27: Truth or Lies?

8 3 0
                                    

Thomas Lane sudah mati. Orang yang identitasnya dipinjam oleh Mark sudah mati.

Sejujurnya, Mark tidak tahu apa yang dia bayangkan akan terjadi setelah Mark tidak memerlukan apa-apa lagi dari Lilly. Pada saat itu, pikirannya hanya dipenuhi oleh keinginan untuk mendekati Lilly dan mencari informasi sebanyak mungkin. Tidak sekali pun terpikirkan olehnya tentang akhir dari penyamarannya. Mark hanya berpikir bahwa suatu saat, Thomas akan muncul lagi, dan Mark hanya perlu menghilang.

Sekarang, saat Thomas tidak mungkin lagi mengambil perannya kembali, apa yang harus Mark lakukan? Dia tidak mungkin berpura-pura menjadi Thomas selamanya—dia juga tidak akan mau melakukannya. Mark tidak akan mampu. Thomas sepertinya pintar biologi dan berprestasi secara akademis hingga berfoto dengan guru biologinya (Mark sudah memperhatikan foto di Instagram itu dengan lebih saksama). Mark hanya berbagi wajah yang mirip saja dengan Thomas.

Mark tidak merasa seperti berkaca saat melihat foto Thomas, tetapi dia sedikit paham kenapa Lilly bisa menganggap mereka mirip. Setidaknya, mereka memang mirip, dan Lilly tidak separuh buta karena salah mengenali orang yang tidak mirip sama sekali. Mark menghela napas. Kenapa juga dia harus melibatkan diri pada awalnya?

Ponsel Mark bergetar tiba-tiba. Sebuah pesan dari Lilly muncul di layar notifikasinya.

Apa kau akan datang hari ini? Tadi aku membantu ibuku membuat kue kering. Mungkin kau ingin mencobanya?

Perasaan bersalah memenuhi Mark. Lilly memang sudah mulai mencurigai Mark, tetapi sampai kapan dia akan percaya? Lilly tidak bodoh. Gadis itu sudah mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang salah, dan dia mulai mencari-cari bukti. Sejauh ini, Mark memang masih bisa memberikan penjelasan yang logis. Namun, setelah ini, Mark belum tentu bisa menghindar semudah itu.

"Wah, kue kering," kata Archie tiba-tiba. "Dugaanku benar, kan? Kau memang menemui seorang gadis."

Mark buru-buru mengantongi ponselnya. "Aku tidak tahu apa yang kaubicarakan."

"Ayo, Mark, aku tidak buta. Aku bisa melihat pesan gadis itu dengan jelas. Dia membuat kue kering, dan dia ingin kau datang untuk mencobanya." Archie mengedikkan bahu. "Mungkin aku bisa membantumu membuat buket bunga? Empat tangkai bunga lili putih, kan?"

Alih-alih menjawab, Mark bertanya, "Apa kau pernah membohongi seseorang?"

"Wah, apakah kau sudah membohongi gadis itu?"

"Aku serius."

"Aku juga serius." Archie berpikir sebentar. "Hmm. Selama ini aku berusaha untuk selalu jujur. Kejujuran itu penting dalam sebuah hubungan, kau tahu."

"Sudah terlambat untuk itu." Mark bergerak untuk membereskan sisa-sisa tanaman yang tidak dipakai dalam sebuah karangan bunga. "Aku berbohong juga bukan karena keinginanku. Aku harus melakukannya. Sekarang aku sudah masuk terlalu dalam, dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."

"Satu-satunya cara untuk memperbaiki kebohongan adalah dengan mengatakan kejujuran," kata Archie, yang tumben sekali sedang bijak. "Sedalam apa pun kau dalam kebohongan itu, satu-satunya cara untuk keluar adalah dengan menjadi jujur."

Mark merenungi jawaban itu. Jika dia bisa melakukannya, dia pasti bisa bebas dari masalahnya. Hanya saja, Mark tidak mungkin melakukan itu. "Itu lebih mudah diucapkan," kata Mark kemudian. "Masalahnya, aku yakin dia pasti akan sangat marah kalau aku memutuskan untuk jujur."

"Bukannya semua orang akan marah kalau mereka tahu mereka dibohongi?" Archie mengernyit. "Kau pasti takut hubunganmu dengan gadis itu akan rusak, kan? Kau tidak mau jujur karena kau ingin terus berhubungan dengannya. Benar, kan?"

Mark tidak ingin mengucapkannya, tetapi dalam hati, dia tahu ucapan Archie benar. Mark menyukai waktu yang dia habiskan dengan Lilly. Dan, meski kesannya aneh, Mark juga menyukai peran sebagai Thomas yang dia jalankan. Untuk sesaat, Mark bisa berpura-pura menjadi seseorang yang pintar, berprestasi, punya pacar cantik, dan bahagia. Dia bisa melupakan masalahnya. Topeng itu begitu nyaman, dan Mark belum ingin melepasnya.

"Aku tidak tahu," balas Mark kemudian. "Nanti biar kupikirkan."

"Secepatnya lebih baik," kata Archie. "Mungkin kau bisa membawakan empat tangkai bunga lili untuk gadis itu sebelum kau memberitahunya yang sesungguhnya. Siapa tahu gadis itu tidak akan terlalu marah. Omong-omong, kenapa empat tangkai?"

"Aku hanya membuat salah satu paket buket yang ditawarkan di toko, kok," jawab Mark.

Biarpun Mark membawakan empat ratus bunga lili untuk Lilly, Mark tahu, gadis itu tidak akan memaafkannya.

Lilly memilih untuk duduk di beranda rumah saja bersama Thomas untuk dua alasan. Pertama, dia ingin menghabiskan waktu berdua dengan Thomas. Clara, Mom, dan Dad pasti akan mengganggunya—lagipula, menghabiskan waktu dengan temanmu di depan keluargamu sangatlah canggung. Kedua, Lilly ingin saja duduk di luar. Dia bosan menghabiskan waktu di dalam rumah.

Kata Thomas, kue kering yang dibuat Lilly enak sekali. Lilly senang mendengarnya meskipun dia hanya membantu Mom mengaduk adonan saja. Kaki Lilly masih belum sembuh juga, dan membantu Mom mengaduk adonan kue kering adalah kegiatan paling melelahkan dan menyenangkan yang dia lakukan. Untung saja kaki Lilly tidak kram setelah menghabiskan seharian duduk di bangku.

"Kue kering dengan taburan keping-keping cokelat adalah kue kering terbaik di dunia," kata Lilly.

Thomas tidak membalas. Jika diperhatikan, wajah Thomas tampak tertekuk, seperti sedang memikirkan sebuah masalah berat. Lilly memperhatikan ekspresi Thomas yang serius. Rasanya sedikit aneh melihat Thomas seserius ini—biasanya Thomas sering tertawa, dan pembawaannya cenderung santai. Lilly jadi ingin tahu apa yang sedang Thomas pikirkan.

"Apa yang sedang kaupikirkan?" tanya Lilly.

"Hm?" Thomas menoleh padanya. "Oh, bukan sesuatu yang penting."

"Pasti penting jika kau serius sekali memikirkannya." Lilly diam sejenak. "Apa kau sedang memikirkan tentang kuliah? Dua bulan lagi kita sudah masuk, kan? Rasanya cepat sekali. Aku tidak tahu apakah aku pernah mengatakannya kepadamu, tetapi seringkali aku merasa seperti sedang menjelajah waktu. Aku terbangun, dan tiba-tiba saja, dua bulan lagi aku kuliah."

Thomas tersenyum tipis. "Menjelajah waktu terdengar keren."

"Kasusku tidak keren sama sekali." Lilly mengedikkan bahu. "Omong-omong, aku akan kuliah di Stanford. Kau kuliah di mana? Aku tidak ingat."

"Menurutmu di mana?"

"Pasti di Harvard, ya? Orang sepintar kau pasti akan masuk universitas terbaik." Lilly menghela napas. "Ah. Pasti akan menyenangkan jika kita bisa melanjutkan pendidikan di universitas yang sama. Kita bisa belajar bersama di perpustakaan. Kita juga bisa mendatangi konser musik lokal, atau mengunjungi toko buku bersama-sama. Bisakah kau bayangkan itu?"

"Tidak selamanya kita bisa bersama, Lilly. Ada kalanya takdir dan pilihan yang kita buat memisahkan kita."

"Kenapa kau berbicara seolah-olah kau akan meninggalkanku untuk selamanya?"

Thomas tidak langsung menjawab. Dia menggaruk kepalanya sebelum berkata, "Yah, aku hanya terpikirkan seperti itu. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, kan? Aku tidak bisa berada di sisimu selamanya. Akan ada saatnya aku harus meninggalkanmu."

Lilly bisa merasakan hatinya mulai retak saat mendengar ucapan Thomas. Rasanya seperti Thomas telah melanggar janjinya—Lilly bahkan tidak ingat janji apa yang pernah dibuat Thomas dulu, atau apakah dia hanya mengada-ada. Yang jelas, Thomas sepenuhnya benar. Dia tidak mungkin bisa berada di sisi Lilly selamanya. Sekarang, mata Lilly mulai terasa berair.

"Tidak bisakah kau berbohong saja dan bilang kalau kau juga sedih akan berpisah denganku?" tanya Lilly. "Kau terdengar seperti sudah tidak sabar untuk berpisah denganku."

Thomas tidak bisamembalas.

Reminiscing ThomasOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz