aktif juga di Instagram. Guru biologi itu sedang merangkul seorang pemuda yang mengenakan toga yang sama dengan yang dikenakan Lilly tadi. Pemuda itu seharusnya Thomas—di caption pun Mr. Johnson memuji-muji Thomas yang pintar biologi.

Semuanya cocok. Masalahnya hanya satu.

Wajah Thomas di fotoitu bukanlah wajah Thomas yang selama ini ditemui Lilly.

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now