EMPAT BELAS (b)

875 46 0
                                    


Perdebatan Calvin dan Rebecca yang sudah lama tidak Aura dengar, entah kenapa bisa jadi moodboster kali ini. Dulu, ia suka menutup telinga. Budek sendiri karena dua orang itu terus berdebat menggunakan nada tinggi.

"Babe kamu kalau di sekolah jangan panggil aku sayang dong. " rajuk Rebecca. Cewek yang duduk di bangku mobil depan, tepat di samping Calvin itu memasang raut kesal.

"Enggak papa yang. Dia juga nggak lihat kok."

Tetap saja, Rebecca tidak terima. "Kalau dia mau pisahin kita lagi gimana? Kamu nyadar nggak sih, aku itu khawatir?"

"Iya sayang. Aku nggak gitu lagi," akhirnya, Calvin juga yang mengalah. Debat melawan Rebecca memang tidak bisa menang. "Lagian kenapa sih, dia masih ngejar - ngejar kamu?"

Calvin menggaruk tengkuk-nya. Cowok itu melirik spion penumpang, melayangkan tatapan meminta bantuan pada Aura. Namun cewek di belakang-nya itu justru terkekeh dan mengedikkan bahu. "Mungkin karena aku terlalu ganteng, " seloroh-nya.

Tangan Rebecca memukul pundak Calvin dengan kencang. Bukan pukulan manja yang lembut seperti biasa. "Ih kamu! Yang bener dong. "

Calvin meringis, "Dia mungkin nggak terima aku putusin. Dia kira itu salah kamu, " tutur-nya. Rebecca manggut - manggut. Selebihnya asumsi Rebecca, Joule itu sakit hati, karena mana ada sih, cewek yang mau diputusin cowok-nya.

Dibelakang mereka, Aura tersenyum getir. Bayang - bayang kakak-nya dan orang yang dicintai-nya berpelukan membuat dada-nya kembali sesak. Setetes air mata kembali jatuh. Namun dengan cekatan, tangan-nya bergerak menyeka air mata itu. Untung saja, tadi Rebecca dan Calvin tiba - tiba lewat, menawarkan tumpangan. Juga, semoga saja, mereka tidak melihat Aura menangis. Meski kelihatan-nya memang tidak.

"Lo turun disini kan Ra? " Suara berat milik Calvin menyadarkan-nya. Dengan cepat ia mengangguk, "Gue duluan ya, makasih buat tumpangan-nya. "

"Bener lo nggak papa turun sendiri disini? " Tanya Rebecca menghentikan Aura yang membuka pintu. Gadis itu mengangguk. Mengatakan kalau dia akan baik - baik saja. "Bye! "

Mungkin kali ini Aura benar - benar sendirian. Karena hal ini tidak mungkin ia ceritakan pada sahabat-nya. Hal ini menyangkut keluarga-nya. Entah ada angin apa tiba - tiba kedua orang itu berpelukan, tapi, Aura yakin Anjani punya alasan.

Apapun yang terjadi saat ini, Aura butuh seseorang. Sebuah nama bercokol di kepalanya saat ini. Tidak ada waktu untuk bimbang, karena selain orang itu, mungkin tidak ada kandidat lain saat ini. Pasti, ia akan datang bila Aura menghubunginya. Meski itu asumsi Aura, tapi memang kenyataan begitu.

Gadis itu merogoh ponsel-nya di dalam tas. Mengeluarkan-nya dan bergegas mengetikkan sesuatu disana. Namun gerakan jarinya berhenti. Apa gue telfon aja ya?

Perempuan itu menggulir layar ponsel-nya, mencari kontak laki - laki itu dan menelfon-nya.

Tidak diangkat.

Mungkin dia sibuk. Tapi Aura tidak menyerah begitu saja. Ia tetap mencpba menelfon-nya, sampai cowok itu mengangkat. Karena ia ingat kata - kata-nya. Dia...akan selalu ada untuk Aura kan? Itu dia yang mengucapkan-nya sendiri.

Sekarang kalau boleh Aura jujur, dia membutuhkan-nya. Aura butuh Arkan.

***

"Arkan! "

Papa berteriak dari bawah. Menyadarkan Arkan yang masih setengah tersadar. Hampir saja tidur kalau suara berat yang terdengar berteriak itu menyerukan nama-nya. Secepat kilat, ia bergegas menghampiri papa. Siapa tahu ada yang penting.

Di ujung tangga, Arkan berhenti sejenak, menatap wajah papa yang kelihatan panik. "Kenapa pa? "

"Adek kamu belum pulang. Ini udah hampir malam. Kamu bisa tolong cari dia?"

"Iya, Arkan ambil kunci dulu. "

Arkan bergegas naik, mengambil kunci dan menyambar jaket-nya.

"Arkan."

"Iya pa? "

"Hati - hati. "

Arkan mengangguk sebelum benar - benar pergi. Membelah jalanan ramai ibukota. Sambil berpikir kira - kira dimana adik-nya itu berada.

Sudah satu jam Arkan menyusuri jalanan. Mampir ke kafe sebentar, lalu ke mall, lalu ke taman. Siapa tahu Arsyi ada disana. Tapi hasil-nya nihil. Gadis itu tidak ada dimana - mana.

Langit juga mulai menggelap. Setelah matahari benar - benar tenggelam, Arkan tidak tahu lagi, harus mencari gadis itu kemana. Lagipula, anak itu masih terlalu kecil untuk keluyuran jam segini.

Namun motor-nya membawa-nya di sebuah area balapan. Dimana ada segerombol orang yang sedang bersorak riang. Mengerubungi seseorang yang Arkan tebak, dia menang balapan. Awal-nya Arkan ingin langsung saja, lurus terus. Tapi...

"ARSYI! " Arkan nyaris hilang kesabaran. Amarah-nya memuncak melihat adik perempuan-nya memeluk pundak cowok yang sedang duduk di atas motor dengan mesra. Pakaian-nya juga terlalu...

Semua orang menoleh. Bukan hanya Asyi yang terkejut. Semua orang menatap ke arah Arkan. Diam memperhatikan cowok itu yang berteriak, turun dari motor, melepas helm-nya, lalu berderap mendekat. Dengan rahang kencang dan mata yang memerah, Arkan menyeret Arsyi ikut pada-nya. "Ayo pulang! " Walau gadis itu agak melawan, tentu tenaga-nya tidak sebanding dengan Arkan. Apalagi cowok itu sedang marah. Dengan paksa, ia menyuruh adik-nya naik ke atas motor.

"Kakak ngapain sih, tiba - tiba muncul. Ganggu aja. " Arsyi mendumel terus di perjalanan, namun tak membuat Arkan melunak sedikit-pun.

Sampai rumah juga begitu. Ia menarik tangan Arsyi paksa dan mendorong-nya masuk ke rumah. "Aw! Sakit tolol! "

Mama menghampiri-nya, lalu melotot tajam ke arah Arkan. "Kamu jangan kasar sama adek kamu. Mentang - mentang cowok." Arkan mendengus, tidak menyahut mama. Namun sorot mata-nya memandang lurus ke arah papa. "Udah aku bawa pulang pa, anak-nya. "

"Kamu dari mana aja?! Anak gadis kerjaan-nya keluyuran terus!" Papa tidak menggubris Arkan. Dia langsung mengeluarkan nada tinggi. Tidak peduli anak gadis-nya sudah terisak.

"Papa! Anak baru pulang langsung dimarahin. "

Mama memeluk Arsyi. Mengusap - usap punggung anak gadis-nya. Dalam hati sebenarnya mama tidak membenarkan perilaku Arsyi. Tapi mendengar suami-nya membentak anak-nya membuat hatinya ikut sakit.

"Kalau kamu begini terus, papa masukkan kamu ke pondok pesantren. Mau? " Arsyi menggeleng pelan dalam dekapan mama.

Papa memijat pelipis-nya. Merasa pusing harus bagaimana lagi mengatur keluarga-nya. "Terserah, kamu atur sendiri. Aku capek! " setelah itu papa melenggang pergi ke kamar, dan membanting pintu.

An.

Guys. Sebelum 700 vote saya sudah update. Baik ga author-nya?

Pada komen dong. Apa gitu... Sepi banget deh, perasaan.

Hoho see you next! Xoxo

Arkan dan AuraWhere stories live. Discover now