14

2.7K 370 10
                                    


Erick Leitner

Aku menutup pintu kamar Papa dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi yang bisa mengganggu tidurnya. Aku lega melihat Papa tidur begitu tenang. Masih pukul 6 pagi dan aku baru saja tiba dari Makassar. Hari ini adalah duty free-ku yang artinya aku libur seharian penuh alias 24 jam, tidak seperti periode istirahat biasa yang hanya mendapat jatah setengah hari.

Sejak menjalani operasi bypass beberapa waktu lalu Papa menghabiskan waktu istirahat di rumah dan aku sempat mengambil dua kali day-off dari delapan kali jatahku, untuk menemaninya . Mama Iren, kakak kandung Papa, juga ikut tinggal di rumah untuk mengurus Papa selama masa pemulihan.

Aku menaiki tangga menuju lantai atas sambil membawa tas pakaianku.

"Mas Erick mau sarapan jam berapa?" Bi Tina, asisten rumah tangga Papa, bertanya padaku dari pintu dapur.

"Jam 9 aja, Bik. Saya mau tidur dulu." Jawabku diiringi anggukan paham Bik Tina. Aku menutup pelan pintu kamarku. Melepaskan seragamku dan langsung membuang diriku di atas ranjang. Beberapa detik kemudian aku teringat kalau ini bukan di hotel atau di apartemenku. Aku tidak bisa tidur hanya dengan celana dalam. Dengan sedikit rasa malas aku bangkit dari ranjang, membuka lemari dan mencari kaus dan celana pendek lama yang masih tersisa di sana.

Tidak sampai sepuluh menit kemudian aku terlelap dan dibangunkan dengan ketukan di pintu kamarku. Aku menggeram pelan mencari-cari jam tangan yang kuletakan di atas nakas. Sudah pukul 10 ternyata.

"Erick." Suara Mama Iren terdengar diiringi ketukan pintu.

Aku melompat turun dari ranjang dan membuka pintu kamar.

"Maaf, Mama bangunkan. Mama harus pulang dulu ke rumah. Papa kamu lagi jalan-jalan di taman belakang. Kamu jangan lupa sarapan ya."

"Biar aku antar, Ma." Aku hendak berbalik masuk untuk sekadar mengenakan jaket.

"Nggak usah. Mama diantar Tarjo."

"Oke. Hati-hati, Ma." Aku melambai ke arahnya.

Setengah jam kemudian aku turun ke ruang makan dan mendapati Papa sedang berjalan-jalan ringan mengitari taman ditemani Chikko, labrador kami, teman setia Papa dua tahun belakangan ini. Ruang makan di rumah ini memang berkonsep ruang makan terbuka yang menghadap ke taman belakang. Almarhumah Mama adalah seorang sarjana arsitektur, meski ia tidak pernah berkaya secara professional, namun rumah ini adalah salah satu karya terhebatnya. Itu menurutku.

Chikko berlari menghampiriku dengan ekor yang tak henti dikibaskan. Aku menepuk kepala hewan itu dengan sayang sambil melambai ke arah Papa. Bik Tina menghidangkan kopi panas di depanku.

"Jam berapa kamu tiba tadi?"

"Jam 6, Pa." Aku menambahkan creamer ke dalam kopiku dan menyesapnya pelan. "Aku terbang lagi besok jam 5 pagi."

Papa mengangguk-anggukan kepalanya. Ia duduk di depanku sambil bercanda dengan Chikko. Aku senang melihat Papa yang sudah tampak sehat.

"Papa gimana?"

"Lumayan. Oh ya..." Papa memandangku lurus, keningnya sedikit berkerut. "Beberapa hari lalu teman kamu ke sini. Nengokin Papa."

'Siapa? Doddy? Atau Bram?" Aku menggigit sandwich tunaku dengan gigitan yang cukup besar karena memang perutku terasa kosong sekali saat ini.

"Teman perempuan." Kata-kata Papa membuatku berhenti mengunyah dan beberapa detik kemudian aku langsung menelan potongan roti yang masih cukup besar itu.

"Namanya Michelle."

Kedua alisku naik mendengar nama Michelle. Perempuan itu ternyata serius mencintaiku. Aku memang tidak secara langsung memberitahukan padanya kalau Papa sakit dan dirawat, namun aku butuh satu alasan untuk membuat dia berhenti mengangguku dengan telepon-teleponnya. Saat Papa dirawat dan harus operasi, telepon Michelle terdengar seperti sebuah ancaman dan saat itu mungkin aku tak sengaja memberitahukan informasi ini.

SAUDADE (Fly Me High) -  BACA LENGKAP DI STORIAL.COWhere stories live. Discover now