DUA PULUH TUJUH

765 30 2
                                    

"Setiap orang tua adalah manusia yang bisa berbuat salah. Jangan terlalu menuntutnya menjadi sempurna. Karena sejak kamu lahir di dunia, menurut mereka kamu sudah sempurna. "

-------

Setelah semua yang terjadi kemarin, Arkan tidak lagi menghubunginya, berbicara padanya, bertegur sapa-pun tidak. Saat mereka tidak sengaja berpapasan di sekolah, matanya terfokus pada lautan manusia di depannya. Menyumpal telinganya dengan headset. Atau sekadar melewatinya seperti mereka tidak saling kenal.

Abel tersenyum ironis.

"Sial! "

Tepat saat Abel akan menyahut nama cowok itu. "Sam-"

"Dany lo nggak papa? " Justru Arkan lebih memilih menanyakan keadaan Dany ketimbang menjawab sapaannya.

"Oh bro! Bu Anita nggak jadi absen. Gue belum belajar buat ulangan lagi. Sial banget! " celetuknya.

Abel, menarik ujung bibirnya. Arkan masih mengabaikannya.

Arkan mengangguk dan tersenyum singkat lalu berpamitan pada Dany. Matanya melirik ke arah Abel samar, lalu berlalu pergi dari sana.

Sementara, Abel mengepalkan tangannya di tempatnya berdiri. Diabaikan rasanya lebih sakit dari yang dia kira. Abel tahu, masalahnya adalah, dia sudah bukan prioritas Arkan lagi sekarang.

***

"Jadi lo udah tahu," ucap Calvin tenang. Seakan itu bukan masalah besar. Hanya kerikil kecil yang tidak menimbulkan kerugian apapun.

Arkan mengecilkan volume musiknya, lalu menoleh ke arah Calvin dengan kernyitan alis. Ia mennyipitkan mata, "Lo udah tahu? " Tanya Arkan terkejut sekaligus penasaran.

"Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang, " jawab Calvin santai. Dia terkekeh sebentar sambil menggoda Arkan. "Akhirnya...,lo tahu," sambung Calvin.

Arkan menahan diri untuk tidak mendengus. Ia ingin tahu lebih jauh.

"Lo tahu dari kapan? " gerutu Arkan.

"Hm..., kapan ya? Lupa gue. " Calvin mencoret deretan huruf di S.O.S di buku tulisnya. Lalu menggoyangkan kepalan tangannya seraya bergumam "yes! "
Semua orang yang melihat Calvin bermain sendiri akan beranggapan dia orang stress.

Kali ini Arkan mendengus.

"Kemarin dulu, Aura ajak gue ketemuan dia taman," cowok itu menarik rambutnya keatas menggunakan jari.

"Ngapain? " Calvin menoleh.

"Ngajak balikan."

Alis Calvin diangkat sebelah, "Lo..."

"Gue nggak mau. Gue nggak mau dia main - main lagi sama perasaan gue. Gue juga capek. Capek sama semuanya, capek gue capek. "

Calvin terkekeh geli. Namun setelah itu dia berdecak sambil geleng - geleng kepala, "Syukur lo udah tobat jadi bucin. " Calvin berkomentar.

"Tapi gue kagum sih sama Aura," ucap Calvin berpendapat. "Etapi kalau dia beneran gimana?"

"Beneran apanya? "

"Beneran udah suka sama lo? "

"Nggak mungkin" Arkan tersenyum miris.

Ganti Calvin yang tersenyum, culas. "Saran gue ati - ati. Perasaan cewek kayak astor ini nih." Tangan Calvin bergerak membuka bungkus astor, mengeluarkan dari bungkusnya dan meremas astor di tangannya. "Mudah hancur. "

Arkan memelototi Calvin, "Itu punya gue..., kenapa lo ancurin"decak Arkan kesal.

Calvin melotot kaget. Mulutnya terbuka lebar lalu perlahan melebar. Dia menyengir dan mengacungkan dua jarinya ke udara, "Hehe, peace. "

Arkan dan AuraWhere stories live. Discover now