11

2.8K 341 10
                                    


Ava Argani

Kehangatan sinar matahari pagi mulai menyentuh permukaan kulit wajahku. Suasana di sekeliling semakin terang dan mataku bisa menangkap keramaian yang mulai tercipta. Sebenarnya tidak terlalu ramai untuk ukuran tempat wisata karena jumlah manusia di tempat ini masih di bawah angka sepuluh, namun keasyikan beberapa ABG yang asik ber-selfie tak jauh dari kami cukup menjadi distraksi yang sempurna atas percakapan aku dan Rama yang sepertinya sudah mencapai ke titik yang cukup serius.

"Jadi benar ada sesuatu antara dokter...um...Mas Rama dan Ayana?"

Rama menurunkan kameranya dan berjalan sedikit merapat ke arahku.

"Mas Rama..." Dia tersenyum. "Aku suka itu." Dia sekilas menyambangi mataku dan membuatku jantungku kembali berdesir. Shit! Seharusnya setelah nama Ayana muncul aku harus lebih bisa mengendalikan rasaku.

"Aku mengajakmu ke sini bukan untuk membahas masalah pribadiku." Katanya datar lalu dengan begitu saja menarik pandangannya dariku. Entah kenapa aku merasa nadanya sangat dingin jauh lebih dingin dari suhu udara di puncak gunung ini padahal beberapa detik lalu ia baru saja mengeluarkan kalimat sederhana yang terasa begitu hangat.

"Aku...aku minta maaf." Sambarku cepat. "Aku nggak bermaksud..." perasaan tidak enak langsung menguasai diriku. Ketika seseorang mengatakan bahwa ia tidak ingin masalah pribadinya dibahas, ketika itulah ia menganggap seseorang yang di depannya bukanlah someone special. Itu menurutku.

"Nggak apa-apa, Va. Memang aku yang bertanya kan?" Dia tertawa kecil melihat wajah panikku. Dan aku tidak suka itu!

"Ketika suasana hatimu sedang nggak keruan kamu bisa menjadi orang yang plin-plan." Sambungnya lagi. Hmmm..dia tau diri ternyata. Ia memang menyadari kalau percakapan ini sebenarnya diawali olehnya dan ia justru membuatku seperti seorang outsider di depan sebuah zona terlarang. Kalimatnya sama sekali tidak menghiburku.

"Hanya saja sekarang aku menyesalinya karena sebenarnya aku nggak ingin merusak suasana sekarang."

Aku masih diam tidak ingin menanggapi kata-katanya. Tapi apakah dia serius mengatakan nama Ayana sudah merusak suasananya pagi ini? Apakah hubungan mereka jauh lebih buruk dari yang kuduga? Apakah aku boleh sedikit berlega hati? Ah tidak!

"Kita turun yuk, aku lapar."

Kami berjalan dalam hening. Aku sama sekali tidak punya niat untuk membuka obrolan. Sesekali Rama mengomentari apa yang tertangkap oleh matanya. Mulai dengan membahas para wisatawan yang baru saja datang di saat magical time di tempat ini sudah berlalu, dan menyayangkan mereka yang tidak bisa melihat pemandangan danau dengan leluasa karena saat kami turun tadi kabut sudah mulai meliputi permukaan danau, hingga mengomentari tempat wisata ini sebagai tempat wisata terbersih yang pernah ia kunjungi.

"Kamu kok diam aja, Va? Laper banget ya?" dia mengusikku dengan sedikit menggodaku. Aku hanya menjawab pertanyaaannya dengan senyum kecil. "Kamu marah?" Dia tiba-tiba menghentikan langkahnya dan memandangku.

"Enggak." Jawabku sambil terus melangkah namun tangan Rama segera mencekal lenganku.

"Aku minta maaf." Dia mencoba mencari mataku.

"Aku nggak marah, Mas." Kuberikan lagi satu senyum kepadanya namun ia sepertinya bisa membaca senyum paksa yang sengaja kuciptakan. Perlahan tangannya terlepas dari lenganku. Kami kembali berjalan dan kali ini rasa canggung itu sangat terasa.

Ketika langkah kami menginjak anak tangga terakhir dan mulai menyusuri jalan setapak menuju parkiran yang dipagari pohon-pohon yang memberi kesan teduh, Rama kembali meraih pergelangan tanganku memaksaku untuk berhenti.

SAUDADE (Fly Me High) -  BACA LENGKAP DI STORIAL.COWhere stories live. Discover now