1

7.4K 490 18
                                    

***Hi...akhirnya saya memulai cerita ini. Semoga tidak sulit ya mengembangkan cerita ini, i hope so...temanya masih drama mellow2 dan mungkin tidak terlalu baru idenya (masih belum ada bakat buat tulisan yang lucu2) tapi semoga saya bisa mengemas ceritanya dengan baik. Untuk update saya nggak janji berapa kali seminggu tapi sebisa mungkin saya nggak akan lama-lama...seperti biasa harap maklum kl nemu typo..

***saya menggunakan sudut pandang orang pertama di cerita ini, jadi bisa saja POVnya Ava, Erick atau karakter yang lain...selamat membaca dan mengikuti ya...!

Ava Argani

Berada di kaki bukit tidak serta merta membuat Ende terasa sejuk, mungkin karena kota ini juga berada di pesisir pantai yang membuat kota ini terasa begitu terik. Sudah berkali-kali aku menyeka kening dan tengkuk yang lembab sambil mondar-mandir di lorong-lorong rumah sakit yang kebanyakan menanjak. Rumah sakit umum daerah ini adalah satu-satunya rumah sakit yang melayani dua kabupaten sekaligus jadi bisa bayangkan betapa ramainya tempat ini. Jumlah pasien dari kedua kabupaten tersebut yang datang ke RS ini tidak sebanding dengan tenaga kesehatan terutama dokter. Saat ini aku sedang menjalankan rotasi rumah sakit sebagai dokter jaga IGD.

Sebagai dokter baru,ada rasa canggung dan tidak percaya diri saat memeriksa pasien. Terutama saat bertugas di Instalasi Gawat Darurat dimana pasien yang datang sangat beragam mulai dari yang sangat gawat dan harus segera membutuhkan pertolongan, namun ada pula yang hanya rawat jalan. Dan dokter magang sepertiku selalu dipandang sebagai dokter yang memiliki banyak pengalaman, karena rumah sakit ini hanya memiliki 3 dokter spesialis yaitu kandungan, penyakit dalam dan patologi klinik, untungnya sebentar lagi RS akan mendatangkan dokter residen anak untuk dirotasikan selama 2 bulan.

"Bagaimana dokter?" istri pasien yang sedang kutangani menatapku dengan raut cemas. Ibu berusia sekitar empat puluhan ini mengantar suaminya yang menurutnya sudah mengalami pusing yang berkepanjangan bahkan sampai muntah-muntah, bahkan baru beberapa menit lalu si suami kembali memuntahkan isi perutnya. Ruang IGD yang tidak terlalu besar ini dengan suhu pendingin udara yang sudah tidak bekerja secara maksimal sungguh menimbulkan aroma yang beragam yang sudah menjadi udara keseharianku.

"Dia punya riwayat stroke ringan, diabetes, tekanan darah tinggi. Saya mau dia dirawat saja dokter biar dokter bisa pantau terus." Kata ibu itu sambil sesekali menatap suaminya yang tak berdaya di atas ranjang perawatan.

"Bu, harus dimonitor di UGD dulu, kami tak bisa melepas langsung ke ruang perawatan, khawatir terjadi apa-apa. DI UGD ini dokter siap 24 jam, dan di cek terus-menerus, setelah stabil, mudah-mudahan besok pagi sudah bisa dipindah ke ruang perawatan."

"Begitu ya dokter? Baiklah." Ibu tu mengangguk paham dan sedikit lega.

Satu jam kemudian, aku mulai memijit area di antara kedua mataku kemudian menghempaskan tubuhku ke atas kursi. Melirik sebentar pergelangan tanganku untuk memantau waktu, sudah pukul sebelas malam. Aku menghembuskan napas pelan karena kelelahan. Hanya aku dokter jaga di sini, otomatis malam ini aku harus terus terjaga sambil mengecek kondisi bapak Nadus, pasien tadi.

Aku tidak sadar sudah berapa lama aku tertidur dengan posisi duduk dan bersandar di tembok, ponsel di dalam kantung bajuku bergetar. Aku mengerjapkan mataku dan dengan setengah menguap aku menerima panggilan itu. Sekilas tadi aku melihat nama Tania di layar ponselku.

"Ya kak," sapaku sambil berusaha menahan diri untuk tidak menguap lagi.

"Ava?" terdengar suara laki-laki di seberang sana. Aku langsung memperbaiki posisi dudukku. "Benar ini Ava?"

"Ya. Ini dengan siapa ya?"

"Ummm...saya teman Tania. Tania kakak Anda bukan? Dia sepertinya mabuk dan saya nggak tahu harus mengantarnya kemana?"

SAUDADE (Fly Me High) -  BACA LENGKAP DI STORIAL.COTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang