27

3.4K 399 18
                                    



Erick Leitner

Aku tidak terkejut dengan kata-kata yang barusan keluar dari mulutku karena ini bukan sesuatu yang tiba-tiba saja muncul di kepalaku. Hidup bersama dengannya sudah menjadi wacana yang matang saat aku mulai menyadari dia begitu istimewa di mataku. Terlalu cepat? Tentu! Lihat saja ekspresi yang tercipta di wajah cantiknya itu.

"Menikahlah denganku sebelum kamu ke Jerman." Aku sekali lagi berkata. Aku lihat bibirnya bergerak namun tak ada sepatah kata yang keluar.

"Ava." Panggilku.

"Tapi kita..."

"Aku tahu..." potongku seakan bisa membaca apa yang akan ia katakan. "Aku hanya pengen kamu tahu kalau mencintaimu artinya mencintai seumur hidup."

Dia masih terpana memandangku.

"Aku tahu mempercayai laki-laki sepertiku bukan hal yang mudah, apalagi hubungan kita baru hitungan hari. Mungkin orang akan memandang ini berlebihan tapi aku sendiri nggak bisa menjelaskan bagaimana yakinnya aku sama kamu dan hubungan kita."

"Aku rasa kita harus pulang." Dia menyambar tasnya dan melangkah cepat keluar. Aku mengejarnya.

"Va..." panggilku. "Aku minta maaf kalau ini bukan waktu yang tepat. Aku minta maaf." Kataku setengah berteriak mengalahkan bising kendaraan bermotor di sekitar kita. Aku berhasil menghentikan langkahnya. Ia terlihat melirik ke kiri dan ke kanan memastikan tidak ada orang yang barusan mendengar teriakanku. Wajahnya merengut sebagai protes kalau dia tidak suka dengan aksiku barusan. Aku tiba di depannya.

"Maaf."

Dia hanya berdesis dan kembali melangkah. Aku kembali mengejarnya, meraih sebelah tangannya dan mengenggamnya erat sebelum kami menyeberangi jalan yang cukup ramai itu. Aku tersenyum tipis saat menyadari ia tidak menghempaskan tanganku.

"Aku nggak marah." Dia tiba-tiba berkata saat kami sedang melintasi jalan raya itu. "Kata-katamu sama sekali nggak membebani." Dia berkata lagi sedikit membuang pandangannya ke arahku.

"Okay..." responsku.

"Aku akan memikirkannya. Tentu saja." Bibirnya bergerak seperti hendak membentuk senyum namun seperti ada gengsi yang menahannya. Ia kemudian memalingkan wajahnya dariku. Aku suka ekspresi yang tercipta di wajah itu. Aku tahu ini bukan sebuah lamaran yang menjadi impiannya. Lamaran ini lebih kepada aksi refleks yang dihasilkan dari sebuah pemikiran yang matang yang sudah bercokol di kepalaku beberapa waktu terakhir. Aku hanya tidak mau kehilangan dia.

"Kamu mau aku bawakan apa dari London?" Kami memasuki lift dan aku berusaha mengalihkan pembicaraan tentang lamaran tadi.

"Ummmm....emang ada apa di London?" tanyanya sedikit manja.

"Ummm....nggak tau juga ya?" aku mengedikan kedua bahuku dan tanpa ragu merengkuhnya dalam pelukanku. Aku tidak peduli meski ini di tempat umum tapi kami hanya berdua di sini. Dia mendongak memandangku dengan sinar mata protes atas aksiku.

"Hanya kita berdua di sini." Kataku sambil lebih merapatkan tubuhnya ke arahku. "Lagian kita nggak ngapa-ngapain. Dan kamu juga pakai masker. Nggak ada yang bakal mengenalimu dari CCTV." Bisikku dan dibalasnya dengan cubitan di lenganku.

"Kamu sering seperti ini kan?" tembaknya langsung dan membuatku langsung ciut. Perlahan tubuhku bergerak memberi jarak. Aku harus belajar menghadapi Ava. Dia bukan salah satu perempuan dengan suka rela melompat ke dalam pelukanku.

"Maaf." Keningnya berkerut saat mengatakan itu. Bola mata beningnya menggambarkan penyesalan. "Aku..." dia sedikit ragu untuk melanjutkan kata-katanya dan ekspresi wajahnya seperti sedang menyalahkan dirinya sendiri.

SAUDADE (Fly Me High) -  BACA LENGKAP DI STORIAL.COWhere stories live. Discover now