LIMA BELAS

1.4K 69 2
                                    

~Because, you're stronger than everyone say. ~

MASIH memandang riuh-nya hujan yang turun ke bumi. Anjani terdiam di samping jendela kamar-nya. Sayup - sayup, ia juga mendengar mama-nya menangis. Meski tidak kencang. Mungkin kalah dengan suara hujan. Anjani menghela napasnya.

Hati-nya teriris. Sejak mama kehilangan penglihatan-nya. Sejak papa dibutakan oleh cinta-nya. Saat itu, Anjani harus kuliah sambil kerja sambilan. Tidak mudah tentu saja. Beban dipundak-nya bertambah berat, saat gugatan cerai papa diterima oleh pengadilan. Memang, Anjani tahu mama sudah tidak mungkin bisa bersama papa lagi. Tapi tetap, bagaimana-pun ia memiliki hati seorang anak. Meski setipis kertas, ia juga berharap, ada penyelesaian yang lebih baik. Keputusan yang lebih baik dari ini, bagi keluarganya.

Sejak saat itu, hari - hari bahagia Anjani berubah suram. Namun sejak itu pula, ia berjanji, Anjani tidak akan menangis lagi.

Namun kali ini ia membuat adik satu - satu-nya menangis. Menangis dan berlari keluar sana saat hujan seperti ini. Masih ada ego sebagai perwujudan sifat asli-nya. Membuat-nya urung untuk mengejar Aura tadi. Meskipun ingin.

Anjani mengingkari janji-nya. Kali ini, ia menangis. Menemani adik-nya yang pasti sedang menangis di luar sana. Entah dimana, entah bersama siapa.

"Anjani. "

Tangan gadis itu terulur menyeka air mata di pipi-nya. Sebelum menengok ke arah pintu dimana mama memanggil-nya. "Iya ma? "

"Aura belum pulang ya nak? "

Anjani menggeleng pelan, walau ia tahu, mama tidak bisa melihat-nya. "Belum ma. "

"Dia kemana? "

"Belajar kelompok mungkin, di rumah temen-nya, " ada senyum paksa saat ia mengucapkan kebohongan itu. Tidak mungkin kan, dia bilang kalau ia dan adiknya bertengkar gara - gara anak ingusan itu.

Mama tidak langsung menyahut. Ia hanya diam, seperti tengah berpikir. "Anjani."

"Iya? "

"Mama mau ngomong sesuatu ke kamu. "

***

"Jam berapa sih ini? "

Aura sedikit membuka mata-nya. Mengecek jam dinding kamar-nya.

"Mampus!"

Sudah pukul tujuh.

Gadis itu langsung berdiri sempurna. Gelagapan mencari handuk dan berlari ke kamar mandi. Baru sampai pintu, Aura berbalik, menggantung handuk itu lagi dan kembali berbaring di ranjang-nya.

"Ini hari minggu."

Aura mengucek mata-nya. Melirik ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Ia mengulurkan tangan untuk meraih-nya. Lalu menggulir layar ponsel-nya. Ada beberapa notifikasi pesan masuk di sana. Juga ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari orang yang sama.

Arkan.

Suara ketukan pintu mengambil alih perhatian Aura, "Iya? "

Muncul mama dengan pakaian-nya yang lumayan rapi. "Ayo turun. Kita sarapan bareng. Terus siap - siap ke pengadilan. "

"Ha? " Pengadilan? Oh ya...hari ini sidang putusan. "Iya ma. "

Arkan dan AuraWhere stories live. Discover now