7

3.8K 424 6
                                    


Ava Argani

Aku tersenyum menyapa pramugari yang menyambut setiap penumpang di dekat pintu pesawat, namun sedetik kemudian senyum itu berubah menjadi ringisan saat aku mulai menyusuri lorong di antara kursi-kursi penumpang mencari tempat dudukku. Aku meletakkan bokongku dengan sedikit hati-hati agar tidak terlalu memberi tekanan berlebih pada otot pahaku yang kurasakan begitu nyeri saat ini. Sudah hampir setahun aku tidak pernah berolahraga dan aktivitas turun naik tangga sebanyak tiga ratusan lebih kemarin bersama Desi yang menjadi penyebab nyeri ini. Sahabatku itu bahkan berniat bolos lagi setelah mengantarku ke bandara pagi ini.

"Cepat lo kabarin gue ya kalau benar dokter Rama itu cowok yang dulu pernah kita intipin." Pesan Desi sebelum aku turun dari mobilnya. Dia begitu antusias saat aku menceritakan tentang ingatanku tiga belas tahun lalu itu. Dan seperti yang kuduga Desi dengan begitu bersemangat mulai merangkai jalinan cerita versinya kalau benar cowok tiga belas tahun lalu itu adalah Rama, dokter residen di rumah sakit yang sama denganku saat ini.

"Kalau benar nih Va, dia itu Rama, cowok yang kita intipin dulu, story kalian udah kayak di film-film deh. Cewek yang ketemu lagi dengan cinta pertamanya." Desi berkata dengan kedua mata yang berkerjap dan kedua tangan yang dikatupkan di dada. Aksi yang terlalu berlebihan bagi seseorang yang menganggap LDR itu hanya mitos.

"Cinta pertama apaan? Gue aja nggak pernah ingat mukanya kok, story itu bahkan hampir terlupakan." Protesku dengan istilah Desi.

Namun begitu aku tersenyum sendiri mengingat obrolan kami tadi malam. Meski aku membantah segala celoteh Desi dan skenario lebainya aku tidak bisa mengingkari perasaanku sendiri. Ada debaran halus di dadaku hanya dengan mengingat semua ucapan dan dugaan Desi tentang cerita yang bakal terjalin seandainya Rama adalah benar laki-laki dari masa lalu itu. Aku bahkan benar-benar tidak sabar untuk kembali ke Ende dan bertemu dokter Rama untuk segera mengkonfirmasikan hal ini. Itu yang menyebabkan aku memilih penerbangan langsung dari Denpasar ke Ende.

Mario menyambut kedatanganku dengan aksi yang menggemaskan. Dia melompat ke pelukanku dan mencium kedua pipiku dengan sayang. Bocah tiga tahun ini ternyata benar-benar merindukanku.

"Sudah Mario, Tanta Ava capek itu." Mama Bunga mengambil Mario dari gendonganku.

"Tante Ava bawa oleh-oleh buat Mario." Aku mengedipkan mata pada bocah itu yang disambut dengan jerit bahagianya. Aku membawa travel bag-ku ke dalam kamar kemudian mengeluarkan beberapa barang yang kubelikan sewaktu di Bali untuk Mario dan juga kakek neneknya. Aku tidak bisa membayangkan rasa rindu yang aku punya untuk keluarga ini setelah tiga bulan nanti aku harus kembali ke Jakarta. Selama hampir dua puluh lima tahun hidupku, aku baru merasakan kehangatan keluarga di kota ini. Aku menghela napas berat saat membayangkan sinar mata Mama yang masih dingin saat memandangku. Namun sekali lagi aku terus meyakinkan hatiku bahwa suatu saat nanti sinar mata itu akan berubah. Untuk sekarang aku hanya perlu mensyukuri kebahagaian-kebahagian kecil yang kurasakan di sekelilingku. Seperti kebahagiaan saat melihat senyum dan tawa Mario beserta kakek neneknya ketika melihat oleh-oleh yang kubawa.

Aku sudah mengabarkan pada teman-teman magangku bahwa siang ini aku sudah kembali ke Rumah Sakit. Dan entah kenapa saat ini aku merasa diriku sedikit berlebihan mempersiapkan diri. Aku cukup lama berdiri di depan lemari untuk memilih atasanku yang akan kupadu padan dengan celana panjang hitamku. Aku menyapukan bedak di wajahku bahkan memoleskan lipstik di bibirku, satu hal yang sudah lama tidak kulakukan.

"Wow. Seger banget kamu Va. Tumben." Vandi menyapaku saat aku baru saja keluar dari ruang dokter Steven untuk melaporkan kepulanganku. Aku tersenyum kecil merespon kata-kata Vandi.

"Aku ke poli dulu ya."

"Eh, kamu ke poli anak kan?" Pertanyaan Vandi menghentikan langkahku. "Aku, Santi dan Dian mau jadi asisten operator di RO. Poli lagi rame, dokter Rama sendirian." Aku hanya merespons info Vandi dengan anggukanku. Aku melangkah sedikit lebih cepat ke poli dan kemudian tersenyum menyapa para pasien dan orangtuanya yang sedang duduk menunggu giliran. Entah kenapa jantungku saat ini berdebar pelan saat masuk ke ruang periksa. Aku melihat dokter Rama sedang mencoba membantu menenangkan bayi yang sedang menangis di gendongan ibunya. Ia sekilas melihat kedatanganku. Aku mengangguk ke arahnya.

SAUDADE (Fly Me High) -  BACA LENGKAP DI STORIAL.COWhere stories live. Discover now