36

3K 329 11
                                    

Warning: Typo


Ava Argani

Hujan cukup deras menemani perjalanan aku dan Erick ke Bogor. Ya, hari ini aku akan resmi mengenalkan Erick pada Kakek dan Nenek meski mereka pernah sekali bertemu di rumah saat upacara pemakaman Mama. Erick tampak santai, tak terlihat sedikitpun beban di wajahnya. Sebaliknya dengan aku. Ada rasa gugup yang membayangi perjalananku kali ini. Aku tidak tahu kenapa aku merasa seperti ini. Aku melirik Erick yang asyik ikut bernyanyi bersama Adam Levine yang terdengar dari stereo mobilnya. Sesekali dengan senyumnya ia menunjuk ke arahku saat menyenandungkan lirik 'cause girls like you, run around with guys like me' aku hanya tersenyum kaku menimpali aksinya itu.

"Kok kamu jadi yang gugup, beb? Seharusnya kan aku?" dia mengecilkan volume sambil melihat ke arahku. Ekspresiku ternyata jelas sekali menampakan yang ada di hatiku.

"Nggak kok? Gugup apanya?" aku berkelit sambil mengulurkan tangan dan mengembalikan volume radio ke semula.

"Kenapa? Kamu masih malu mengenalkan aku sebagai calon suami?"

"Apaan sih? Awas ya entar kalau bilang-bilang kayak gitu ke mereka. Pokoknya jangan singgung tentang pernikahan." Ancamku dan membuat kening Erick berkerut.

"Kok gitu? Okay terus kamu mau mengenalkan aku sebagai apa?"

"Ummm...pacarlah." Kataku pelan sambil membuang pandanganku keluar. Oke, aku memang cupu dalam hal seperti ini, mengatakan hal sederhana semacam 'pacar' di depan Erick pun membuat seantero kulit wajahku menghangat. Aku memang aneh, beberapa waktu lalu aku bisa bertindak seperti perempuan jago berpandangan luas saat memilih tinggal di apartemen Erick dan bahkan tidur dalam pelukannya saat di Bali tapi di saat seperti ini aku persis perempuan lugu yang memandang mata lelakipun aku tak sanggup. Ah entahlah aku tidak tahu apa yang terjadi pada perasaanku sekarang. Kematian Mama dan semakin dekatnya keberangkatakanku ke Jerman serta hubunganku dengan Erick membuatku benar-benar risau. Aku tahu Erick sudah melamarku dan dia berencana menikahiku sebelum aku ke Jerman tapi tentu saja tidak dalam suasana seperti sekarang. Gugupku lebih kepada 'keinginan' Erick itu. Dan aku mulai bertingkah seperti sekarang ini bahkan mengancamnya untuk tidak mengenalkannya pada kakek dan nenekku sebagai calon suaminya. Aku melenguh kecil dan sedikit menyesali kata-kataku tadi meski aku berharap Erick hanya menganggapnya sebagai candaanku. Tapi apakah iya mengira seperti itu?

Aku meliriknya yang sama sekali tidak merespons jawabanku tadi. Aku melihat semangatnya seperti berkurang banyak dibanding saat awal perjalanan kami tadi. Dia sekarang terihat serius menyetir dari pada ikut-ikutan bernyanyi seperti tadi.

"Hei..." aku mencoba menarik perhatiannya.

"Nggak punya panggilan sayang buatku?" Dia menoleh ke arahku sebentar.

"Emang kamu mau dipanggil apa?"

"Kamu dong yang berinisiatif."

"Ummmm...."

"'Hei' juga nggak apa-apa kok. Kedengarannya spesial juga." Dia berkata sambil tersenyum melihat kebingunganku memilih salah satu kosa kata paling pas dan kekinian untuk menjadi panggilan sayang di jaman sekarang. "Aku memanggil kamu baby kan udah biasa." Sambungnya lagi.

"Jadi kamu suka aku panggil 'hei'?"

"Ya, why not?"

"Aneh."

"Kamu yang aneh, beb." Dia melirikku.

"Kamu nyindir?"

"Siapa yang nyindir?"

"Kamu yang aneh." Aku tidak mau kalah.

"Ya, kita sama-sama aneh." Pungkasnya dan membuat kami pun akhirnya sama-sama terdiam. Ini suasana paling aneh yang pernah terjadai antara kami. Selama kami berhubungan beberapa bulan ini kami tidak pernah bertengkar. Entahlah apakah ini bisa kudefinisikan sebegai pertengkaran. Aku tidak tahu karena aku sama sekali belum berpengalaman dalam bidang ini. Aku kembali meliriknya. Wajah Erick kali ini sedikit tegang. Dia marah padaku?

SAUDADE (Fly Me High) -  BACA LENGKAP DI STORIAL.COWhere stories live. Discover now