~Because, you're stronger than everyone say. ~
MASIH memandang riuh-nya hujan yang turun ke bumi. Anjani terdiam di samping jendela kamar-nya. Sayup - sayup, ia juga mendengar mama-nya menangis. Meski tidak kencang. Mungkin kalah dengan suara hujan. Anjani menghela napasnya.
Hati-nya teriris. Sejak mama kehilangan penglihatan-nya. Sejak papa dibutakan oleh cinta-nya. Saat itu, Anjani harus kuliah sambil kerja sambilan. Tidak mudah tentu saja. Beban dipundak-nya bertambah berat, saat gugatan cerai papa diterima oleh pengadilan. Memang, Anjani tahu mama sudah tidak mungkin bisa bersama papa lagi. Tapi tetap, bagaimana-pun ia memiliki hati seorang anak. Meski setipis kertas, ia juga berharap, ada penyelesaian yang lebih baik. Keputusan yang lebih baik dari ini, bagi keluarganya.
Sejak saat itu, hari - hari bahagia Anjani berubah suram. Namun sejak itu pula, ia berjanji, Anjani tidak akan menangis lagi.
Namun kali ini ia membuat adik satu - satu-nya menangis. Menangis dan berlari keluar sana saat hujan seperti ini. Masih ada ego sebagai perwujudan sifat asli-nya. Membuat-nya urung untuk mengejar Aura tadi. Meskipun ingin.
Anjani mengingkari janji-nya. Kali ini, ia menangis. Menemani adik-nya yang pasti sedang menangis di luar sana. Entah dimana, entah bersama siapa.
"Anjani. "
Tangan gadis itu terulur menyeka air mata di pipi-nya. Sebelum menengok ke arah pintu dimana mama memanggil-nya. "Iya ma? "
"Aura belum pulang ya nak? "
Anjani menggeleng pelan, walau ia tahu, mama tidak bisa melihat-nya. "Belum ma. "
"Dia kemana? "
"Belajar kelompok mungkin, di rumah temen-nya, " ada senyum paksa saat ia mengucapkan kebohongan itu. Tidak mungkin kan, dia bilang kalau ia dan adiknya bertengkar gara - gara anak ingusan itu.
Mama tidak langsung menyahut. Ia hanya diam, seperti tengah berpikir. "Anjani."
"Iya? "
"Mama mau ngomong sesuatu ke kamu. "
***
"Jam berapa sih ini? "
Aura sedikit membuka mata-nya. Mengecek jam dinding kamar-nya.
"Mampus!"
Sudah pukul tujuh.
Gadis itu langsung berdiri sempurna. Gelagapan mencari handuk dan berlari ke kamar mandi. Baru sampai pintu, Aura berbalik, menggantung handuk itu lagi dan kembali berbaring di ranjang-nya.
"Ini hari minggu."
Aura mengucek mata-nya. Melirik ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Ia mengulurkan tangan untuk meraih-nya. Lalu menggulir layar ponsel-nya. Ada beberapa notifikasi pesan masuk di sana. Juga ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari orang yang sama.
Arkan.
Suara ketukan pintu mengambil alih perhatian Aura, "Iya? "
Muncul mama dengan pakaian-nya yang lumayan rapi. "Ayo turun. Kita sarapan bareng. Terus siap - siap ke pengadilan. "
"Ha? " Pengadilan? Oh ya...hari ini sidang putusan. "Iya ma. "
YOU ARE READING
Arkan dan Aura
Teen FictionIni cerita tentang Arkan, cowok terkenal dan ganteng buat cewek - cewek di sekolahnya. Dan Aura. Cewek yang ditaksir Arkan. Menurut Aura, Arkan itu gila. Nembak pas upacara bendera. Di depan kepala sekolah pula. Menurut Arkan, Aura itu wajib dikeja...