12

3K 353 8
                                    

Erick Leitner

Pilot: Ground selamat pagi Indonesia – 357 exit Charlie- Golf Mike November

ATC: Indonesia-357 Golf Mike November, parking stand AE2, straight ahead

Aku berkemas lebih cepat kemudian menepuk pundak Heru sebelum tergesa keluar dari cockpit. Heru hanya mengangguk sekadarnya dengan wajah yang terlihat cukup tegang juga.

"Hati-hati, Capt!" Seru Ayu dan Winda, dua orang kabin kru, yang berpapasan denganku di tangga keluar.

"Thanks." Jawabku singkat dan kemudian menuruni tangga pesawat dengan setengah berlari. Kabar yang kuterima beberapa jam yang lalu saat aku di Batam benar-benar membuat konsentrasiku pecah. Papa masuk IGD. Dan sekarang aku sama sekali belum tahu kondisi terkininya.

Dengan menggunakan taksi aku tiba di pelataran Rumah Sakit Pondok Indah. Jantungku berdebar tak menentu. Berkali-kali aku menelan ludah dan menarik napas mencoba menenangkan diri. Aku bisa melihat bayangan Mama Iren, Tante Wanda dan Om Vinsen di depan sebuah ruangan. Wajah ketiganya tampak gelisah. Mama Iren langsung berdiri memelukku saat aku tiba di hadapan mereka. Dia adalah kakak perempuan Papa, satu-satunya saudara kandung Papa. Sedang Om Vinsen adalah sepupu Papa dan tante Wanda adalah istrinya.

"Papa gimana?"

"Sedang proses katerisasi." Om Vinsen yang menjawab.

"Bagaimana ceritanya?" Aku memandag Mama Iren dan Om Vinsen bergantian. Mama Iren menarik tanganku untuk menyuruhku duduk.

"Si Tarjo bilang Papa kamu ambruk waktu keluar kamar dini hari tadi. Dia nelepon kita semua dan kita langsung ke rumah sakit." Kembali Om Vinsen yang bercerita. Ada rasa tidak puas mendengar kisah singkat itu tapi apa yang bisa kuharapkan karena selama ini Papa hanya tinggal sendiri bersama dua asisten rumah tangganya. Om Vinsen tentu tidak banyak tahu kejadian detilnya dini hari tadi.

Aku menarik napas berat dan menatap nanar pintu ruang laboratorium tempat Papa diberikan tindakan medis. Mama Iren menggenggam tanganku.

"Papa kamu akan baik-baik saja." Aku hanya mengangguk lemah.

Sepuluh menit kemudian aku mulai tidak sabar hanya duduk berdiam diri di antara rasa cemas. Aku bangkit dari dudukku dan berjalan keluar mencari udara segar. Ada rasa sesal yang menyelinap di dada saat mengingat kembali raut wajah Papa yang memintaku untuk kembali tinggal bersamanya setelah kepergian Mama. Namun saat itu aku menolak. Aku bersedia kembali ke perusahaan Papa dan belajar tentang bisnisnya dengan satu syarat yaitu aku tidak tinggal bersamanya. Aku selalu berpikir Papa adalah laki-laki tua yang mandiri dan sehat di usianya yang ke 58. Dia sangat suka berolah raga sejak muda. Entah itu badminton bersama teman-temannya, atau sekali-kali golf dengan teman bisnisnya. Mungkin saja sekarang Papa tidak sesemangat dulu saat Mama masih ada? Mungkin saja gula atau kolesterol sudah mulai menyerangnya hingga dia bisa terkena serangan jantung saat ini. Entahlah.

Aku mengeluarkan ponselku dan berpikir sejenak. Aku perlu bicara dengan seseorang mengenai hal ini. Sebuah nama dengan begitu mudah melintas di benakku. Dan tanpa ragu aku mendial sebaris angka. Tidak ada salahnya mendengar pendapat dari seseorang yang berkecimpung di dunia medis.

"Halo."

"Ya Halo." Aku mengerutkan kening saat mendengar suara berat seorang pria yang menjawab di ujung sana. Aku perlu membaca kembali sebaris angka dan nama yang tertera di layar untuk memastikan aku tidak salah menelepon orang.

"Ummm....maaf ini nomor Ava kan?"

Aku menunggu beberapa detik namun tidak ada jawaban di seberang sana dan aku memilih untuk memutuskan sambungannya. Aku kembali mendial sebuah nomor karena aku perlu berbicara dengan seseorang saat ini. Tidak berapa lama sebuah suara menyapa di seberang sana.

SAUDADE (Fly Me High) -  BACA LENGKAP DI STORIAL.COWhere stories live. Discover now