DUA PULUH LIMA (b)

697 28 3
                                    

Pagi - pagi sekali Arkan datang ke rumah Aura. Menjemput pacarnya dan berpamitan pada Mama-nya Aura dan Anjani.

Aura berhenti di depan rumah untuk memakai sepatu dan melirik Arkan sesekali. Pikirannya bingung akan sesuatu. Reaksi Arkan membuatnya agak rancu untuk mengatakan hal itu. Tentang haruskah ia memberitahu Arkan kalau Josh mengajaknya bertemu nanti sore atau tidak.

"Um... Arkan," panggil Aura.

"Ya? "

"Nggak jadi. "

Aura kembali menelannya bulat - bulat. Tidak perlu izin pada Arkan. Cukup memastikan kalau Arkan tidak tahu dia bertemu Josh diluar. Lebih baik begitu saja. Karena kalau tidak mungkin masalah akan merembet kemana - mana dan menimbulkan salah paham. Ujung - ujungnya pasti bertengkar.

"Ra. "

"Hm? "

"Kamu bisa pulang sendiri kan, hari ini? Aku ada urusan. Atau nggak aku suruh Calvin nebengi kamu. "

Aura menggeleng, "Nggak usah. Aku bisa sendiri. Kamu tenang aja."

"Maaf ya. "

"Nggak papa Arkan. "

"Yaudah yuk berangkat, " jari  jemari Arkan menyelip diantara jari jemari Aura.  Lalu dia menggenggamnya lembut.

Gadis itu sedikit tersentak dengan perlakuan Arkan yang berbeda. Dia suka karena ada debaran aneh yang menyenangkan di dadanya saat ini. Juga tidak suka karena ini kesekian kalinya dia bingung harus merespon bagaimana.

Aura berdehem dan melepaskan tangannya dengan gerakan halus.

"Sori. Kamu nggak suka ya? " Tanya Arkan merasa tidak enak.

"Aku nggak nyaman. Aku...bingung. "

Arkan tersenyum maklum, "Kamu deg - deg-an ya aku pegang tangannya? " Arkan memasang senyum super jahil sambil menaik turunkan alisnya.

Rasanya ingin sekali menimpuk wajah Arkan pakai sepatu. Tapi sayang sepatunya. "Apasih lo! B aja," ketus Aura. Setelahnya, dia berderap cepat menuju motor Arkan.

"Cepetan! " Ujar Aura gemas.

Namun, tawa Arkan berderai lagi. Mau tak mau Aura memasang wajah paling asamnya di depan Arkan. Karena sial-nya Arkan menang kali ini. Cowok itu benar. Aura deg - deg-an. Aneh kan? Menurut Aura itu aneh.

"Haha iya deh. Ayo my sweety pumkin, your boyfriend is waiting of you. " Ucap Arkan jenaka.

Aura memutar bola matanya, "Grammar-nya salah. Yang bener your boyfriend's waiting. " koreksinya.

Arkan terkekeh, "Nggak papa. Sengaja salah emang. "

Aura mengangkat satu alisnya, bertanya.

"Biar kamu benerin lah yang, " semburat merah merambat dari pipi hingga ke telinga Aura. Cewek itu menggoyangkan tangannya bermaksud menyudahi percakapan ini. "Ah udah ah! Sayang - sayang pala lu peyang? Buruan jalan!"

"Siap nyonya Arkan. " Setelah itu, Arkan menghidupkan mesin motornya. Memberikan helm untuk Aura lalu mulai melajukan motornya.

Aura menunduk di belakang Arkan. Kaca helmnya sengaja ia buat menutupi wajah agar Arkan tidak melihatnya. Kalau Aura sedang senyum - senyum sendiri. Gitu - gitu Aura juga tetap bisa baper waktu Arkan memanggilnya sayang. Apalagi yang terakhir. Apa tadi? Nyonya Arkan? Ck, Arkan ada - ada saja.

Tanpa diketahui Aura, sebenarnya Arkan tahu Aura sedang tersenyum di punggungnya. Namun tidak seperti biasa, dia diam saja. Menahan diri untuk menggoda cewek itu, atau sekadar bilang, "Ciee senyum - senyum. " Dia kasihan dengan Aura kalau tahu dirinya sadar Aura sedang senyum - senyum di belakang sana. Mungkin cewek itu bisa malu berat. Apalagi sekarang ini, posisi mereka cukup dibilang romantis. Romantis menurut Arkan itu sederhana, tidak muluk - muluk. Tersenyum tanpa saling menatap di atas motor begini juga sudah romantis. Paling banter kalau Aura mau memeluknya dari belakang seperti Dilan dan Milea, bisa jadi sangat romantis. Tapi bukan muhrim. Lagipula kalau Aura memeluknya dari belakang dia takut khilaf.

Arkan dan AuraWhere stories live. Discover now