DUA

3.4K 160 8
                                    

"Kenyataannya gue cuma pura - pura enggak sadar sama sikap lo yang selalu mengacuhkan gue."
(Bab 2-Hanya Sekadar Angan)

•°•°•

BERUSAHA bersikap tidak terjadi apa - apa tidak selalu menjadi pilihan yang tepat. Terkadang rasa pilu di hati hanya akan menjalar kemana - mana. Yang harus dilakukan bukanlah berlari menghindari apa yang terjadi namun berusaha sekuat tenaga bangkit dan menghadapi apa yang ada di depan mata. Orang bilang kamu harus tegar saat bertubi - tubi dirundung masalah. Tidak apa - apa se-sekali menangis. Namun, tidak se-sedehana kelihatannya. Semua orang, hampir semua, pasti mengatakan ini saat ada masalah "aku membencinya" atau "kenapa harus aku? " . Namun beberapa orang memang dilahirkan menjadi orang yang tegar. Mungkin karena sepanjang hidupnya terasa sulit.

"Mama donorkan mata Mama ke Papa karena Papa itu kepala keluarga. Papa harus sehat untuk membahagiakan Aura sama Kakak. "

Aura tertawa getir. Di ujung tangga, tangannya gemetar. Mencengkram kuat apapun yang berada di sampingnya. Nyaris saja dia terjatuh.  Sebelum kata selanjutnya kembali terngiang.

"Kalau Mama? Mama gimana? Aura, Kakak, sama Papa nggak mungkin bahagia kalau Mama nggak bisa ngelihat. "

Justru, wanita paruh baya itu tersenyum lebar. Menggenggam erat tangan gadis remaja di pahanya. "Mama punya kalian. Papa bisa jadi mata Mama. Nanti, kalau Aura sudah jatuh cinta, Aura akan tahu perasaan Mama. Mama lebih hancur saat Papa sakit daripada Mama sendiri yang sakit. "

Kini, tawa kecil muncul dari bibir gadis itu. Tawa sinis penuh kebencian. "Kalau itu gue... Gue nggak akan jatuh cinta sama orang kayak Papa. "

Pengorbanan Mama... Pengorbanan Mama sia - sia. Pengkhianatan Papa setelah semua yang Mama lakukan. Laki - laki yang dulu sangat Aura sayang tiba - tiba menjadi laki - laki terbejat di matanya.

Matanya bergerak. Menyisir ruang tengah rumahnya. Ruangan yang dulu nya terasa ramai. Mereka akan menonton film sambil memakan camilan di depan televisi dan suara tawa mereka akan terdengar menggelegar disana. Lalu Mama akan datang dan mulai mengomel. Katanya suaranya terlalu keras, bisa mengganggu tetangga. Begitu katanya.

Ruangan itu masih sama. Masih ada televisi, foto keluarga di pigura, beberapa ornamen dari keramik, bahkan sofa empuk yang biasa mereka pakai saat menonton televisi juga masih sama. Hanya saja, sesuatu sepertinya hilang. Hanya benda saja yang tidak berubah. Orang - orang sudah berubah. Manusia selalu berubah sesukanya.

Cerita di ruangan itu saat ini, sudah tinggal kenangan.

***


"Lo yakin? "

Sudah belasan kali Arkan mengajukan pertanyaan yang sama. Tapi Calvin punya cukup tenaga untuk menganggukkan kepalanya, menjawab pertanyaan Arkan kesekian kalinya.

"Okedeh. " Arkan menunjukkan jempolnya tepat di depan muka Calvin.

Calvin menghembuskan napas lega. Bersyukur, cowok di depannya tidak akan mencecar-nya dengan pertanyaan itu lagi. Karena rasanya pertanyaan itu sudah berputar - putar di kepalanya.

"Ah... Beneran nih? " Calvin yakin, kemarin Arkan mau - mau saja. Dia malah memeluk Calvin erat saat Calvin membisikkan ide itu padanya. Berterima kasih lalu memasang wajah antusias.

Arkan dan AuraWhere stories live. Discover now