30

3.4K 441 30
                                    


Erick Leitner

Hampir pukul 11 malam saat kakiku menapak dengan cepat di lantai lobi apartemen. Ava sedikit membuatku khawatir karena beberapa pesanku sejak beberapa jam lalu belum dibalas olehnya. Sudah dua kali aku membunyikan bel pintu namun perempuan yang membuatku rindu setengah mati itu sama sekali belum muncul di depanku. Kekhawatiranku semakin berlipat yang membuatku dengan cepat mengambil ponsel dan mendial nomornya. Saat ponsel masih menempel di telingaku, pintu di depanku akhirnya bergerak terbuka. Aku menarik napas lega sambil sumringah namun beberapa detik kemudian ekspresi di wajahku hilang seketika.

Dia bukan Ava. Dan....aku pernah melihatnya di suatu tempat.

Perempuan di depanku pun sama terpakunya denganku. Beberapa detik berlalu sebelumnya akhirnya ia tersadar dan cepat-cepat merapikan rambutnya kemudian memandangku dengan ekspresi takjub yang kembali sama saat ia pertama kali melihatku tadi.

"Kamu?" ucapku pelan.

"Kamu Erick kan?" aku bisa melihat kerut berlapis yang tercipta di keningnya. "Bagaimana...?" dia menoleh ke dalam sebentar sebelum pandagannya kembali ke arahku. Raut tidak percaya tergambar jelas di sana.

"Kamu...temannya Ava?" aku kembali membuka suara.

"Gue Desi. Kita pernah ketemu di Bali."

"Ah...iyaaaa...aku ingat."

Aku tersenyum kecil mengingat pertemuan kami waktu itu. Sekarang cerita itu terasa nyata di ingatanku. Ketika aku dan Ava masih menjadi orang asing namun seperti sudah terikat sebuah takdir. Di depanku, perempuan bernama Desi itu sama sekali tidak merespon senyumku. Ia masih bertahan dengan ekspresi awalnya bahkan sekarang terlihat lebih judes.

"Lalu kenapa kamu bisa ada di sini?" Dia bersedekap memandangku.

"Ini apartemenku." Kataku ringan. Mulutnya setengah membuka saat mendengar jawabanku. Ia berdesis kesal dan sekali lagi menoleh ke arah dalam apartemen sebelum akhirnya berjalan cepat masuk ke sana dengan langkah tegas. Aku menghembuskan napas pelan dan ikut masuk ke dalam.

Aku bisa melihat Ava memandang kami bergantian dengan wajah kusut seperti baru bangun tidur. Ia butuh beberapa detik untuk menyadari apa yang sedang terjadi di depannya. Aku bisa melihat ringisan kecil yang tercipta di wajahnya.

"Kita ketiduran. Ada orang yang nekan bel berkali-kali. Dan lihat siapa yang gue temuin di depan pintu."

Desi melirikku tajam sekilas sebelum melemparkan kembali pandangannya ke arah Ava.

Ava berdehem seperti sedang mencari kata untuk menjelaskan. Aku berjalan mendekatinya dan berdiri di sampingnya. Perlahan tangan kananku merangkul bahu Ava yang diresponnya dengan sedikit canggung.

"Ava tunanganku." Aku bisa merasakan tubuh Ava bergerak kaku. Ekor mataku bisa menangkap tatapan tajamnya ke arahku.

"Ha?!" Desi menjerit kecil. Dia memandang Ava menuntut jawaban.

"Umm....kita belum resmi tunangan." Ava mendelik ke arahku sepertinya ia tidak setuju dengan caraku yang sudah membuat dia harus bekerja ekstra keras nantinya untuk membuat sahabatnya itu paham dengan semua berita ini. "Gue minta maaf, Des. Gue memang belum cerita ini ke lo tapi...."

"Gila! Gila!" Desi menyambar cepat tasnya dan segera ingin keluar dari apartemen. Ava dengan cepat menarik tangan perempuan itu.

"Jangan gini dong, Des."

Aku menghembuskan napas dan berjalan mendekati mereka.

"Aku keluar sebentar. Kalian perlu bicara." Aku menepuk bahu Ava pelan dan berjalan keluar diiringi tatapan ganas Desi.

SAUDADE (Fly Me High) -  BACA LENGKAP DI STORIAL.COWhere stories live. Discover now