6: Lost Memory

13 4 0
                                    

Sorenya, pada hari yang sama, seorang detektif memasuki kamar Lilly. Detektif Billy Russell tampak seperti detektif dari serial Law & Order yang sering Lilly tonton. Pakaiannya necis, lengkap dengan jas dan dasi yang tampak formal, tetapi pembawaannya tidak terlalu serius. Malahan, Detektif Russell tampak lelah. Dia seperti tidak tidur berhari-hari untuk mengerjakan kasus ledakan itu.

Penyelidikan Detektif Russell masih berlanjut, jadi tidak banyak yang bisa dia jelaskan. Penyidik dari departemen pemadam kebakaran sudah menemukan asal mula kebakaran—sebuah benda yang diduga sebagai kompor yang ditemukan di lantai dua. Baunya mengindikasikan keberadaan zat narkotika meth. Kesimpulan yang kemudian diambil adalah: rumah tersebut—atau paling tidak lantai duanya—merupakan sebuah pabrik meth. Siapa pemilik dan pengelola pabrik tersebut masih menjadi fokus penyelidikan.

Korban dari ledakan tersebut berjumlah sepuluh orang—delapan orang meninggal dunia dan dua orang selamat. Lilly termasuk yang paling beruntung karena dia bisa segera sadar. Korban selamat lainnya masih koma sampai sekarang dan mengalami luka bakar tingkat tiga di banyak bagian tubuhnya. Lilly bergidik saat Detektif Russell menjelaskannya. Meski dia didera rasa sakit sedemikian rupa, dia beruntung masih diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup.

"Anda beruntung. Gelombang ledakan melempar Anda melalui jendela, sehingga Anda terhindar dari api." Detektif Russell tersenyum tipis. "Apa yang Anda ingat mengenai kejadian ini?"

"Tidak ada," Lilly membalas.

"Sama sekali tidak ada?"

"Tidak. Andai saya bisa membantu Anda, Detektif."

Lilly ingin sekali bisa memberi tahu Detektif Russell mengenai ledakan itu. Dia ingin sekali bisa mengingat apa yang terjadi. Hanya saja, otaknya tidak bisa memberikan informasi apa pun. Rasanya seperti ada yang dengan iseng mengambil kartu memori otaknya dan menghapus isinya setahun terakhir. Bagaimana mungkin dia tidak bisa mengingat sedikit pun apa yang terjadi padanya?

Fakta itu membuat perasaannya buruk sedari tadi. Kondisi fisik Lilly memang terasa lebih baik dari sebelumnya. Perutnya tidak lagi terasa seperti akan mengeluarkan isinya, dan kakinya tidak lagi terasa menusuk. Yang tidak baik-baik saja adalah hatinya. Dadanya terasa sesak jika memikirkan apa saja yang dia lupakan. Meski Lilly sama sekali tidak menantikan tahun seniornya, tetap saja dia melewatkan tahun yang berharga.

"Kalau begitu, apakah ada yang Anda ingat mengenai kegiatan Anda beberapa jam, hari, atau minggu sebelum kejadian ini?" tanya Detektif Russell lagi.

"Ingatan terakhir saya ada di bulan Agustus 2018."

"Baiklah." Detektif Russell menghela napas, lalu memperhatikan catatannya. "Kemudian, Miss Hayes, apakah benar Anda bersekolah di Golden Oak Private School?"

"Benar."

"Sejauh ini, kami telah mengidentifikasi setidaknya dua siswa Golden Oak menjadi korban ledakan tersebut. Anda dan seorang pemuda bernama Aiden Lewis. Apakah Anda mengenalinya?"

Nama itu terdengar familier, tetapi Lilly tidak bisa memfokuskan pikirannya. Sakit kepalanya semakin menjadi-jadi setiap kali dia berusaha berpikir keras. "Saya tidak—saya, uh, merasa pernah mendengar nama itu."

"Aiden Lewis sempat ditangkap setahun yang lalu atas dasar kepemilikan narkoba. Dia sempat ditahan di pusat penahanan remaja selama beberapa saat. Kami dapat mengidentifikasinya berdasarkan sidik jarinya. Anda yakin Anda tidak mengenalnya?"

Mom, yang sedari tadi diam saja, menyela begitu mendengar pertanyaan Detektif Russell, "Beraninya Anda menuduh putri saya mengenal pemuda bermasalah itu! Lilly tidak pernah membuat masalah apa pun selama ini. Tidak mungkin dia berteman dengan pemuda yang pernah dipenjara itu, apalagi sampai pergi bersama ke sebuah pabrik obat-obatan terlarang."

Mom benar. Sejak kecil, Lilly tidak pernah berbuat masalah—setidaknya, tidak yang terlalu berat. Seingatnya, hanya sekali dia mendapat masalah, ketika salah satu bukunya disita gurunya karena Lilly membaca di kelas. Lilly tidak pernah dihukum detensi, juga tidak pernah diperingatkan atau ditegur. Hidupnya sangat membosankan. Mustahil Lilly mengenal dan berurusan dengan seorang remaja bermasalah seperti Aiden Lewis.

"Maaf, Mrs. Hayes, saya hanya mencoba menyelidiki semua kemungkinan yang ada," ujar Detektif Russell. mencoba menenangkan Mom. "Ada hubungan jelas di antara mereka, yaitu bahwa mereka bersekolah di tempat yang sama."

"Saya hanya pernah mendengar kabar tentang dia," kata Lilly cepat. "Dia masuk penjara, kan? Berita itu membuat seluruh sekolah gempar."

Sejujurnya, Lilly tidak benar-benar ingat tentang berita penangkapan Aiden Lewis. Dia tidak pernah terlalu mengikuti gosip-gosip di sekolah, dan sedikit yang dia dengar pun segera dia lupakan. Fokus dan perhatian Lilly lebih banyak dicurahkannya pada studinya. Dia hanya menyebutkan kalimat tadi supaya Detektif Russell mendapatkan penjelasan yang dia butuhkan dan Mom tidak mengamuk.

"Baiklah," kata Detektif Russell. "Miss, maaf jika pertanyaan ini menyinggung Anda. Saya harus menanyakannya sebagai formalitas. Apakah Anda pernah menggunakan, atau berpikir untuk menggunakan narkoba?"

Mom langsung menyambar, "Detektif, apakah anak saya tampak sebagai pecandu?"

"Ma'am, saya berusaha mencari tahu bagaimana anak Anda bisa berada di lokasi kejadian perkara. Saya tidak bermaksud menghakimi atau menuduh."

"Tetap saja—"

"Mom, sudahlah," Lilly memotong seruan Mom. "Tidak, Detektif. Tidak pernah sekali pun saya berpikir untuk menggunakan obat-obatan terlarang. Saya bahkan tidak minum alkohol."

"Berarti Anda sama sekali tidak ingat bagaimana Anda bisa berada di tempat tersebut? Seperti siapa yang mengajak Anda, atau bahkan alasan Anda ada di sana?"

"Tidak."

"Baik. Jika sekiranya ada yang Anda ingat dan bisa membantu penyelidikan, harap hubungi saya." Detektif Russell berdiri sambil menyerahkan selembar kartu kepada Mom. "Terima kasih atas waktunya. Semoga Anda bisa cepat sembuh."

Setelahnya, Detektif Russell meninggalkan ruangan. Lilly menghela napas, lalu memejamkan matanya. Dia hanya lega seluruh gangguan hari ini sudah selesai dan dia bisa beristirahat. Kepalanya sudah mulai pusing beberapa menit terakhir. Dia bahkan sudah tidak begitu ingat siapa siswa sekolahnya yang juga menjadi korban ledakan itu, dan dia tidak akan berusaha mengingatnya. Sepertinya Aiden.

"Detektif itu keterlaluan," omel Mom, selagi menidurkan tempat tidur Lilly. "Bisa-bisanya dia mengira kau berhubungan dengan pemuda Lewis tadi. Memangnya kau tampak seperti pecandu narkoba yang bergaul dengan orang-orang bermasalah? Dia seharusnya melakukan pekerjaannya dengan lebih baik."

"Mom, aku memang tidak tampak baik-baik saja," sahut Lilly. "Detektif itu hanya melakukan pekerjaannya. Oh, Mom, tolong jangan berteriak-teriak. Kepalaku masih pusing."

"Ah, maafkan aku." Mom kemudian diam saja, sembari memastikan bantal sudah cukup empuk dan selimut sudah membungkus Lilly dengan baik. "Sudah nyaman, kan? Nah, sebaiknya kau beristirahat sekarang."

Lilly menurunkan sedikit selimutnya—lehernya malah terasa tercekik jika selimutnya ditarik terlalu tinggi. Dia memejamkan mata, berusaha tidur. Namun, sedari tadi, pikirannya justru melayang-layang pada rumah yang terbakar itu, obat-obatan terlarang, serta api. Kalau tidak salah ingat, berdasarkan salah satu cerita yang pernah dia baca, Aiden berarti api. Betapa ironis. Dia justru mati dilahap api.

Lilly berharap apiyang sama tidak akan membuatnya layu.

Reminiscing ThomasWhere stories live. Discover now