32

4.5K 431 32
                                    

***Warning: Typo

***Slow update

***Thank u buat kalian yang masih setia nungguin...loveeee banget

Erick Leitner

Langit di balik barisan pohon kelapa di bawah sana sudah berubah jingga. Barisan lampu solar cell yang berbentuk seperti obor di sekitar kolam renang ini mulai bercahaya dan suara-suara serangga malam mulai terdengar di kejauhan namun sosoknya masih bertahan duduk di tepi gazebo di bawah sana. Aku menahan langkahku untuk menghampirinya, bersender di antara pintu kaca ini dan terus mengamatinya.

Aku tidak berhasil mendapatkan tiket penerbangan malam ini. Aku juga tidak tahu kenapa begitu banyak orang yang sepertinya harus keluar dari Bali hari ini juga. Kami baru aka berangkat besok pagi-pagi sekali. Aku menegakkan tubuhku saat melihat sosoknya melangkah naik menghampiriku.

"Kamu baik-baik saja?"

Dia mengangguk dan aku langsung membawanya kepelukanku.

"Maaf aku nggak berhasil mendapat tiket malam ini."

"Nggak apa-apa."

"Kamu sudah menghubungi Tania?"

Dia mengangguk. Aku merenggangkan dekapannya dan memandang wajah sayunya.

"Mama masih belum keluar dari ICU." Dia terdiam sebentar seperti sedang berpikir. "Tania hanya bilang seperti itu." Sambungnya lagi dan kembali membenamkan kepalanya di dadaku. Aku tidak tahu makna di balik diamnya dan wajah sedihnya saat menyebut nama Tania. Ava belum mengatakan padaku apakah Tania sudah tahu dengan hubungan kami. Namun aku sedkit menyimpukan bahwa bisa jadi Tania sudah mengetahuinya dan hal itu yang sedikit mempengaruhi hubungaan mereka. Ada sedikit rasa bersalah dalam hatiku seandainya memang benar Tania menyukaiku. Tapi kembali lagi aku tidak pernah dengan sengaja mengatur pertemuanku dengan Tania yang ternyata adalah kakak dari perempuan yang aku cintai. Takdir telah mengikat kami tanpa kami sadari. Dan siapa aku yang bisa menyalahkan takdir. Satu-satunya yang penting bagiku adalah membuat Ava terus berada dalam pelukanku ini, sesakit dan sesulit apapun hal-hal yang akan muncul di hadapan kami nantinya.

"Okey." Aku mengelus rambutnya kemudian menggandengnya ke dalam kamar. "Kamu makan dulu ya."

Dia sekali lagi menjawabku dengan anggukan kemudian ia merebah menyamping di atas ranjang, sedikit melengkungkan tubuhnya dengan pandangan yang terarah padaku.

"Entah kenapa aku punya feeling nggak enak tentang Mama."

Aku membawakan sebotol air untuknya kemudian duduk di tepi ranjang.

"Sepertinya Mama menyembunyikan sesuatu dari kami." Keningku berkerut tidak mengerti. "Tentang sakitnya." Jelasnya dan membuatku paham.

"Kenapa kamu bisa bilang seperti itu?"

"Entahlah...ketika aku kembali ke Jakarta, wajah Mama tidak seperti saat aku terakhir kali melihatnya. Wajahnya lebih kuyu, lebih terlihat lelah, dan aku berpikir bahwa itu karena Mama memang lelah harus mengurusi perusahaannya dan menghadapi Kak Tania dan segala persoalannya. Belum lagi Bang Aldo dan..." Ia menghela napas. "aku tentunya." Ia mengakhiri kalimatnya dengan sebuah decakan kecil seperti sebuah penyelasan.

"Tapi Mama kamu sebelum ini pernah masuk Rumah sakit karena hipertensi dan jantung kan?" aku mencoba mengingatkannya.

"Iya. Aku saja yang terlalu berpikir jauh." Dia menggeleng mencoba mengusir semua yang ada dalam pikirannya.

"Sebagai seorang dokter wajar kamu berpikir seperti itu. Tapi berharap saja feeling kamu itu nggak benar, khusus untuk Mama."

Kata-kataku berhasil menciptakan senyum di sudut bibirnya.

SAUDADE (Fly Me High) -  BACA LENGKAP DI STORIAL.COWhere stories live. Discover now