13

2.7K 343 12
                                    


Ava Argani

Kebingungan mulai melandaku saat kakiku kembali menginjak ibu kota. Seminggu sebelum kepulanganku aku menghubungi Kak Tania menanyakan keadaan Mama sekaligus bertanya padanya apakah sebaiknya aku tinggal di rumah atau kembali ngekos seperti saat aku kuliah.

"Lo kembali ke rumah aja. Itu rumah lo juga. Kalau masalah menghadapi Mama lo kan jagonya gue yakin lo justru lebih survive dibanding gue." Tania menjawab dengan begitu santai dan aku bisa memahaminya tapi dia salah kalau mengatakan bahwa aku lebih jago menghadapi Mama karena pada dasarnya Mama tidak menganggap aku ada, jadi tidak ada usaha khusus bagiku untuk menghadapinya bukan?

Aku menyeret koperku tanpa semangat. Aku masih belum bisa menghilangkan kesedihanku meninggalkan Bapak Frans dan Mama Bunga serta si kecil Mario yang setahun ini sudah menjadi keluargaku.

"Ava." Sebuah suara di antara kerumunan orang-orang di bagian kedatangan sekejap membuatku terpaku. Aku mencoba mencari sumber suara itu dan mendapati Rama melangkah mendekatiku dengan senyum tersungging di bibirnya. Aku tidak pernah memintanya untuk menjemputku di bandara dan aku bahkan tidak ingat kapan aku mengatakan tanggal kepulanganku ke Jakarta. Aku hanya ingat pembicaraan serius kami terakhir kali malam itu, tiga hari sebelum ia kembali ke Jakarta.

"Aku masih belum tahu dengan perasaanku saat ini." Aku masih mencoba mengelabui, memainkan trik tarik ulur yang tidak pernah basi digunakan setiap perempuan.

"Aku nggak memaksa kamu. Aku juga perlu menyelesaikan sesuatu yang belum beres antara aku dan..." Rama tidak menyebut nama Ayana di depanku.

"Kita lihat nanti setelah kita sama-sama di Jakarta." Satu pernyataan yang sekali lagi kupakai untuk mengaburkan perasaanku yang sesungguhnya.

"Aku setuju." Dia mengangguk sepertinya dengan mudah menangkap pesan tersiratku.

Dan tidak perlu heran jika pesan tersiratku akan berimbas pada kehadiran Rama sore ini di bandara. Ini pertemuan kami setelah sebulan lamanya. Tidak ada yang berbeda darinya. Ia masih tampan di balik kaca mata minusnya. Aku sekejap mengintip penampilanku sore ini, masih sama seperti biasanya. Kaus oblong, jeans lusuh dan sepasang sneaker yang tak kalah lusuhnya. Lalu aku kembali memandang Rama yang terlihat jauh lebih berkilau hanya dengan t-shirt putih polos plus jeansnya. Aku menggigit bibirku menyadari perbedaan yang mencolok ini. Bukan perbedaan antara aku dan Rama tetapi antara aku dan mantannya, entahlah apakah mereka sudah menyandang predikat itu? Apa yang Rama lihat dariku?

"Bawaanmu cuma ini?" Rama menggerakkan dagunya ke arah koporku. Aku mengangguk. Dengan sigap ia mengambil alih pegangan koperku.

"Hi step sister!" suara yang sangat kukenal dengan sapaan khasnya masuk ke pendengaranku dan menghentikan langkahku. Rama melirikku dan ikut berhenti kemudian pandangannya ikut mengarah sejurus pandanganku.

"Kamu nggak bilang kalau udah ada yang jemput." Tania melirik Rama sambil memberikan pelukan ringan padaku.

"Hello..." Tania mengulurkan tangannya di depan Rama. "Tania, kakak Ava." Rama menyambut uluran tangan Tania dan menyebutkan namanya.

"Nggak pernah dengar Ava punya teman namanya Rama." Tania menyipitkan matanya memandangku dengan nada penuh selidik dan membuat Rama menciptakan senyum kecil.

"Dokter Rama spesialis anak yang ditugaskan dua bulan di Ende."

"Ahhhh...dokter juga ternyata." Rama mengangguk kecil. "Dokter spesialis anak? That sounds cute." Tania tertawa sendiri dan membuatku ingin segera menyumpal mulut kakakku itu.

"Um...oke deh aku nggak mau menjadi pengganggu...whatever hubungan yang terjalin antara kalian." Aku meneguk ludah mencoba mentolerir mulut cablak Kak Tania. "Rama, anterin adek gue ke rumah. Ingat, ke rumah ya....Ava tau kok alamatnya." Tania nyengir melihat ke arahku dan berlalu dari hadapan kami.

SAUDADE (Fly Me High) -  BACA LENGKAP DI STORIAL.COWhere stories live. Discover now